Kita benar-benar sudah di pengujung tahun. Hanya dalam hitungan jam selubung tahun 2019 akan segera digulung dan tirai 2020 akan segera dijurai. Rasanya baru kemarin 2019 datang menyapa dan menyambangi. Kini, akan segera pergi, tidak akan pernah datang dan kembali lagi. Sungguh perjalanan waktu itu terus melaju dan seakan berpacu.
Banyak catatan hidup dalam setahun waktu. Suka duka, pahit manis, jatuh bangun, baik buruk senantiasa terlakar dalam lembar kertas kehidupan. Lembar-lembar catatan hidup itu sejatinya harus dibaca dan digali hikmahnya agar melecut setiap diri menjadi pribadi yang menjadikan setiap detik kehidupannya menjadi bermakna.
Banyak catatan hidup dalam setahun waktu. Suka duka, pahit manis, jatuh bangun, baik buruk senantiasa terlakar dalam lembar kertas kehidupan. Lembar-lembar catatan hidup itu sejatinya harus dibaca dan digali hikmahnya agar melecut setiap diri menjadi pribadi yang menjadikan setiap detik kehidupannya menjadi bermakna.
Waktu atau masa memang tidak terasa. Jalannya terasa cepat bak kilat. Bagi yang tidak siap atau menyia-nyiakan waktu maka siap-siaplah kata merugi dan menyesal akan menyelubungi diri. Tak ada teknologi canggih yang mampu menarik waktu yang telah pergi jauh. Bak kata Imam Al-Ghazali, detik yang berlalu adalah jarak yang terjauh dalam kehidupan manusia. Tak ada yang mampu menempuhnya, karena memang tidak ada acara untuk sampai ke sana.
Kini, tahun 2019 akan segera menutup diri. Agar kata 'merugi' dan 'menyesal' tidak menyelubungi diri, ada beberapa hal yang perlu direnungkan kembali. Pertama, sadar diri. Hadirnya diri ke dunia fana ini tidak hadir dengan sendirinya. Hadirnya diri karena ada yang menghadirkan dan untuk suatu tujuan yang telah ditetapkan. Yakni untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Olehnya mengabdikan diri kepada Tuhan menjadi tujuan utama kita hidup di dunia ini.
Banyak diri yang tidak sadar bahwa dirinya dihadirkan ke dunia untuk beribadah kepada Tuhan sehingga hidup hanya memperturutkan selera dan kehendak diri, atau dalam bahasa agama disebut hidup memperturutkan hawa nafsu. Sehingga setiap detik waktu yang dijalaninya hanya dipenuhi oleh aktivitas yang menyenangkan hawa nafsu. Alhasil hidup hanya sekedar hidup, tapi sesungguhnya tidak sadar makna hidup.
Kedua, selaraskan diri. Ketika diri telah sadar untuk apa dihadirkan di dunia ini, maka selayaknya setiap waktu yang dijalani harus mampu menyelaraskan diri dengan yang menciptakan diri. Artinya detik kehidupan harus diisi dan diselaraskan dengan aturan-aturan Tuhan. Mengangkangi aturan Tuhan hanya akan menyebabkan kesadaran ini menjadi tidak berarti. Sadar hidup, tapi tak mampu menyulut api hidup menjadi hidup dan bersinar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, syukuri diri. Ketika sadar diri dan selaras diri dijalani, maka hiasi dengan rasa syukur akan diri. Sebab hidup akan terasa berat bila tidak dihiasi dengan rasa syukur. Mengukur diri dengan timbangan kesadaran dan keselarasan hanya akan melahirkan logika matematika. Dalam hitungan matematika, penambahan akan meningkatkan jumlah dan pengurangan akan menurunkan jumlah. Sehingga yang taat akan diberikan limpahan nikmat dan yang maksiat akan dikurangi nikmat.
Padahal dalam pandangan Tuhan, boleh jadi yang taat dikurangi nikmat untuk menguji yang taat dan kelebihan nikmat bagi yang maksiat boleh jadi itu adalah laknat (istidraj). Rasa syukur akan segala yang diberikan Tuhan akan menjadikan sadar diri dan selaras diri kian berarti. Apalagi kebahagiaan hidup itu akan terasa lengkap bila mensyukuri setiap yang diberikan Tuhan. Sebab ukuran bahagia itu bukanlah kesuksesan meraih sesuatu, tapi mensyukuri sesuatu yang datang dan diberikan Tuhan. Bak ungkapan Dale Carnegie," success is getting what you want, but happiness is wanting what you get".
Keempat, seleksi diri. Sadar, selaras, syukur akan kian bermakna bila dibalut dengan seleksi diri. Boleh jadi jalan-jalan kehidupan membuat diri lupa, melenceng dari jalan Tuhan dan tidak bersyukur. Maka seleksi diri atau introspeksi adalah signifikansi untuk senantiasa menghadirkan perbaikan dan kebaikan dalam kehidupan. Seleksi akan mengingatkan dan menyadarkan diri akan jalan pulang yang sejati.
Jangan balut diri dengan selimut menyerah dan putus asa akibat kemalasan hidup dan timbunan dosa. Segeralah buang selimut-selimut itu, ganti dengan selimut optimisme dan kebaikan. Yakinlah, bahwa diri yang baik bukan diri yang tidak pernah salah atau berdosa, tapi diri yang baik adalah ketika diri itu salah, sadar dan tahu ia salah dan mau memperbaiki diri. Bukankah Tuhan senantiasa membuka gerbang keampunannya bagi setiap diri yang berdosa.
Keempat hal tersebut adalah beberapa laku untuk ditempuh agar kehidupan yang kita jalani menjadi bermakna. Mengenyampingkannya akan membuat jalan hidup tampak indah, namun boleh jadi menjerumuskan kita. Bukankah strategi iblis dalam menyesatkan manusia membuat tampak indah hal-hal yang buruk dan tercela? Membuat yang baik terlihat buruk dan yang buruk terlihat baik.
Semoga kaleidoskop hidup kita tahun 2019 atau tahun-tahun yang lalu mampu kita teropong dengan jernih dan mengambil pelajaran dan hikmah sehingga terlihat jelas di mana diri kita tegak, sisi mana yang dipandang jalang dan retak. Selanjutnya kita perbaiki dan isi setiap detik waktu kehidupan pada 2020 mendatang dengan hal-hal yang membuat diri menjadi berarti. Dan, kita akan meneguk air kebahagiaan hidup dengan tegukan yang menyenangkan.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini