Menjelang bergulirnya tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melemparkan wacana evaluasi pelaksanaan pilkada. Salah satu yang menjadi sorotan Mendagri adalah biaya mahal yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon untuk melaksanakan kampanye. Namun selain isu mahalnya biaya pasangan calon, isu mahalnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah juga menjadi perhatian banyak pihak. Tidak sedikit orang yang berhitung biaya pelaksanaan pilkada ini dibandingkan dengan biaya pembangunan.
Dalam konteks evaluasi, semua pihak tentu harus jujur dan berpikir secara terbuka terhadap segala bentuk kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pilkada secara langsung. Menjadi tidak fair apabila pihak yang setuju pilkada langsung hanya menonjolkan sisi positifnya saja, dan sebaliknya pihak yang setuju kembali dipilih DPRD hanya menonjolkan sisi negatifnya saja dari pelaksanaan pemilihan yang memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya ini.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa salah satu isu berkaitan dengan pilkada langsung adalah biaya tinggi yang harus disediakan oleh pemerintah. Bertolak dari hal tersebut, tulisan ini akan mencoba fokus pada pembahasan mengenai pembiayaan pilkada langsung ini, benarkah mahal?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat pengalaman pelaksanaan Pilkada 2018, khususnya di Kabupaten Garut --demikian halnya dengan kabupaten/kota lain-- biaya yang dikeluarkan/disediakan oleh pemerintah daerah memang cukup besar. Bahkan setelah adanya pembagian pembiayaan dengan provinsi sekalipun karena bersamaan dengan pemilihan gubernur/wakil gubernur, hitungannya masih tetap tinggi. Lalu mengapa pilkada ini berbiaya tinggi?
Jika melihat postur anggaran pelaksanaan pilkada, maka sekilas juga bisa dilihat terdapat pos-pos anggaran yang angkanya cukup fantastis dan memiliki perbedaan yang mencolok dengan pos lainnya. Pos-pos tersebut di antaranya pemutakhiran data pemilih, honor badan penyelenggara ad hoc dan pengadaan, pengelolaan serta distribusi logistik.
Salah satu kegiatan yang membutuhkan anggaran yang cukup tinggi adalah pemutakhiran data pemilih. Padahal dalam hemat saya, kegiatan ini tidak perlu dilakukan jika data penduduk yang dimiliki pemerintah dalam hal ini kementerian yang mengurus data kependudukan sampai tingkat dinas kependudukan di daerah telah menyeluruh dan valid. Jika demikian, maka KPU tinggal membaginya ke dalam TPS-TPS tanpa harus melakukan pendataan ulang dengan biaya tinggi.
Sebagai contoh kasus di Kabupaten Garut, pada Pilkada 2018 melibatkan 4719 orang petugas pemutakhiran data (PPDP) sama dengan jumlah TPS. Jika satu orang PPDP dibayar Rp 500.000 saja, maka dibutuhkan dana sebesar Rp 2.359.500.000 (dua miliar, tiga ratus lima puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah). Besar bukan? Belum ditambah atribut PPDP, ATK petugas PPDP, biaya rapat-rapat petugas tingkat desa/kelurahan (di Kabupaten Garut terdapat 442 desa/kelurahan), rapat-rapat petugas tingkat kecamatan atau PPK (di Garut terdapat 42 Kecamatan).
Selain rapat internal petugas, ditambah lagi rapat pleno penetapan DPT, rapat koordinasi dengan stakeholders dan lain-lain baik di PPK maupun KPU Kabupaten/Kota. Rapat-rapat tersebut tidak cukup dilaksanakan satu kali dan semuanya tentu membutuhkan biaya. Bahkan pleno penetapan DPT pun bisa beberapa kali jika ada tindak lanjut perbaikan data.
Selain pemutakhiran data, kegiatan yang menyedot anggaran yang besar adalah pengadaan, pengelolaan dan distribusi logistik. Bicara logistik tidak hanya sekedar bicara surat suara, bilik suara dan kotak suara. Perangkat pendukung lainnya pun menyedot anggaran yang cukup besar seperti formulir-formulir dari mulai tingkat KPPS sampai KPU Kabupaten/Kota, alat coblos, ATK, alat-alat kelengkapan TPS dan sebagainya. Hal ini pun tidak selesai sampai tingkat pengadaan, tapi ada kegiatan pemilahan jenis dan jumlah, pembagian untuk tiap TPS sampai proses distribusi keberangkatan dan pengembalian. Semua ini membutuhkan biaya yang sangat besar.
Pos anggaran selanjutnya yang menyedot anggaran yang tinggi adalah honor badan penyelenggara ad hoc dari mulai tingkat kecamatan (PPK), tingkat desa/kelurahan (PPS) sampai tingkat TPS (KPPS). Untuk PPK dan PPS biasanya memiliki masa kerja sekitar 8 (delapan) bulan. Mereka pun masih dibantu oleh tenaga sekretariat baik di PPK maupun di PPS. Masa kerja 8 bulan itu lebih banyak dihabiskan untuk melakukan pemutakhiran data pemilih. Selebihnya "hanya" melaksanakan verifikasi calon perseorangan calon kepala daerah untuk daerah yang ada bakal calon dari jalur perseorangan serta membantu KPU melaksanakan sosialisasi.
Selain itu, maka PPK dan PPS akan sibuk sekitar satu atau dua bulan menjelang hari-H untuk melaksanakan bimtek-bimtek serta pendistribusian logistik. Terakhir, pos honorarium penyelenggara ad hoc adalah untuk KPPS. Kembali mengambil contoh kasus di Kabupaten Garut pada Pilkada 2018 dengan jumlah TPS sebanyak 4719 dan di setiap TPS terdapat 7 orang anggota KPPS plus 2 orang petugas Linmas, maka total sumber daya manusia yang dibutuhkan di tingkat KPPS adalah sebanyak 42.471 orang.
Jika setiap orang diambil rata-rata diberikan honor sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah), maka dibutuhkan dana sebesar Rp 21.235.500.000 (dua puluh satu miliar dua ratus tiga puluh lima juta lima ratus ribu rupiah). Anggaran tersebut sebatas membayar honor orang-orang yang bertugas di TPS saja pada hari-H. jika dipersentase, dalam kasus pelaksanaan Pilkada Kabupaten Garut 2018, biaya honor petugas TPS ini mencapai lebih dari 40% anggaran yang dihabiskan dari APBD Kabupaten Garut.
Berdasarkan hitung-hitungan matematis di atas, jika dihitung dari 3 poin saja, maka itu sudah lebih dari 50% total kebutuhan anggaran. Padahal, 3 poin di atas adalah hal-hal teknis yang sangat bisa diperdebatkan untuk menghasilkan sebuah desain pelaksanaan pemilihan yang efisien. Belum lagi pos lainnya yang sangat mungkin diminimalisasi besaran biayanya. Sebagai contoh, kita bahas kembali soal data pemilih. Jika data pemilih yang diterima oleh KPU sudah dipastikan data yang menyeluruh dalam arti sudah memasukkan seluruh warga negara yang memiliki hak pilih, maka Rp 2 miliar lebih anggaran pemutakhiran data pemilih sudah otomatis tidak dibutuhkan lagi. Masa kerja PPK dan PPS pun mungkin bisa dikurangi, karena sudah tidak ada beban tugas pemutakhiran.
Selanjutnya mengenai logistik dan badan penyelenggara ad hoc pasti akan bisa diminimalisasi jika, misalnya, telah disepakati pemungutan suara secara elektronik (e-voting). Dengan pelaksanaan e-voting maka dipastikan tidak akan menyita anggaran pengadaan, pengelolaan, dan pendistribusian logistik yang sangat banyak jumlah dan jenisnya itu.
Format Terbaik
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan permasalahan, sesuai dengan pembahasan awal dalam tulisan ini yang berkaitan dengan anggaran biaya, maka saya berpandangan bahwa asumsi pemilihan kepala daerah langsung berbiaya tinggi itu benar jika menengok pelaksanaan pemilihan di masa lalu. Namun jika kita berani mengambil sebuah keputusan penting, hal-hal teknis pelaksanaan pilkada merupakan suatu yang sangat terbuka untuk diperdebatkan dan dicarikan format terbaik yang paling efisien.
Sedangkan di sisi lain, pemilihan pemimpin secara langsung merupakan sesuatu yang bersifat mendasar jika bicara dalam koridor demokrasi dan kedaulatan rakyat. Pembahasan ini juga sudah barang tentu bukan jawaban atas segala permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pilkada langsung. Sekali lagi, tulisan ini hanya mengajak kita semua untuk melihat secara fair dari sisi anggaran pelaksanaan pilkada langsung. Selebihnya, tentu akan sangat banyak aspek lain yang akan menjadi bahan pertimbangan.
Namun demikian, proses konsolidasi demokrasi yang telah berjalan dengan baik ini janganlah dikorbankan dengan mendasarkan pada argumen yang bersifat teknis belaka. Biarlah rakyat tetap diberikan keleluasaan untuk menentukan pemimpinnya sendiri, dengan terus menerus kita lakukan perbaikan bersama-sama dalam segala aspeknya.
Jika rakyat seringkali disalahkan dan dianggap belum mampu menentukan pilihan secara rasional, maka tugas kita bersama untuk menjadikan rakyat ini benar-benar menjadi pemegang kedaulatan secara utuh didasarkan pada pandangan-pandangan rasional masing-masing, bukan sebaliknya menjadikan mereka semakin tidak paham dan menutup akses informasi dan hak-hak politiknya.
(mmu/mmu)