Melestarikan Kemanusiaan: Refleksi Satu Dekade Haul Gus Dur
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Melestarikan Kemanusiaan: Refleksi Satu Dekade Haul Gus Dur

Selasa, 31 Des 2019 11:25 WIB
Fathorrahman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gus Dur (Ilustrasi: Tim Infografis detikcom)
Jakarta - Setiap bulan Desember ingatan publik nyaris selalu tertuju pada hari wafatnya tokoh bangsa panutan lintas generasi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada 2019 ini, berbagai kalangan di berbagai daerah menyelenggarakan beragam kegiatan untuk memperingati haul Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009. Ada yang mengadakan pengajian, pameran, diskusi, rembug budaya, dan lain semacamnya. Berbagai rupa kegiatan haul tersebut merefleksikan rekam jejak Gus Dur yang multidimensi.

Berbagai kapasitas dan kapabilitas seperti penulis handal, budayawan, intelektual, agamawan, hingga pejabat paling penting di republik ini (presiden) menjadi riwayat perjalanan hidup Gus Dur yang menginspirasi berbagai kalangan. Selain itu, pengalaman hidupnya yang penuh dengan tempaan perjalanan yang kosmopolit, toleran, inklusif, dan pluralis baik ketika berada di luar kekuasaan maupun di lingkup kekuasaan menjadi sebuah imperatif moral yang dirindukan banyak kalangan.

Menjadi wajar bila dalam peringatan satu dekade haul Gus Dur tidak hanya dihadiri oleh simpatisan dan penganut yang fanatik dari kalangan Islam saja. Namun, elemen penganut keimanan yang lintas batas seperti Tionghoa, Nasrani, aliran kepercayaan, dan lain sebagainya turut serta dalam hingar bingar haul di berbagai daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kehadiran para simpatisan dan berbagai pihak dalam 10 tahun haul Gus Dur, sekali lagi tentu tidak hanya dilatari oleh pengalaman diri Gus Dur yang pernah menjadi presiden maupun ulama besar yang disegani. Namun, sejarah hidup Gus Dur yang dihibahkan sebagai pejuang kemanusiaan, pembela kaum minoritas, aktivis demokrasi, dan pergerakan sosial lainnya lebih cenderung sebagai alasan mengapa semua kalangan dengan berbagai latar identitas tumpah ruah dalam haul Gus Gur.

Hal ini menjadi penanda, Gus Dur tidak hanya menjadi simbol resonansi diri yang membahana ketika masih hidup. Namun, kematian yang memisahkan hubungan fisik antara Gus Dur dengan idola dan penganutnya tidak luruh oleh peralihan zaman. Kepedulian berbagai kalangan untuk hadir dalam Haul Gus Dur memberikan isyarah kauniyah (isyarat alam) bahwa prestasi Gus Dur yang terselip dalam berbagai multidimensi masih dirindukan dan patut dijadikan sebagai referensi oleh siapapun ketika ingin berjuang membela kebenaran dan menegakkan keadilan.

Keberanian dan kecerdasan Gus Dur dalam mengimplementasikan epistemologi keilmuan klasik dan modern dalam khazanah pemikiran dan tindakan membentuk cara pandang kosmopolitan yang terbuka bagi tegaknya nilai-nilai demokratis sebagai fundamen kehidupan bermasyarakat, berbangsa, beragama, dan bernegara. Sehingga, ketika Gus Dur menjadi apapun tidak mengekang karakter dirinya yang menyukai terobosan yang progresif. Meskipun, sikapnya yang demikian selalu dijadikan sasaran tembak oleh kalangan yang lihai bertipu muslihat untuk menjatuhkan dirinya dari pusaran hidupnya.

Melestarikan Kemanusiaan

Di samping itu, untuk merefleksi rekam jejak dan warisan Gus Dur, diselenggarakan puncak satu dekade haul Gus Dur di Ciganjur pada 28 Desember 2019. Acara haul ini dihadiri oleh sejumlah tokoh seperti KH. Mustafa Bisri, Prof. Nasarudin Umar, Prof. Mahfud, MD, dan lain-lain. Adapun tema yang diinisiasi oleh pengelola acara ini adalah "Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan".

Dalam kaitan ini, tema ini mengingatkan kita semua bahwa di antara legasi yang selalu ditegaskan dan dilakukan Gus Dur adalah memperjuangkan spirit kemanusiaan. Legasi ini selalu kontekstual untuk dilakoni dalam kehidupan kita. Apalagi, akhir-akhir ini banyak pihak yang tidak bertanggung jawab menggunakan segala cara untuk memecah belah bangsa dengan modus pengetahuan dan ajaran yang dianut.

Spirit kemanusiaan perlu digunakan sebagai pendekatan maupun metode pemecahan masalah yang marak terjadi dalam kehidupan kita. Dalam kaitan ini, untuk menumbuhkan spirit kemanusiaan perlu dibekali dan dilandasi dengan budaya bertoleransi. Di mana, melalui budaya bertoleransi masing-masing kita bisa saling memahami dan menghargai setiap persoalan yang terjadi.

Perihal budaya bertoleransi, Gus Dur merupakan sosok yang semasa hidupnya sangat getol menyuburkan perilaku luhur ini. Keberpihakannnya dengan banyak kalangan, terutama bagi pihak-pihak yang diintimidasi oleh sikap despotis-mayoritanisme menjadi suri tauladan yang perlu kita warisi.

Atas rekam jejak Gus Dur yang berada di garda terdepan dalam menegakkan spirit kemanusiaan, budaya toleransi, dan pembelaannya atas nama kemanusiaan menjadi wajar bila sepanjang waktu sosok Gus Dur selalu diingat. Bahkan, ingatan tentang Gus Dur menjadi barisan kolektif yang bersifat lintas batas yang siap menghidupkan warisan Gus Dur dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah komunitas Gusdurian yang kini sudah menyebar di berbagai pelosok negeri.

Dalam kaitan ini, sebagai langkah untuk menyegarkan dan mengaktifkan warisan Gus Dur, melalui rembuk budaya "Haul Satu Dekade Berpulang Gus Dur", ada 10 rekomendasi yang dihasilkan dan ingin diajukan kepada pemerintah agar pandangan dan pemikiran Gus Dur tentang kebudayaan yang melestarikan kemanusiaan bisa termanifestasi dalam kehidupan berbangsa dan berbangsa. Pertama, kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan dengan menangkap pergumulan kemanusiaan, khususnya pengalaman hidup kelompok kelompok rentan/lemah seperti perempuan.

Kedua, gerakan dan kebijakan kebudayaan harus membangun ekosistem kebudayaan yang partisipatoris, sehingga pengembangan kebudayaan tidak bertumpu pada elitisme kebudayaan. Ketiga, negara dan masyarakat harus mengedepankan pendekatan kebudayaan sebagai bentuk pengelolaan keberagaman dan instrumen resolusi konflik. Keempat, negara harus menjadi fasilitator dalam tata kelola kebudayaan, dengan menjadikan kebudayaan sebagai kata kerja, sumber pengetahuan, dan peran vital dalam membangun peradaban yang lebih manusiawi.

Kelima, paradigma pembangunan harus berdasarkan strategi kebudayaan nasional, dan dijabarkan dalam kebijakan dan strategi anggaran, serta diimplementasikan secara komprehensif sampai ke pemerintah daerah. Keenam, negara harus memberikan jaminan perlindungan berekspresi dan dukungan sumber daya untuk gerakan kebudayaan dalam bentuk akses, fasilitas, dan ruang. Ketujuh, negara dan masyarakat perlu membangun model praktik keberagamaan yang kontekstual dengan konstruksi budaya Indonesia. Agama dan budaya tidak saling mengalahkan, bukan dikotomi yang kontradiktif, tetapi dialektis, keduanya saling belajar dan mengambil. Beragama yang berkebudayaan berarti praktik beragama yang membawa manfaat dan maslahat termasuk untuk alam.

Kedelapan, sistem pendidikan harus mengembangkan potensi kemanusiaan agar tidak dikendalikan oleh teknologi, tetapi menguasainya melalui khazanah pengetahuan dan budaya. Kesembilan, Kebudayaan perlu dioptimalkan sebagai cara menumbuhkan daya kritis terhadap kekuasaan, untuk mengikis pragmatisme dan apatisme politik. Kesepuluh, negara perlu meninggalkan model ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologi dan mulai menggali potensi ekonomi yang berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.

Semoga ke-10 rekomendasi yang dirumuskan dalam rembuk budaya haul Gus Dur yang ke-10 ini menjadi tapak sejarah di masa akan datang dalam menjalankan berbagai warisan pandangan dan pemikiran Gus Dur dalam menegakkan spirit kemanusiaan.

Fathorrahman dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan kalijaga, Wakil Katib PWNU Yogyakarta
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads