Di antara berbagai bencana itu, banjir boleh dibilang termasuk yang paling ringan. Beberapa jenis banjir bisa dicegah. Banjir di perkotaan umumnya terjadi karena air hujan yang tidak tersalurkan dengan baik. Untuk mencegahnya, buat dan kelola saluran air dengan baik. Di banyak kota besar dunia, banjir jenis ini sudah dikelola dengan sangat baik, sehingga banjir benar-benar bisa dicegah.
Ada banjir yang tidak bisa dicegah, yaitu ketika curah hujan teramat ekstrem. Kota-kota dengan infrastruktur baik seperti Singapura dan Tokyo pun pernah kebanjiran akibat curah hujan yang ekstrem. Terhadap banjir jenis ini tak ada hal khusus yang bisa dilakukan untuk mencegahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, persiapan untuk menghadapi banjir sebenarnya bisa jauh lebih mudah dibuat. Apa saja persiapannya? Ada persiapan infrastruktur, seperti perawatan saluran air. Juga perawatan pompa-pompa. Yang juga tak kalah penting, persiapan kesiagaan warga di daerah-daerah rawan banjir.
Di Jepang banjir biasanya terjadi seiring dengan akan datangnya angin topan. Menjelang kedatangan topan, lembaga pemantau cuaca secara intensif memantau keadaan dan menyebarkan informasi melalui TV dan radio. Daerah-daerah yang berpotensi terendam banjir diberi peringatan soal kemungkinan penduduknya harus mengungsi. Penduduk diminta bersiap-siap. Dalam keadaan tertentu pemerintah akan memerintahkan pengungsian. Perintah ini diberikan sebelum banjir menggenangi rumah.
Pemerintah menetapkan tempat-tempat pengungsian. Biasanya dipakai gedung sekolah, balai desa, dan sejenisnya. Tempat-tempat ini dilengkapi dengan fasilitas untuk keadaan darurat pengungsian, dan bisa difungsikan dengan cepat.
Siap menghadapi bencana adalah hal penting. Meski bencananya tidak bisa dihindari, setidaknya kita bisa menghindari jatuhnya korban. Semakin mudah bencana diramalkan, semakin mudah persiapan untuk menghadapinya. Banjir seharusnya tidak sulit dihadapi. Sayangnya, itu tak terjadi di Jakarta, juga daerah-daerah sekitarnya.
Hampir setiap tahun Jakarta itu banjir. Hampir setiap tahun pula kita menyaksikan drama banjir. Ada kampung-kampung yang seolah berlangganan banjir. Mereka pasrah menerima nasib, seakan banjir adalah bencana yang tak dapat ditolak atau dihindari. Lebih konyol lagi, pemerintah daerah pun bersikap sama.
Gubernur Anies Baswedan berulang kali mengeluarkan pernyataan bahwa banjir ini akibat hujan terlalu lebat atau ekstrem. Atau, banjir ini akibat air dari hulu yang tidak terkelola. Kalau air dari hulu terkelola, Jakarta tidak akan banjir. Begitu narasi yang terus dia sampaikan. Intinya, tak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah DKI.
Faktanya, banjir besar sudah terjadi di Jakarta pada 1 Januari pagi hari, sebelum air kiriman dari Bogor merendam Jakarta. Artinya, infrastruktur Jakarta memang tidak siap menghadapi banjir. Wali Kota Jakarta Barat Rustam Effendi mengatakan bahwa ada banyak pompa yang tidak berfungsi, demikian pula sistem drainase. Itulah penyebab banjir. Beberapa banjir kecil sebenarnya sudah terjadi di Jakarta menjelang akhir tahun, dan itu pun bukan banjir kiriman. Semata karena infrastruktur drainase tidak berfungsi.
Kita tidak bicara soal pencegahan banjir dalam skala besar. Itu terlalu berat bagi Anies Baswedan. Cukuplah kita bicara soal yang lebih sederhana, bagaimana sistem pemerintahan daerah tanggap terhadap bencana.
Sejak akhir Desember sebenarnya BMKG sudah memperingatkan soal kemungkinan hujan ekstrem. Apa yang harus dilakukan? Siapkan tempat pengungsian dengan perbekalannya. Pantau keadaan, berikan peringatan. Ketika hujan sudah mengguyur dan ada tanda-tanda akan banjir, perintahkan pengungsian. Koordinasikan kegiatan pengungsian agar berjalan lancar.
Itu tidak terjadi. Orang baru mengungsi setelah rumahnya terendam banjir. Itu pun dengan bantuan minim dari pemerintah. Tempat pengungsian juga tidak disiapkan dengan memadai. Akibatnya, ada pengungsi yang harus berteduh di jembatan penyeberangan.
Hal lain adalah kerja yang lebih besar. Pompa-pompa tentu saja harus disiapkan, dipastikan bisa bekerja dengan benar. Adalah sebuah keajaiban besar bila pompa rusak pada bulan Desember tidak segera diperbaiki. Ini provinsi dengan APBD Rp 70 triliun lebih, masak tidak bisa mengurusi pompa? Kalau ada pompa yang tidak bekerja saat banjir, satu-satunya sebab adalah tidak bekerjanya nalar pemerintah yang mengelolanya.
Waktu untuk mengerjakan itu semua tersedia sepanjang tahun. Setidaknya mulai Agustus atau September seharusnya ada kegiatan khusus untuk bersiaga menghadapi banjir. Tapi itu tidak dilakukan. Ketika terjadi banjir, situasinya seperti kedatangan tamu tak terduga. Padahal banjir di akhir dan awal tahun itu sudah begitu rutin seperti matahari terbit setiap pagi.
Narasi yang disampaikan Anies selama banjir mencerminkan bahwa ia memang tak tahu bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan. Ia terus mengulang narasi bahwa hujan ekstrem adalah penyebab banjir. Ia pun berkata bahwa ia hanya ingin fokus pada penanganan korban. Kalau ia fokus menyiapkan penanganan korban sebelum banjir terjadi, tentu lebih mudah.
Kabar yang lebih buruk, ini semua belum berakhir. Ancaman hujan ekstrem masih ada. BMKG lagi-lagi memperingatkan hal itu. Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa awan mendung masih menyelimuti Jakarta dan sekitarnya. Ancaman banjir lagi masih terasa begitu nyata.
Jeda beberapa hari ini seharusnya tidak hanya dipakai untuk menangani dampak banjir kemarin. Fokusnya seharusnya pada penanganan kemungkinan terjadinya banjir lagi. Adakah persiapan untuk itu? Jangan sampai kalau hujan lagi, kalang kabutnya terulang lagi.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini