Ucapan selamat pagi orang Jepang lebih membingungkan lagi. Selamat pagi dalam bahasa Jepang adalah ohayo gozaimasu. Asal katanya adalah hayai yang artinya cepat/segera. Dalam format standar ohayo gozaimasu sebenarnya hanya berbunyi hayai desu yang secara literal bermakna "Anda cepat". Ohayo gozaimasu adalah format halus dari ungkapan hayai desu tadi. Lalu, apa maknanya mengucapkan "Anda cepat" kepada orang yang Anda temui di pagi hari? Saya bayangkan itu sebagai pujian pada orang yang bangun cepat, dan melakukan aktivitas sejak pagi.
Ucapan selamat siang dan malam dalam bahasa Jepang lebih aneh lagi makna literalnya. Konnichiwa artinya "siang ini", dan konbanwa artinya "malam ini". "Wa" dalam frasa itu ditulis dalam huruf hiragana "ha" yang biasanya dipakai setelah subjek sebuah kalimat. Jadi, konnichiwa dan konbanwa sebenarnya adalah sebuah kalimat yang terputus. Salah satu penjelasan tentang asal frasa itu adalah, sebenarnya kalimat itu sapaan yang lengkapnya berbunyi konnichi wa/konban wa go kigen ikagadesuka yang artinya kurang lebih "bagaimana keadaan Anda siang/malam ini?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi kenapa kita ucapkan "selamat hari raya" atau "selamat ulang tahun"? Apakah ada kemungkinan orang tidak selamat saat hari ulang tahunnya? Kalau mau dicari makna literalnya, sekali lagi, ucapan selamat akan makin terdengar konyol.
Ucapan selamat adalah sapaan, yang boleh kita anggap tidak punya makna literal. Sapaan adalah kata-kata untuk meruntuhkan tembok penghalang komunikasi. Yang penting ada bunyi, yang membuat orang lain sadar bahwa ada orang di situ. Sekadar sebuah ucapan "hai", cukup untuk memberitahukan keberadaan seseorang, yang menyatakan siap untuk berinteraksi. Di situ tidak diperlukan kata-kata yang punya makna. Kalau pun dipakai kata bermakna, maka makna itu bukan yang dituju.
Sama seperti orang bertanya "sudah makan?", tidak serta merta dia mau menawari makan. Di kampung saya kalau ada orang lewat di depan rumah, kami sapa dengan ucapan "ndak singgah?". Kami tidak benar-benar berharap dia akan singgah.
Itulah hakikat ucapan selamat, atau sapaan pada umumnya. Kita membuka komunikasi melalui sapaan. Selanjutnya kita berinteraksi, bertukar pesan yang lebih dalam maknanya. Artinya, melalui sapaan kita mengakui keberadaan orang yang kita sapa. Orang yang tidak saling menyapa mengabaikan keberadaan orang lain.
Adakah makna lain? Ucapan selamat adalah ungkapan bahagia, atau ikut berbahagia. Kita berharap kebahagiaan atas orang lain, dan kita juga ikut berbahagia bersamanya. Selamat jalan, artinya semoga Anda selamat di perjalanan, dan perjalanan Anda menyenangkan. Saya berbahagia kalau Anda menikmati perjalanan itu.
Sama halnya, kalau orang menikah kita beri ucapan selamat. Artinya, kita turut berbahagia dengan pernikahannya. Orang yang baru dilantik, kita ikut berbahagia dengan pelantikannya. Orang yang baru lulus, kita ikut berbahagia dengan kelulusannya.
Bagaimana kalau tidak mengucapkan selamat? Ya, bebas saja. Cuma Anda bisa dianggap abai atau tidak ikut terlibat secara emosional dalam peristiwa yang dihadapi atau dijalani orang lain.
Tapi urusan ucapan selamat ini menjadi rumit bagi sekelompok orang Islam. Mereka punya salam sendiri, yang tidak boleh dipakai terhadap orang yang beragama lain. Gus Dur dulu mencoba meluruskan bahwa salam ini hanyalah soal sapaan, yang sama maknanya dengan selamat siang. Tapi Gus Dur kemudian mendapat celaan, seakan dia hendak mengganti salam Islam itu dengan ucapan selamat siang.
Lalu sekarang, setiap tahun orang Islam ribut soal ucapan selamat Natal. Setiap bulan Desember diulang-ulang bahwa haram hukumnya mengucapkan selamat Natal. Alasannya, itu sama sepertinya ikut mengakui ketuhanan Yesus, kata mereka.
Yang saya ingat, MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa haram mengucapkan selamat Natal. Yang ada adalah agar tidak ikut dalam peribadatan umat agama lain. Hal ini pernah dikonfirmasi oleh mantan Ketua MUI, Din Syamsuddin. Ketua MUI yang sekarang jadi Wakil Presiden juga mengatakan hal yang sama.
Jadi, yang mengatakan haram itu siapa? Ada sekelompok ulama. Sebenarnya ini pun bukan masalah. Kalau orang pernah belajar ushul fiqh dia akan tahu bahwa ulama boleh berbeda pendapat. Lebih dalam lagi, fatwa pun tidak mengikat. Ya, fatwa ulama itu tidak mengikat. Itu hal dasar dalam ushul fiqh, yang banyak orang Islam tidak tahu.
Jadi kalau ada fatwa ulama, MUI, atau organisasi apapun mengatakan bahwa mengucapkan selamat Natal itu haram, ya boleh saja. Tapi fatwa itu tidak membuat siapa saja jadi punya wewenang untuk melarang orang lain mengucapkan selamat Natal.
Soalnya sesederhana itu. Tapi soal sederhana ini jadi riuh setiap tahun. Riuh di hadapan umat lain. Ibarat suami-istri ribut bertengkar soal makanan apa yang hendak disantap untuk makan malam di hadapan para tetangga. Kenapa jadi ribut begitu? Pertama, karena ada begitu banyak orang yang tidak paham kaidah-kaidah dalam agama. Soal apa fungsi dan derajat fatwa, mereka tak paham. Mereka kira fatwa itu hukum Tuhan yang langsung diturunkan dari langit.
Soal kedua, adalah soal yang lebih parah, yaitu kebencian. Ada golongan orang yang yakin bahwa orang-orang Kristen itu senantiasa memusuhi umat Islam, dan dengan segala cara akan membuat agar umat Islam pindah agama, masuk Kristen. Mengucap selamat Natal adalah pintu masuk menuju pindah agama tadi. Nah, kepercayaan ini sebenarnya lebih berbahaya.
Saya sebenarnya malu melihat umat Islam setiap tahun bertengkar soal ucapan selamat Natal. Tapi itu soal kecil saja. Soal yang lebih besar dan mengkhawatirkan saya adalah orang-orang yang menganggap orang lain di sekitarnya sebagai musuh. Anggapan ini harus dikoreksi.
Selamat Hari Natal!
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini