Melanjutkan Konsolidasi Demokrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Melanjutkan Konsolidasi Demokrasi

Senin, 20 Jan 2020 12:23 WIB
Teddy Firman Supardi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Aksi mahasiswa 2019 (Foto: Imam Suripto)
Jakarta -

Kita sepakat 2019 menjadi tahun paling dramatis perjalanan demokrasi Indonesia. Tahun lalu, kita menjalani sebuah polarisasi politik yang begitu tajam. Sebuah proses politik yang paling membawa kondisi politik di mana penajaman identitas menjadi saluran baru formalisasi mobilisasi politik dalam politik praktis.

Tahun 2019 juga menjadi peringatan bagi kehidupan demokrasi kita. Sebuah gerbong sistem yang membawa mimpi kesejahteraan dan kebebasan mengalami ancaman yang cukup serius. Kita bisa memulainya dari penggembosan perlahan kelembagaan KPK, RUU KUHP, jurang intoleransi agama, dan juga konsensus oligarki politik yang sangat anti klimaks. Pelajaran berharganya adalah kita diingatkan kembali tentang bagaimana peran politik rakyat dalam membangun keseimbangan politik yang kuat.

Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky (2019) dalam bukunya How Democracy Die menjelaskan ide baru tentang otoritarianisme dalam kehidupan demokrasi abad ke-21. Menurut Daniel dan Steven, matinya demokrasi berlangsung jika kepemimpinan politik memiliki wajah baru otoritarianisme melalui saluran formal demokrasi.

Wajah baru otoritarianisme adalah monopoli proses politik melalui kekuatan politik formal lewat pemberlakuan penghancuran kekuatan politik masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah, pertahanan rente untuk kelompok elit tertentu, dan penggunaan kontrol birokrasi dan aparatur negara yang berlebihan kepada masyarakat.

Mereka menyebut sejumlah perkembangan kepemimpinan politik terkini di negara lain seperti Vladimir Putin di Rusia, Recep Tayyip Erdogan di Turki, dan Viktor Orban di Hungaria. Indonesia sudah memilih jalan demokrasi sebagai pengelolaan jalannya pemerintahan. Namun, dalam fase konsolidasi demokrasi seperti ini tidak menutup kemungkinan hadirnya ancaman yang dapat menghentikan pendalaman kehidupan demokrasi yang justru berasal dari dalam kelembagaan demokrasi itu sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Membunuh demokrasi dari dalam, begitu kata Joseph Schumpeter yang pernah mengingatkan kita bahwa hilangnya kontrol demokrasi bisa terjadi, jika keseimbangan antara sumber daya yang dimiliki oleh elite politik terlalu besar, terutama jika disalahgunakan untuk mempertebal jurang absennya kontrol rakyat dalam kehidupan demokrasi.

Marwah Kelembagaan Politik

Kelembagaan politik merupakan fondasi dasar utama dalam kehidupan demokrasi. Sejarah panjang demokrasi menunjukkan bahwa kelembagaan politik merupakan wujud dasar dari kedaulatan politik rakyat itu sendiri. Etos demos adalah kekuatan ideal dalam demokrasi. Meskipun bentuk formalitas melembagakan kekuatan politik rakyat dinyatakan dalam bentuk pemilihan umum langsung, namun dalam menuju pembangunan kelembagaan politik yang baik, demokrasi hanya mengenal kontrol rakyat dalam untuk menghasilkan produksi marwah kelembagaan politik yang hasilnya akan menjadi agen distribusi bagi kebaikan bersama.

Contoh kasus mundurnya marwah kelembagaan politik di Indonesia hari ini adalah persoalan keberpihakan. Disahkannya revisi UU KPK jelas sudah mengubur semangat lembaga politik seperti DPR untuk terus merawat semangat anti korupsi dari kelembagaan KPK, yang merupakan simbol poros kontrol gerakan rakyat dalam pemberantasan korupsi. Didorongnya revisi ini tentu saja menjadi pelajaran bahwa kelembagaan demokrasi juga bisa menjadi tempat bertemunya kepentingan yang jauh dari ideal perbaikan demokrasi di Indonesia.

Kelembagaan politik yang baik tentu saja hadir lewat proses politik yang tidak mudah. Hari ini kita melihat bahwa konsensus antarelite politik pasca Pilpres 2019 menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Rasa khawatir kita karena polarisasi yang begitu besar tidak dijadikan sebagai energi untuk menjawab keseimbangan baru dalam politik di Indonesia.

Keseimbangan politik Indonesia pasca polarisasi politik merupakan jawaban paling tepat untuk merawat energi polarisasi menjadi kekuatan kontrol, pendidikan politik, dan serta jalan rekonsiliasi tanpa memperlihatkan bahwa polarisasi politik hanya menjadi drama elite politik yang minus melibatkan kondisi politik rakyat pada umumnya.

Konsensus Baru

Kita percaya figur Joko Widodo membawa satu kepercayaan baru dalam politik Indonesia. Pada 2014, saat ia pertama maju menjadi calon presiden, kita melihat semua elemen gerakan politik rakyat bersatu dalam satu partisipasi kekuatan politik rakyat. Namun, perkembangan politik saat ini harus kita dudukkan bersama bahwa Joko Widodo sebagai Presiden merupakan simbol pertama pertahanan dan perkembangan demokrasi.

Maka dari itu, segala yang berkaitan dengan mundur dan majunya demokrasi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bagaimana seorang presiden mengelola proses politik yang ada, terutama kepentingan politik multipartai yang sering menyandera konsolidasi demokrasi. Melanjutkan dan mempertahankan demokrasi tentu saja menjadi keharusan.

Format demokratisasi Indonesia baru saja melewati masa turbulensi yang sangat luar biasa. Namun, itulah keajaiban demokrasi sebagai sistem politik yang terbuka untuk ditempa terus-menerus melalui adaptasi terhadap ancaman-ancaman bagi siapa yang ingin memberangusnya. Paling tidak, jika ancaman untuk memundurkan kehidupan demokrasi itu datang, maka hal yang pertama kita perkuat adalah kesepakatan bersama tentang apa yang baik dan tidak baik untuk demokrasi.

Konsensus politik baru Indonesia sebenarnya sudah dimulai pada saat kita memilih jalan kehidupan demokrasi. Tetapi dalam kultur politik Indonesia yang masih mencari bentuk idealnya, konsensus baru yang ingin kita capai adalah bagaimana memperkuat kontrol rakyat agar semua elemen demokrasi bisa bertindak dan berpihak untuk kebaikan bersama. Dengan berpihak untuk kebaikan bersama, tentu hal-hal parasit seperti politik transaksional dan korupsi dapat dihilangkan melalui hadirnya konsensus baru kita untuk merawat demokrasi.

Teddy Firman Supardi Direktur Eksekutif Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies), Managing Director di Visi Strategic Consulting

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads