Judul: Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-Teki Kebudayaan; Penulis: Marvin Harris; Penerjemah: Ninus D. Andarnuswari; Penerbit: Marjin Kiri, 2019; Tebal: ix + 262 halaman
Jika kita berkunjung ke suatu tempatβbisa toko buku, perpustakaan, atau kos teman misalnyaβdan melihat sekilas buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir ada di rak, mungkin kesan pertama yang terlintas ketika membaca judul dan melihat cover-nya, kita akan menganggap buku ini sebuah novel fantasi. Padahal kalau kita membaca isinya, kesan di awal tadi akan luluh lantak seketika. Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir secara utuh menawarkan penjelajahan yang sangat mencerahkan mengenai keberagaman masyarakat.
Karya Marvin Harris ini ialah buku antropologi yang sangat berjasa pada zamannya. Buku ini merupakan salah satu karya Harris yang populer di luar komunitas akademis antropologi. Buku ini juga dianggap sebagai bukti keahlian Harris karena berhasil menjelaskan pendekatan antropologi bagi khalayak luas. Harris menganggap bahwa buku ini adalah jawaban dari misteri tentang sebab-musabab gaya hidup yang tampaknya tidak rasional dan tak terjelaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang diuraikan dalam buku ini bisa dibilang berani dan kontroversial. Hal itu bisa dilihat dari keberanian Harris mendobrak tabu dan pakem yang sudah ada bertahun-tahun. Harris mengawali penjelasannya soal mistifikasi atau lebih tepatnya pemujaan terhadap sapi yang dianggap suci oleh masyarakat Hindu yang ada di India. Harris sangat piawai dalam menjelaskan kenapa selama ini ada sebuah kesalahan cara pandang, baik yang dipakai orang-orang Barat dan orang-orang modern pada umumnya, dalam melihat pensucian sapi yang dilakukan orang Hindu di India.
Sering kali asumsi penolakan yang mendasari cara pikir orang Barat dan orang modern memandang pensucian sapi tersebut adalah soal ekonomi dan rasional. Oleh karenanya, tidak akan pernah terlintas di pikiran dan imajinasi masyarakat modern untuk menahan kelaparan, padahal ada sumber protein dari daging sapi yang dianggap jumlahnya berlebihan. Di sinilah letak keberanian Harris dalam membalik logika tersebut, dengan menawarkan penjelasan soal efisiensi kinerja jangka panjang dan alasan ekologis yang sangat bisa diterima oleh akal sehat.
Selanjutnya, kita baru akan bisa memahami kenapa ada dualitas rasa kepada babi. Pertama, golongan yang membenci babi; dan kedua, golongan pecinta babi. Golongan pertama terdiri dari orang Yahudi dan Islam. Jika kita lebih kritis terhadap doktrin teologis, mungkin akan muncul sebuah pertanyaan, kenapa Tuhan Yahwe dan Allah repot-repot melarang keras mengkonsumsi babi? Apakah tidak ada penjelasan rasional yang menjadi sebab-musabab doktrin tersebut? Berangkat dari kehausan akan penjelasan, Harris coba merefleksikan soal waktu dan konteks kenapa muncul doktrin tersebut.
Ketika awalnya doktrin tersebut sudah diamini dan disepakati sebagai sebuah pakem yang tidak bisa diganggu gugat, kegelisahan akan penjelasanlah yang mendorong Harris untuk melanjutkan ijtihadnya agar doktrin tersebut tidak sekadar diterima tanpa ada landasan yang jelas. Setelah berjibaku panjang, akhirnya Harris tidak hanya menemukan bahwa doktrin tersebut sekadar berangkat dari masalah kesehatan. Lebih dari itu, ternyata ada faktor etnografis dan efisiensi waktu yang turut mempengaruhi kenapa umat Yahudi dan Islam pada waktu itu dan sampai hari ini menolak babi.
Cinta babi adalah kebalikan telak dari apa yang disampaikan sebelumnya. Namun, ada perbedaan yang mencolok dengan pensucian sapi di awal tadi. Cinta babi adalah bentuk rasa sayang dengan menganggap babi adalah bagian dari teman atau keluarga itu sendiri. Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat modern. Sedangkan untuk suku-suku yang ada di pedalaman hutan, cinta babiβdengan cara mengkonsumsiyaβsebagai bentuk penghormatan kepada mendiang orang tua yang sudah meninggal, atau sebagai bentuk kemewahan ketika diadakannya pesta besar-besaran.
Lantas, apa kaitannya babi dengan perang? Jika kita melihat dari kaca mata modern, kita tidak akan menemukan kaitan antara babi yang dapat memicu perang. Tapi setiap ketidakwarasan yang berlaku bagi orang modern, tidak akan sama bagi suku primitif dan perang primitif tentunya.
Babi menjadi salah satu indikator bagi suku-suku primitif untuk kembali ke medan laga. Babi juga menjadi pengikat sekutu yang akan diajak berperang nantinya, dan jumlah babi akan menentukan keberpihakan sekutu yang coba dirangkul oleh tuan rumah yang akan berperang.
Singkat kata, perang primitif tidak akan sama tujuannya dengan perang modern dewasa ini yang bertujuan mendominasi pihak lain. Perang primitif biasanya lebih dipicu oleh hasrat erotis yang tidak akan pernah terpuaskan sampai generasi-generasi berikutnya. Karena, begitu perang telah terjadi, baik pihak yang menang atau kalah, akan berpindah menemukan tempat baru yang bisa menunjang kapasitas kehidupan koloninya.
Dari semua ketidakwarasan sebelumnya, tidak heran lantas jika penjelasan soal penyihir menjadi penutup buku ini. Penyihir sering dianggap hanya sebuah khayalan dan imajinasi belaka, namun Harris coba mengungkap bukti-bukti yang membuat ingatan soal penyihir masih bisa bertahan sampai sekarang. Harris di sini mampu menjelaskan motif yang luput dari penelitian sebelum-sebelumnya. Selain sebagai sebuah bentuk pengalihan, ternyata sihir adalah alat ampuh yang mampu mengontrol rakyat kecil untuk tidak melawan penguasa waktu itu.
Pada titik itu, kelebihan buku ini terletak pada keberhasilan Harris yang mampu mengupas tuntas sejumlah masalah yang dialami antropolog bertahun-tahun. Buku ini berhasil menyampaikan pesan kepada pembaca yang sama sekali tidak punya dasar ilmu antropologi. Buku ini juga sangat relevan dibaca sekarang ini agar dapat memotivasi serta meningkatkan iklim akademik kita, khususnya di bidang antropologi.
(mmu/mmu)