Peng-"asing"-an Bandara Labuan Bajo
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Peng-"asing"-an Bandara Labuan Bajo

Senin, 30 Des 2019 11:00 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Agus Pambagio (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Bandara merupakan salah satu pintu masuk utama kedaulatan negara. Untuk itu wilayah udara Indonesia harus dijaga sesuai dengan Perintah Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2008 Tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia. Bandara harus dilindungi dari berbagai pengaruh atau niat buruk bangsa lain. Maka dari itu Bandara merupakan salah satu objek vital yang harus dijaga oleh aparat keamanan dan seluruh Warga Negara Indonesia.

Minggu lalu ada pengumuman pemerintah terkait penetapan Konsorsium Cardig Aero Service (CAS) dengan anggota Changi Airport Internasional Pte Ltd (CAI) dan Changi Airports MENA Pte Ltd sebagai pemenang tender pengembangan proyek Bandara Komodo di Labuan Bajo (LBJ), Nusa Tenggara Timur. Konsorsium CAS mendapat hak konsesi pengelolaan Bandara LBJ selama 25, sebelum kembali diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sekitar tahun 2045.

Langkah ini merupakan sebuah terobosan kebijakan investasi infrastruktur Pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan kedatangan wisatawan manca negara (wisman) ke Indonesia. Namun masih banyak persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum peng-"asing"-an bandara dijalankan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengembangan Bandara LBJ dikerjakan melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan mengikutkan partisipasi asing berdasarkan Pasal 1 ayat (5) PM Perhubungan No. 58 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Dalam Penyediaan Infrastruktur Transportasi di Lingkungan Kementerian Perhubungan yang melengkapi UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Meskipun secara regulasi terlihat mulus tetapi pelaksanaan yang tergesa gesa bisa berdampak buruk, seperti yang terjadi di pembangunan infrastruktur lima tahun terakhir ini.

Realitas di Lapangan

Secara umum saya mendukung proses model KPBU dengan mencari alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur dengan menarik investor asing dan badan usaha asalkan semua langkah yang dilakukan harus terbuka diketahui publik sesuai dengan perintah yang diamanatkan oleh UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Kebebasan Informasi Publik karena model KPBU ini melibatkan jaminan Pemerintah yang antara lain berasal dari APBN.

Selain itu banyak persyaratan yang juga harus dipenuhi sesuai peraturan perundangan yang ada. Salah satunya berdasarkan Pasal 237 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan: "pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1) yang dilakukan oleh Badan Usaha Bandar Udara (BUBU), seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia (BHI) atau warga negara Indonesia".

Jadi pemenang tender harus BHI untuk bisa jadi BUBU. Kalau bukan BUBU, maka perusahaan itu tidak bisa mengelola bandara. Mari kita lihat komposisi permodalan konsorsium CAS. Menurut berita di media yang saya baca, komposisi kepemilikan saham konsorsium adalah 20% Singapura, sisanya 80% dikuasai oleh perusahaan Nasional, CAS. Berhubung CAS perusahaan terbuka, mari kita tengok komposisi sahamnya.

CAS sendiri menguasai 44% saham, 15% dipegang publik dan 41% saham CAS dikuasai oleh SATS yang merupakan kelompok usaha pendukung industri penerbangan Singapura. Masalahnya setelah saya hitung komposisi saham Konsorsium CAS secara sederhana, sebagai beneficial ownership pihak Singapura menguasai total mayoritas asing sebesar: 20% + (80% x 41%) = 20% + 32,8% = 52,8%.

Artinya sesuai UU No. 1 Tahun 2009, CAS bukan lagi BHI, sehingga di konsorsium ini tidak boleh menjadi BUBU karena saham mayoritas dimiliki asing. Hal ini diperkuat juga oleh UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Ini persoalan pertama yang harus dijawab oleh Menteri Keuangan.

Selanjutnya, apa sebenarnya tujuan pemerintah melakukan pengumuman konsorsium pemenang lelang secara gegap gempita di luar kebiasaan sebuah pengumuman pemenang lelang ? Sementara ini kan baru pengumuman pemenang biasa. Masih ada waktu sanggah, belum ada kepastian kapan renovasi bandara LBJ akan dimulai.

Meskipun di kesepakatan dengan pemerintah, dalam waktu enam (6) bulan mendatang Konsorsium sudah harus memulai pekerjaan fisik termasuk memperpanjang landasan dari 2.450 m menjadi 2.750 m dan peningkatan daya tampung terminal dari 500.000 menjadi 2 juta penumpang per tahun serta dalam 25 tahun harus menjadi 4 juta penumpang per tahun dengan nilai investasi Rp 1,2 triliun.

Saya perkirakan perjalanan konsorsium ini masih panjang sebelum dapat mulai pekerjaan fisik, Penyetoran modal kerja berpotensi masalah mengingat Singapura bangsa yang penuh perhitungan, sementara volume penumpang pada proposal (hanya 2 juta pax) kurang menarik bagi Singapura secara finansial. Pengalaman mereka pernah gagal mengelola bandara di negara lain, membuat mereka juga tidak akan mudah mengeluarkan atau bahkan menambah persentase modal ketika ada perubahan nilai investasi.

Sementara CAS sendiri, sudah habis-habisan ketika terkena kasus Mandala-Tiger. Bisa jadi kondisi keuangan internal CAS cukup berat. Jadi tentunya diperlukan pendanaan dari lembaga keuangan untuk memenuhi Rp 1,2 triliun. Ini masalah kedua yang perlu diwaspadai tapi mari kita tunggu babak selanjutnya dari drama LBJ yang menarik ini.

Permasalahan dan Tindak Lanjut

Selama kurang lebih enam (6) bulan ke depan, konsorsium harus segera memenuhi semua persyaratan KPBU, khususnya yang terkait dengan pendanaan atau setor modal. Lalu pastikan tanah yang akan digunakan untuk memperpanjang landasan pacu sudah beres dalam waktu enam (6) bulan mendatang.

Persoalan lahan merupakan persoalan terberat dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, apalagi jika pemiliknya tokoh masyarakat atau LSM, pejabat daerah, anggota DPRD yang pastinya akan menekan investor dengan segala cara termasuk melakukan agenda setting melalui media, khususnya media sosial.

Selain itu dukungan perbankan nasional juga harus di cari terobosannya. Jika bunga bank ditetapkan sama dengan bunga pinjaman investasi untuk jalan tol sebesar rata-rata 11%, tentu bukan hal yang mudah untuk dipenuhi oleh Konsorsium. Namun mereka akan mencari alternatif pembiayaan melalui Perbankan Singapura, meskipun suku bunga di bawah dua digit tetapi persyaratan Bank Indonesia juga ketat untu pinjaman luar negeri dari swasta.

Sekali lagi saya menyambut baik terobosan model KPBU dengan asing ini tetapi mohon Kementerian Perhubungan melengkapi semua peraturan perundangannya dengan baik. Jika terobosan yang dilakukan belum lengkap dasar hukumnya, cepat diselesaikan termasuk merevisi peraturan perundangan yang ada. Jangan didiamkan karena publik pasti, terutama saya, akan mempertanyakan hal itu.

Yang juga perlu dipantau publik adalah soal posisi Changi setelah Bandara LBJ dioperasikan, jangan dijadikan Bandara Changi sebagai hub Indonesia mengingat infrastruktur penerbangan Singapura lebih maju dari kita. Sebaiknya perlu diatur penerbangan maskapai Singapura yang mendarat di Bandara LBJ supaya pasar penerbangan maskapai domestik tidak tambah terpuruk.

Azas reciprocality and cadabotage harus di waspadai. Jangan kita bertambah pusing dengan Singapura, sementara kasus ruang udara di atas Kepulauan Riau (sektor A dan C) masih belum selesai. Berhubung CAS bukan BHI dan tidak dapat menjadi BUBU, maka sebaiknya Konsorsium perlu membuat strategi lain, misalnya operator Bandara LBJ adalah Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Kementerian Perhubungan seperti sekarang atau ada terobosan lain.

Mau peng-"asing"-an bandara? Semua harus disiapkan dan jangan lakukan pelelangan sejenis sebelum peng-"asing"-an Bandara LBJ selesai. Mohon semua bentuk baru kerja sama, apalagi dengan asing, harus ada penyesuaian di peraturan perundangan hingga setingkat Putusan Menteri atau tunggu kehadiran Omnibus Law,

Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads