Bila curah hujan tinggi, saluran air yang memadai mestinya bisa mengatasi air tergenang. Buktinya beberapa titik banjir di Jakarta surut ketika petugas-petugas diturunkan untuk membersihkan selokan yang tersumbat. Namun bila pemanfaatan ruang dilakukan melampaui daya tampung dan daya dukung lingkungan, itulah yang susah dicarikan obatnya.
Selain ibu kota negara, Jakarta merupakan lokus ekonomi yang berkembang pesat. Tempat bangunan-bangunan tinggi berpacu menggapai langit. Semuanya itu membutuhkan air yang begitu banyak yang sebagian besarnya disedot dari dalam tanah. Dengan demikian permukaan tanah menurun hingga 15 cm per tahun. Saat ini, 40% daratan DKI Jakarta berada di bawah permukaan laut (data Pemprov DKI, 2019). Lima juta penduduk di Jakarta Utara terancam secara langsung; satu-satunya yang melindungi mereka dari air laut adalah tembok beton.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum Sumber Daya Air
Sumber daya air tidak boleh dieksploitasi habis-habisan. Maka dari itu Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 lalu membatalkan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air (Putusan MK atas Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013) yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dan membuka ruang yang lebar untuk swastanisasi.
MK menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam pengusahaan air harus ada pembatasan yang sangat ketat sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa.
Ada lima pembatasan dalam pengusahaan sumber daya air. Pertama, setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sesuai Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan, "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah."
Ketiga, penatausahaan sumber daya air harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sesuai dengan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."
Keempat, pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak. Kelima, prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
Apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, baru dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu.
Akibatnya, UU a quo yang dinilai oleh MK tidak memenuhi lima prinsip tersebut di atas dibatalkan --beserta enam buah peraturan pelaksananya, yakni PP No 16/2005 (Pengembangan SPAM), PP 20/2006 (Irigasi), PP 42/2008 (Pengelolaan SDA), PP 43/2008 (Air Tanah), PP 38/2011 (Sungai), PP 73/2013 (Rawa)-- dan payung hukum sumber daya air dikembalikan ke UU Pengairan tahun 1974 sebelum UU baru diterbitkan. Kelemahannya UU Pengairan tahun 1974 masih menganut sistem sentralisasi juga tidak cocok untuk diterapkan di era desentralisasi saat ini.
Delapan bulan setelah putusan pengujian UU Sumber Daya Air, terbit PP No 121/2015 tentang Penatausahaan Sumber Daya Air merujuk ke UU Pengairan. Aturan pelaksana ini tampak dikejar oleh pemerintah supaya tidak terjadi kekosongan hukum.
Jika ditelisik, PP No 121/2015 memang sudah mengadopsi lima prinsip penguasaan air yang ditetapkan oleh MK. Dapat dilihat di Pasal 2 PP a quo. Namun menimbang UU Sumber Daya Air yang baru diterbitkan pada Oktober 2019, PP No 121/2015 tentu masih belum selaras. Seperti izin penggunaan sumber daya air dalam Pasal 49 UU No 17/2019 tentang Sumber Daya Air menempatkan posisi koperasi di urutan keempat di bawah BUMN, BUMD, dan BUMDes --baru setelah itu Badan Usaha Swasta. Sedang dalam Pasal 17 PP No 121/2015, Badan Usaha Swastalah yang berada di urutan keempat, dan koperasi di bawahnya.
Alek Karci Kurniawan Legal Policy Analyst KKI Warsi, penulis buku Konflik Konservasi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini