Malam hari saya iseng berjalan kaki menelusuri jalan kota. Lalu saya perhatikan keadaan di kota kecil itu. Trotoar yang saya lewati sangat lebar, sekitar 4,5 meter. Tiga meter untuk jalur sepeda, 1,5 meter jalur pejalan kaki. Trotoar diberi pagar yang membatasinya dengan jalan. Juga diberi pemandu lampu merah kelap-kelip di bagian bawah.
Hampir semua jalan di Jepang dilengkapi dengan fasilitas buat pejalan kaki. Sebagian dipagari untuk memisahkannya dengan badan jalan, sebagian lain hanya ditandai dengan garis. Kelengkapan trotoarnya sangat baik, termasuk kelengkapan untuk orang tuna netra.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenapa dibuat begitu? Karena begitulah seharusnya infrastruktur dibangun. Lengkap, sesuai standar. Kalau di negara kita, ada jalan saja sudah bagus. Jalannya minimalis saja. Pejalan kaki tidak diperhatikan. Boro-boro orang difabel. Dibuat trotoar, eh malah dipakai untuk jualan.
Di Jepang tanah sangat mahal, karena lahan serba sempit. Hanya sekitar 65% dari daratan Jepang yang bisa dihuni. Sisanya adalah lereng gunung terjal. Itu yang membuat harga tanah mahal. Tapi meski tanah mahal, pemerintah mau mengeluarkan biaya untuk bikin trotoar.
Menegakkan apa yang seharusnya, itu yang mereka anut. Rasanya pedih ketika menyadari bahwa pemerintah kita biasa asal bangun, asal ada. Mereka membangun jalan, tapi tidak menyediakan kebutuhan pemakai jalan dengan lengkap. Seakan membiarkan keselamatan pejalan kaki terancam.
Ah, tapi kan Jepang negara kaya, mereka punya anggaran untuk itu. Entahlah. Apakah ini soal adanya anggaran, atau soal kepedulian pada yang seharusnya? Dugaan saya, lebih pada soal kedua. Kita terlalu sering mengabaikan hal-hal penting dengan membuatnya jadi sepele.
Lalu soal anggaran. Jepang negara kaya, sehingga punya banyak uang untuk membangun banyak fasilitas. Saya terhenyak ketika menyadari satu hal. Kenapa mereka kaya? Jawabannya sangat sederhana: karena mereka bekerja. Mereka kerja keras dan cerdas.
Orang-orang Jepang dikenal sebagai pekerja keras. Tidak hanya keras, tapi juga cerdas. Dari kerja itu dihasilkan berbagai produk teknologi, yang mendominasi pasar dunia. Dari situlah mereka menghasilkan uang untuk membangun negara.
Kita kalau mau kaya tinggal bekerja seperti orang Jepang. Percayalah, mereka juga tidak sangat hebat. Dalam interaksi saya dengan orang Jepang selama 22 tahun ini, saya perhatikan bahwa mereka pekerja keras. Tapi saya bisa mengungguli kebanyakan dari mereka tanpa harus jadi workaholic. Saya bisa bekerja dengan lebih cerdas. Saya sering mengajari mereka soal visi, manajemen, dan sistem kerja.
Lalu di mana hebatnya? Kolektivitas. Orang Jepang bergerak bersama, bekerja bersama sesuai peran masing-masing. Engineer membangun dengan teknologi. Para buruh mengerjakan bagian mereka. Tukang bersih-bersih bekerja dengan penuh dedikasi. Semua orang bekerja dengan serius pada bidang mereka masing-masing. Ringkasnya, mereka berkarakter sama, yaitu pekerja keras, berdedikasi, tertib, disiplin, dan berintegritas. Tidak sekadar unggul secara individu.
Apa yang membuat karakter seperti itu tampak merata ada pada orang Jepang? Jawaban orang pada umumnya adalah, karena itu budaya mereka. Orang sering bicara soal budaya seakan budaya itu diturunkan, bawaan lahir. Mereka begitu karena mereka orang Jepang.
Padahal tidak demikian. Karakter itu bukan sesuatu yang dibawa orang sebagai bagian dari sifat biologisnya. Karakter itu dibentuk melalui tempaan dalam sistem sosial. Karakter itu dibentuk melalui pendidikan, dalam berbagai jalur. Mulai dari pendidikan keluarga, di sekolah, di tempat kerja, dan dalam interaksi bermasyarakat.
Sejak di rumah anak-anak sudah dididik untuk berdisiplin dan menjaga tata krama. Itu berlaku di seluruh keluarga. Di sekolah mereka juga dididik dengan prinsip yang sama. Tempat kerja mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, disiplin, dan berintegritas. Demikian pula di tengah masyarakat. Pelanggaran lalu lintas, misalnya, ditindak tanpa pandang bulu. Aparat penegak aturan menjadi contoh utama dalam penegakan disiplin.
Sebenarnya ini bukan hanya soal Jepang. Semua negara maju begitu. Negara maju bila seluruh sistem sosial, dari rumah tangga, sekolah, tempat kerja, dan interaksi sosial, bekerja bersama membangun suatu nilai bersama. Karakter kolektif bangsa dibentuk dengan cara itu.
Kita, kalau ingin maju, harus menciptakan dan menjaga sistem sosial seperti itu. Kita harus punya suatu sistem sosial yang terintegrasi, dengan tujuan yang sama, yaitu membangun suatu karakter. Untuk itu kita harus lebih dahulu mendefinisikan, bagaimana karakter bangsa yang hendak kita jaga.
Sayup-sayup saya masih ingat gambaran karakter bangsa yang diajarkan pada pelajaran PMP dulu. Kita adalah bangsa yang ramah dan santun, welas asih, peduli pada sesama, dan bergotong royong. Dalam konteks sekarang rasanya rumusan itu sangat kurang. Tidak ada ciri karakter kerja keras, kreatif, ulet, dan seterusnya.
Sejak dulu para tokoh bangsa sepertinya tidak tertarik untuk membangun karakter seperti itu. Mereka hanya kagum pada orang Jepang, tapi menganggap karakter seperti itu biarlah jadi karakter orang Jepang saja. Kita punya karakter sendiri yang berbeda. Kalau sekarang, karakter kita mungkin akan ditambah lagi dengan satu hal: taat beragama.
Ringkasnya, kita belum punya rumusan tentang karakter kita sebagai bangsa. Kalau pun ada, tidak mendukung atau mengarah kepada karakter orang moderen yang bekerja keras tadi. Itu yang membuat kita tertinggal.
Sekarang dalam sejumlah hal kita bahkan sudah tertinggal dari Vietnam. Kalau rumusan karakter ini tidak diubah, maka kita akan terus tertinggal. Bagaimana mengubahnya? Itu soal besarnya. Belum banyak orang yang peduli. Yang lebih dipedulikan orang sekarang adalah bagaimana membentuk generasi muda yang taat beragama dan rajin menghafal kitab suci.
(mmu/mmu)











































