Pemerintah baru saja merilis regulasi yang menyasar pelaku ekonomi digital. Yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Namun, sejumlah pasal di dalam beleid itu dinilai sarat muatan yang janggal. Tidak lazim. Bahkan berpotensi mengganjal pertumbuhan ekonomi digital.
Di panggung Bali Democracy Forum 2019 baru-baru ini, Profesor Peter Ronald deSouza menyatakan bahwa teknologi berjalan lebih cepat dari regulasi. Karena itu, regulasi harus mengikuti teknologi digital. Ilmuwan Centre for the Study of Developing Societies yang berbasis di India itu menilai, penyelenggara birokrasi harus mulai terbuka dan mampu beradaptasi. Bahkan dididik tentang teknologi, etika, dan demokrasi.
Di Indonesia, bukan kali ini saja regulasi berbenturan dengan terobosan revolusi teknologi. Catatan-catatan kurang menggembirakan pernah terjadi. Bagaimana regulasi mengebiri buah inovasi. Antara lain, peraturan tentang transportasi online pernah dicabut oleh Mahkamah Agung sebanyak dua kali. Yaitu Permenhub Nomor 26 tahun 2017 dan Permenhub Nomor 108 Tahun 2017.
Dua aturan itu menafikan penerapan teknologi di industri transportasi. Taksi dan ojek online dihalang-halangi oleh regulasi. Padahal layanan ride hailing telah menjelma menjadi ujung tombak ekonomi digital yang disegani. Bersyukurlah, kedua aturan tersebut dibatalkan MA. Diganti dengan beleid yang lebih akomodatif dengan industri masa kini.
Namun kasus pembatalan beleid transportasi online berpotensi terulang lagi. Pasalnya, PP Nomor 80 tahun 2019 tentang dagang daring memuat sejumlah pasal kontroversi. Lebih banyak menuai kontra. Penolakan.
Adapun poin-poin yang disoroti yaitu, kewajiban mengantongi izin dan punya status badan hukum. Bila ditelaah di dalam beleid tersebut, aturan ini bahkan berlaku kepada influencer, youtuber, selebgram, dan aneka profesi berbasis digital creative. Disebutkan bahwa setiap pelaku usaha melalui sistem elektronik harus merupakan subjek hukum yang jelas (Pasal 9) dan wajib mengantongi izin (Pasal 15).
Betapa repotnya konsekuensi yang ditimbulkan dua pasal tersebut. Gerobak nasi uduk pinggir jalan yang men-display produk di aplikasi untuk menjangkau pasar tanpa batas, harus bikin badan usaha. Begitu juga jasa pijat, servis peralatan elektronik, hingga montir otomotif panggilan. Aktivitas ekonomi mereka jadi ilegal bila tidak berbadan hukum.
Padahal, urusan administrasi itu butuh biaya berjuta-juta rupiah. Berat bagi mereka yang berjibaku di sektor ekonomi supermikro. Yang berjuang di bawah. Selama ini mereka berusaha survive tanpa uluran tangan negara.
Platform digital adalah anak kunci yang membuka peluang-peluang ekonomi baru. Penjual rujak cingur yang terletak di pojokan gang sempit Pademangan bisa menjangkau pasar karyawan kantoran bonafide di SCBD, karena digitalisasi. Produk kerajinan tenun sutra dari Sengkang, Sulawesi Selatan diborong oleh pembeli di Milan, Italia berkat aplikasi. Anak-anak muda konten kreator,mengantongi belasan juta per bulan, bahkan membuka lapangan kerja. Itulah berkah teknologi.
Selain wajib berizin dan berstatus badan hukum, beleid itu juga memuat poin tentang pajak bagi pelaku ekonomi digital. Memang telah lama disuarakan, harus ada level playing of field yang setara bagi pelaku usaha. Konvensional maupun digital.
Pedagang elektronik di Glodok dan pedagang tekstil di Tanah Abang sudah lama menagih kesetaraan dalam hal kewajiban pajak. Mereka mengeluh kepada pemerintah karena mengalami penurunan omset akibat shifting. Marketnya beralih ke online. Namun, para pelaku bisnis online tidak dipungut pajak. Menikmati keuntungan maksimal dari pertumbuhan pasar digital. Hal itu tidak diterima oleh para pedagang yang harus menyewa toko secara fisik, membayar retribusi, serta dipungut pajak setiap tahun. Mereka merasakan ekonomi berbiaya mahal.
Sementara di seberang sana, ada praktik ekonomi berbiaya murah. Menikmati pasar yang berkembang dan aneka benefit lain. Namun bebas dari kewajiban pajak. Begitu ekonomi konvensional memandang ekonomi digital. Membandingkan dunia lama yang mereka terus susuri, namun sebetulnya telah berubah.
Lantas, haruskah entitas bisnis digital ditimpali seperti perlakuan kepada pelaku bisnis era teknologi analog? Ketika inovasi-inovasi masa kini belum ditemukan. Ketika praktik bisnis masih serba manual. Hal ini perlu dicermati.
Aturan kewajiban pajak kita dukung berlaku untuk level korporasi digital. Baik dalam negeri, maupun luar negeri yang beroperasi melalui jaringan. Perusahaan over the top (OTT), seperti Google, Facebook, Spotify, Netflix, TikTok, dan lain-lain. Sementara para pelaku bisnis online skala mikro, sebaiknya bebas pajak. Juga tidak wajib mengikuti aneka aturan perizinan yang memberatkan. Itulah berkah ekonomi digital. Berkah inovasi. Harusnya disambut gembira. Disyukuri.
Ekonomi digital menawarkan efisiensi dan kepraktisan. Menggerakkan roda ekonomi tanpa dibebani lemak-lemak birokrasi. Benefit yang sebetulnya sudah lama diidam-idamkan. Revolusi ekonomi ini jangan ditarik mundur ke belakang.
Okelah, pelaku ekonomi digital di skala mikro ini memang tidak membayar pajak. Namun mereka berkontribusi di sektor lain. Yaitu di sektor produksi dan konsumsi. Sektor ekonomi yang selama ini sangat menolong pemerintah menghela pertumbuhan ekonomi, saat infrastruktur dan investasi kurang bertenaga.
Bila pun pemerintah sangat terpaksa mengutip pajak, saya kira perlu ada batas minimum omset tahunan. Tidak boleh dipukul rata. Apalagi ada pelaku jual beli online yang menggunakan media sosial hingga platform instant messanger. Bagi pengguna seperti itu, teknologi menjembatani aktivitas promosi dan jual beli. Tadinya, mereka bisa jadi jualan di warung atau kios depan rumah. Karena ada teknologi, mereka manfaatkan.
Urgen untuk mendasarkan pungutan pajak berdasarkan klasifikasi skala usaha. Juga melihat kontribusi ekonomi sebagai bukti keberpihakan pemerintah. Asas keadilan ekonomi harus ditegakkan. Pun begitu dengan menimbang relevansi dengan zaman.
Jangan sampai kita ditertawakan dunia. Ingat, pemerintah China superaktif mendorong usaha mikro dan ekonomi kerakyatan berselancar di platform ecommerce. Bahkan diandalkan sebagai pionir program memberantas kemiskinan. China punya ambisi menghapus kemiskinan. End all poverty by 2020. Serta melangsungkan pembangunan berkelanjutan dengan inovasi. Salah satunya dijembatani ekonomi digital.
Indonesia harus bisa melangkah lebih jauh dengan ekonomi digital. Apalagi market size ekonomi digital Indonesia terus membesar. Pada 2019 ini, kue industri digital sudah menembus angka Rp 560 triliun. Diramalkan mencapai angka Rp 1.400 triliun dalam lima tahun ke depan. Ambisi tersebut tentu bukan isapan jempol. Dengan catatan, pemerintah memberi jalan terang bagi ekonomi digital.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation dan praktisi ekonomi digital