Wakil Tetap Indonesia untuk PBB di Jenewa, Hasan Kleib, memberi kabar bahwa Uni Eropa bakal menggugat tiga kebijakan Indonesia ke World Trade Organization (WTO). Gugatan dilayangkan karena Uni Eropa menilai tiga kebijakan tersebut melanggar sejumlah ketentuan dalam The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT), sebuah perjanjian pendahulu dari WTO.
Tiga kebijakan Indonesia yang diprotes oleh Uni Eropa yakni; pertama, pembatasan ekspor untuk produk mineral, khususnya nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel di Uni Eropa. Kedua, insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik. Ketiga, skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mempersilakan Uni Eropa menggugat Indonesia ke WTO. Luhut menegaskan, keputusan pelarangan ekspor nikel mulai tahun depan dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas ini. Keputusan ini pun, kata dia, seusai dengan perintah UU.
Mengajukan gugatan dan menempuh konsultasi sepenuhnya merupakan hak Uni Eropa. Tetapi, sebagai negara berdaulat, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk takut terhadap ancaman gugatan tersebut. Uni Eropa terlalu berlebihan apabila menganggap kebijakan pemerintah, khususnya pembatasan ekspor produk mineral melanggar ketentuan GATT.
Uni Eropa tampaknya lupa, bahwa WTO memperbolehkan anggotanya dalam situasi tertentu untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi kepentingan sosial lainnya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan tersebut bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam GATT 1994.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semuanya sudah jelas bahwa konstitusi negara kita, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menegaskan bahwa ''bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.'' Dalil ini harus dilaksanakan dalam pembangunan dan penyelenggaraan perekonomian nasional karena perintah langsung dari konstitusi.
Pembatasan ekspor produk mineral semata-mata berlandaskan pada amanat konstitusi dan dilakukan lewat undang-undang untuk kepentingan ekonomi Indonesia juga mendapatkan alasan pembenar dari disiplin substansif GATT, yang mana WTO memberikan pengecualian untuk pembangunan ekonomi dalam rangka membantu negara berkembang. Dalam perdagangan internasional, WTO memberlakukan aturan perlakuan khusus dan berbeda (special and Differential Treatment) antara negara maju dengan negara berkembang dengan tujuan memfasilitasi dan mendorong pembangunan negara berkembang.
Selain itu, WTO juga menerapkan prinsip-prinsip yang mengatur dan mengakui kedaulatan negara atas kekayaan alam, kemakmuran dan kehidupan ekonominya. Hal ini juga sejalan dengan konvensi The General Assembly Resolution 1803 on The Permanent Sovereignty over Natural Resource yang juga menegaskan bahwa hak permanen bangsa dan negara atas kedaulatan kekayaan dan sumber daya alamnya.
Kepentingan Negara
Tak ada yang bisa membantah bahwa negara sebagai salah satu subjek hukum internasional saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Indonesia membutuhkan alih teknologi (transfer of skill) dan alih ilmu pengetahuan (transfer of Knowledge) dari Uni Eropa. Begitu pula Uni Eropa membutuhkan supply bahan baku dari Indonesia. Adanya saling ketergantungan dan hubungan timbal balik itulah yang mendorong kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat internasional yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama.
Tetapi perlu digarisbawahi bahwa kerja sama dalam perdagangan internasional yang nantinya akan dituangkan dalam perjanjian internasional tersebut harus dicermati dan diteliti sebelum diratifikasi. Jangan sampai ada tendensi menyingkirkan (ausschaltungs tendenz) dan tendensi menyusup (einschaltungs tendenz) terhadap ekonomi kerakyatan, apalagi bertentangan dengan kepentingan nasional. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan pemerintah secara cermat dan teliti dalam melakukan perjanjian kerja sama tersebut meliputi:
Pertama, siapa para pihak yang akan membuat perjanjian kerja sama tersebut. Apakah antarnegara dengan skema government to government (G to G), atau negara dengan perusahaan mutinasional dengan skema government to business (G to B). Semua itu harus jelas legal standing-nya. Jangan sampai terjadi penyimpangan hukum yang dapat merugikan kepentingan Indonesia seperti pada kasus kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Kedua, objek perjanjian internasional tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional suatu negara. Dalam hal ini, perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat wajib melibatkan persetujuan DPR RI sebagaimana termaktub dalam Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018.
Ketiga, pemerintah wajib memperhatikan asas-asas hukum dan kebiasaan dalam menyusun klausul-klausul perjanjian internasional. Pada dasarnya suatu perjanjian dibuat berlandaskan pada asas iktikad baik dan konsensualisme. Setelah terjadi pengesahan, maka perjanjian internasional berlaku dan mengikat para pihak, layaknya Undang-Undang (asas pacta sunt servanda).
Perlu diketahui, dalam hukum perjanjian internasional juga berlaku asas rebus sic stantibus, yang merupakan pengecualian dari asas pacta sunt servanda. Asas rebus sic stantibus telah diakui oleh hukum internasional, sebagaimana termaktub dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 18 Pasal UU Perjanjian International yang membenarkan untuk memutuskan perjanjian secara sepihak jika ada perubahan yang fundamental atas suatu keadaan.
Dalam perdagangan internasional pun, WTO juga mengatur prinsip klausul penyelamat (safeguard clause), yakni hak sepihak kepada suatu negara untuk menangguhkan atau menanggalkan kewajiban dalam suatu kontrak apabila dirasa menimbulkan kerugian bagi negara.
Dalam perdagangan internasional pun, WTO juga mengatur prinsip klausul penyelamat (safeguard clause), yakni hak sepihak kepada suatu negara untuk menangguhkan atau menanggalkan kewajiban dalam suatu kontrak apabila dirasa menimbulkan kerugian bagi negara.
Pemerintah harus ingat bahwa tujuan terpenting keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional adalah bagaimana mengarahkannya untuk sebesar-besarnya mewujudkan kesejahteraan rakyat (bestuurzorg). Jangan sampai sebaliknya, merugikan negara dan rakyat.
Agung Hermansyah alumni Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) FHP Law School Angkatan 3-2018 Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini