Toleransi yang Tak (Perlu) Dipelajari
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Toleransi yang Tak (Perlu) Dipelajari

Jumat, 06 Des 2019 12:50 WIB
Karmin Winarta
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sebuah ritual desa di Tulunggangung, Jawa Timur (Foto: Adhar Muttaqin)
Jakarta - Pada sebuah perjalanan pulang ke Solo, di dalam kereta Senja Utama, saya duduk dengan seorang bapak-bapak muda. Ia mengaku berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah menengah. Setelah berbasa-basi, bapak ini menyampaikan pertanyaan yang sungguh tak terduga sama sekali.

"Bapak agamanya apa?"

Sebegitu pentingkah untuk mengetahui keyakinan seseorang yang baru beberapa menit dikenalnya? Apakah dia memperlakukan seseorang berdasarkan keyakinan? Atau, ia bertanya begitu karena wajah saya yang klimis tak berkumis atau berjenggot, tak bercelana cingkrang, dan memakai gelang batu yang eksotis dari Sumba?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tujuan perjalanan saya kali ini adalah ke sebuah kampung kelahiran yang lokasinya terpencil, di pelosok selatan Pulau Jawa, tepatnya di puncak gunung yang jauh dari pesisir pantai.

Di kampung yang tak terdeteksi Google Map ini, tidak ada satu pun warga yang pernah menjadi santri, tak ada kiai atau ahli agama yang mumpuni. Dalam soal agama, yang paling pintar adalah Pak Guru Agama (Islam) yang mengajar di sebuah sekolah dasar.

Mayoritas warga memang beragama Islam. Namun keyakinan lain seperti Kristen, Katolik, Kejawen, Animisme, dan Dinamisme masih dipraktikkan oleh sebagian warga. Kami hidup berdampingan dengan rukun.

Toleransi yang baik itu tampak pada aktivitas warga. Misalnya setiap ada warga yang beragama atau berkeyakinan apapun yang akan menikahkan anaknya atau khitanan, akan melakukan ritual khas desa yang dianggap sebagai salah satu upacara yang harus dilakukan.

Sebelum acara dimulai, seorang tetua kampung akan mengirimkan sesaji ke tempat-tempat yang dianggap keramat, mulai dari sendang, kali tempuran, campuhan (pertemuan dua sungai), dan tempat yang dianggap sakral lain.

Salah satunya adalah sebuah pohon asem raksasa yang telah berusia ratusan tahun. Uniknya, pohon tua itu tumbuh di tengah-tengah sawah. Di sekeliling pohon berupa tanah lapang yang cukup luas. Konon tempat itu dianggap sebagai rumah tinggal founding father, pendiri kampung kami.

Benar, kondisi kampung ini seperti Dukuh Paruk dalam novelnya Ahmad Tohari yang telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa itu.

Sang tetua kampung biasanya akan membawa sesaji yang bisa berupa beras, telor mentah, buah, atau makanan yang sudah matang yang ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari janur kuning, yang disebut ancak. Sebagai anak-anak yang kurang hiburan, peristiwa itu cukup menyenangkan.

Warga yang menikah pun akan mengalami dua kali akad nikah. Bagi yang muslim, mereka akan melakukan akad nikah di KUA. Selain itu, mereka juga melakukan ritual nikah secara adat Jawa dengan tahapan-tahapan yang ribet. Setiap tahapan menyimpan makna tertentu yang tak melanggar ajaran agama. Semua warga tanpa terkecuali akan bergotong-royong membantu kelancaran acara tersebut dari awal sampai selesai tanpa dibayar.

Ritual lain yang sering dilakukan warga adalah ketika menyambut Bulan Puasa yang disebut megengan. Setiap keluarga akan melakukan semacam selamatan, makan-makan dengan menu khusus dan berkirim doa kepada para arwah leluhur yang telah meninggal.

Peristiwa adat itu tak pernah ada yang mempermasalahkan. Ritual-ritual tersebut menjadi momen yang ditunggu, karena bisa menjadi ajang untuk bersilaturahim, lebih mengenal satu sama lain. Semuanya bergembira dengan perayaan yang dilakukan setahun sekali itu.

Di dalam keluarga, ayahku muslim, ibuku kejawen, dan aku merasa beruntung memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru untuk mengenal keyakinan kedua orangtuaku, meski sedikit.

Di keluarga besar dari pihak ibu ada yang beragama Katolik. Setiap menginap di rumahnya pas Bulan Puasa, dialah yang menyediakan makanan untuk santap sahur, meski tak ada satu pun keluarganya yang berpuasa.

Menginjak remaja, saya berteman akrab dengan orang-orang yang punya keyakinan yang lebih beragam, bahkan ada yang mengaku tak punya keyakinan tapi dia beriman. Bergaul dengan mereka bisa memperkaya kosa kata baru dan gaya "Bahasa Tuhan" yang disampaikan melalui kitab-kitab suci-Nya. Dan ini sangat menarik. Aku merasa tercerahkan.

Suatu hari teman saya minta tolong untuk menemaninya ke gereja untuk beribadah. Biar aku tak mati gaya, dia mengajakku masuk ke gereja dan mendengarkan khotbah dari Pak Pendeta. Tak ada yang aneh, Pak Pendeta mengajak semua jemaatnya untuk berbuat kebaikan.

Pada hari lain, seorang teman dari Belanda juga penasaran ingin melihat bagaimana seorang muslim beribadah. Lalu dia mengikuti saya ke sebuah gedung yang dipakai untuk Salat Jumat. Dia duduk manis, mengamati orang-orang yang sedang melaksanakan salat.

Meski kami berbeda keyakinan dan budaya, kami tetap berteman sampai sekarang, dan tak ada yang saling mempengaruhi atau terpengaruh untuk berpindah agama. Kami tetap saling menghormati dan saling menjaga toleransi, tak ada gesekan ataupun pertentangan sama sekali.

Saya menyadari perbedaan itu telah ada dalam diri kita sejak kecil. Bahkan dalam satu keluarga pun, kita telah dihadapkan pada perbedaan-perbedaan. Jangankan dengan orang lain, kalau kita amati dengan seksama, jari-jari kita saja berbeda antara tangan kanan dan kiri.

Saya tak pernah merasa belajar untuk menerima perbedaan apapun termasuk keyakinan. Karena perbedaan telah ada sejak dari "sana"-nya, sejak kita mengendus dunia. Saling menjaga dan menghormati perbedaan itu idealnya adalah sikap "default" yang harus dimiliki oleh setiap orang.

Belakangan ini, rasanya beberapa orang makin susah saja menerima perbedaan. Seperti yang beredar di media (sosial), sekelompok orang menolak kehadiran warung babi yang ada di sebuah mal di Makassar, mengusir orang-orang di pantai yang sedang liburan karena dianggap tidak syar'i, atau bertebaran banner secara online penolakan wayang kulit dan kebaya yang dianggap sebagai bentuk pemurtadan.

Beruntung sekali dengan Kabinet Indonesia Maju ini, toleransi makin digalakkan dengan membolehkan mendirikan rumah ibadah agama lain selain Islam, dan ada pelarangan untuk mengkafirkan orang yang beragama atau berkeyakinan berbeda.

Kenapa ada beberapa orang yang masih menolak perbedaan keyakinan? Bahkan tak sedikit penolakan itu ada yang datang dari para pendidik, dan orang-orang pintar lainnya. Hal yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Helen Keller, the highest result of education is tolerance.

Karmin Winarta
praktisi digital

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads