Manto dan Legenda Tengkleng Solo

ADVERTISEMENT

Kolom

Manto dan Legenda Tengkleng Solo

Heri Priyatmoko - detikNews
Jumat, 06 Des 2019 13:48 WIB
Warung Sate Kambing "Pak Manto" yang terkenal dengan "tengkleng rica"-nya di Solo (Foto: Bayu Ardi Isnanto)
Jakarta - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta rampung menghelat konferensi berjudul "Eat, Pray, and Love" (27-28 November). Dalam forum ilmiah itu, saya mengisahkan sejarah keragaman makanan di Kota Solo. Daerah yang di-templok-i julukan "surga kuliner" tersebut tenar dengan hasil olahan pawon yang uenak, salah satunya tengkleng.

Peserta dengan setengah heran menanyakan muasal hidangan berbahan tulang itu. Kebetulan, belum lama satu dari sekian bakul tengkleng ternama di Kota Bengawan tutup usia, yakni Sumanto (26).

Wajah polos lelaki yang disapa Manto itu laksana kompas yang menuntun kita memahami cerita perantau penggelut bisnis kuliner yang sukses. Ia lahir dalam ekologi pedesaan Wonogiri sisi selatan yang tandus. Kerasnya bebatuan gunung serta pategalan yang kurang subur menggembleng jiwa putra daerah ini untuk ulet, gemi, jujur, serta kreatif ketika mengais secentong nasi di tanah rantau.

Manto kali pertama menapak kaki di Kota Bengawan pada 1983. Mengikuti jejak perantau lainnya dari tlatah Wonogiri, "joko cilik" ini menuju Pasar Kliwon. Dalam semesta kuliner Surakarta, kawasan tersebut berjejal warung sate kambing. Jika sudi menghitung, ada puluhan warung membentang dari perempatan Baturono, Sampangan, Semanggi, Gading, hingga perempatan Sangkrah.

Mengitari daerah tersebut, bola lubang hidung kita gampang tertusuk aroma sedap sate. Kahanan ini sukar dilepaskan dari realitas komunitas keturunan Arab bercokol di situ. "Encik", demikian wong Solo menyebutnya, dikenal pendoyan olahan kambing. Memang, komunitas Hadramaut itu masih merawat tradisi kuliner Timur Tengah yang berkarib dengan makanan sate.

Manto bersama kawan lainnya ngenger (mengabdi) pada juragan sate kambing di Pasar Kliwon, hingga menemukan tambatan hati di situ. Mula-mula, lare ndhusun ini membantu majikan membersihkan warung serta laden (melayani) pelanggan yang hendak menyalurkan hobi keplek ilat alias memanjakan lidah dengan aneka hidangan berbahan embek. Tahun berganti tahun, dilanjutkan mempelajari teknik memasak dan manajemen warung.

Setelah prigel menggarap daging serta punya modal cukup, Manto menceburkan diri dalam bisnis kuliner dan berani keluar dari "kerajaan sate kambing" di Pasar Kliwon.

Manto barangkali tak mempedulikan muasal tengkleng yang bertemali dengan kegetiran wong Solo merespons kahanan serba sulit akibat penjajahan Jepang. Kondisi larang pangan dan penderitaan masyarakat membuat eman untuk membuang belulang kambing.

Pada periode gemilang kerajaan, tulang ini dianggap limbah oleh kaum aristokrat, orang Arab, dan Eropa. Tapi, tatkala kelaparan melanda Pulau Jawa, mendadak belulang itu turut dimasak di pawon demi memenuhi kultur keplek ilat yang kadung menulang sumsum.

Kreativitas, ketegaran, dan ketangguhan mereka diuji zaman. Dapur di Solo laksana laboratorium farmasi yang memikul misi agung menemukan suatu obat mujarab guna meredakan "penyakit" makan enak di kalangan elite. Di-jereng-lah campuran belasan bumbu seperti lengkuas, serai, daun salam, kemiri, lengkuas, kunyit, bawang merah, bawang putih, ketumbar, dan sebagainya.

Selama berjam-jam sederet bumbu tersebut direbus bersama belulang kambing, tanpa kecuali bagian tengkoraknya. Hasilnya, bumbu begitu meresap sampai ke tulang. Juga menghasilkan rasa kuah yang gurih, asam, manis, dan asin yang berhulu dari ragam bumbu khas Nusantara itu. Sisa daging yang tertempel terasa lebih empuk ketimbang diolah jadi gule maupun sop.

Daging itu tanggal dari tulang dengan gigitan pelan, tanpa harus ngothot-othot. Manto dan bakul sate lainnya punya "jurus": tak pernah mengaduk tulang tatkala direbus. Dilarang pula merebus tulang bersama air dingin, melainkan diceburkan sewaktu airnya telah mendidih.

Sewaktu pegawai Manto menghidangkan sepiring tengkleng kuah ataupun tengkleng rica, jarang sekali aroma perengus kambing menguar. Menurut Imron dalam Majalah Intisari (2009), aroma perengus berasal dari bulu-bulu di kepala kambing yang terkadang masih tersisa. Sebelum dicuci dengan air, kepala kambing dibakar dan di-kerik hingga bersih sisa rambutnya.

Begitu pula kaki kambing. Kalau pengunjung tidak meminta jenis tulang secara khusus, bakal disajikan seporsi tengkleng terdiri atas tulang rusuk, kuping, otak, atau sejumlah bagian dari tengkorak lainnya seperti mata, pipi, lidah, atau sumsum.

Yang menggoda dari tengkleng rica di warung Manto adalah sumsum. Cermati saja, barisan kaum berkantong tebal tiada sungkan nyucrup sumsum yang bersemayam di lubang tulang. Tak peduli beredar mitos sumsum menambah keperkasaan di ranjang, yang utama merasakan sensasi menggerogoti belulang pada hari yang panas malah kian mantap. Cara makan yang kurang mriyayeni ini begitu dinikmati.

Mungkin bagi orang yang asing dengan khasanah kuliner Solo, model bersantap balungan tersebut bisa saja dituding nggragas: balung kok diembat jua!

Manto membuka cabang warung di beberapa kota besar ialah bukti nyata perantau sanggup menaklukkan penghuni kota lewat makanan. Terlihat pula ia ngelar atawa melebarkan warung di utara Pasar Kembang.

Berkali ulang saya melakukan ritual keplek ilat di "kerajaan" Manto seraya membatin bahwa anak desa ini menjelma bak raja yang mengadakan andrawina menjamu tetamu agung. Yakni, pesta olahan daging kambing di beberapa meja besar.

Kepulan asap dan aroma tengkleng menerbitkan rasa lapar dan kekaguman atas kekuatan dapur di Kota Solo.

Barangkali, Mas Manto sudah mangsak tengkleng yang lezat di khayangan!

Heri Priyatmoko dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, penulis buku Keplek Ilat

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT