Ketika saya menyebut "khayalan", mohon jangan serta-merta menuduh saya mengatakan semua itu tidak ada. Sumpah, saya sangat takut dibilang makar, apalagi radikal. Apa yang disebut sebagai bangsa, negara, dan nasionalisme itu jelas ada. Tapi harus kita akui, semuanya bukan sesuatu yang gamblang kasat mata.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu bukan kali pertama saya ke luar negeri. Tapi perbatasan semua negara yang pernah saya lewati memang terasa sungguh-sungguh sebagai batas: ada prosesi kecil saya turun dari langit, mendarat di sebuah bandara, hingga apa yang tampak kemudian di hadapan saya adalah dunia yang berbeda, setelah sebelumnya saya menerobos gumpalan-gumpalan awan di atas sana.
Namun, yang kemarin itu beda. Tak ada adegan saya turun dari langit. Saya cuma meluncur di atas air yang sama, yang tak ada pagar-pagar jelasnya, tapi lambat laun sinyal seluler di HP saya menghilang entah ke mana.
Oh, saya sudah masuk ke teritori orang. Teritori di luar negara yang menguasai segenap hajat hidup saya.
Dan, setelah perahu cepat yang saya tumpangi itu berlabuh, saya harus berhadapan dengan wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang sebagian di antaranya semodel belaka dengan wajah saya. Wajah-wajah yang mengingatkan saya akan suatu sore ketika saya mengajak emak saya untuk berpesiar singkat ke Kuala Lumpur, dan emak saya itu berkomentar, "Wah, rasanya kok cuma kayak di Jakarta ya, Le. Orang-orangnya juga sama kayak orang Jakarta." Haha.
Tapi, semirip apa pun mereka dengan orang Jakarta (dalam versi emak saya), dengan angkuhnya mereka mencegat saya, lalu tanpa seutas pun senyum memeriksa lembar-lembar dokumen saya. Setelah itu mereka menatap penuh selidik ke foto wajah saya, memeriksa sidik jari saya, membubuhkan stempel ke paspor saya, dilanjutkan dengan memeriksa ransel bawaan saya.
Semua acara itu berlangsung dalam formasi yang jelas: saya bersikap inferior, memasrahkan nasib kepada orang-orang itu, dan mereka bertampang superior sebab memegang kuasa penuh atas boleh-tidaknya saya masuk ke wilayah mereka.
Seperti inikah negara dan batas-batas bengisnya? Seberapa berbedanya saya dan para petugas imigrasi Singapura? Dan, seberapa berbahaya jika batas-batas imajiner itu diabaikan begitu saja?
Tentu, Agnez Mo tahu itu.
***
Ini sebenarnya obrolan usang. Sudah sejak tiga setengah dasawarsa silam mendiang Ben Anderson merumuskannya. Bangsa adalah komunitas yang dibayangkan, kata dia. Ya, dibayangkan saja, karena tidak ada wujud objektif yang menegaskan bentuk dan batas-batas wilayahnya.
Kalau toh batas-batas itu terasa ada, semuanya cuma kesepakatan dari hasil proses sejarah. Sejarah kolonialisme Eropa. Dan berangkat dari kolonialisme pula, Singapura yang seuprit, dengan dua titik terjauh dalam wilayahnya hanya sejarak Pantai Parangtritis ke kampus Universitas Gadjah Mada, tiba-tiba tegak berdiri sendiri sebagai satu negara.
Persis di sebelah Singapura ada Johor, sebuah wilayah yang dari sisi karakter tradisi dan manusianya lebih dekat dengan Riau, ternyata juga sudah berada di wilayah negara yang berbeda. Riau dan Johor yang sesungguhnya sama itu harus berbeda negara, sementara Riau dan Jawa yang tidak mirip malah berada dalam wilayah administratif satu negara yang sama.
Persis untuk sisi itulah Pramoedya Ananta Toer pernah mengkritik dalam suatu wawancara. "Bangsa Indonesia itu tidak ada. Yang ada ialah nation Indonesia. Bangsa itu ya Jawa, Sunda, Batak...." Dan saya yakin Pram akan mengatakan bahwa Riau dan Johor itu satu bangsa, hanya saja berbeda negara. (Entah, apa yang akan terjadi dengan nasib Pram di hadapan mahkamah netizen jika hari ini ia masih ada dan menyatakan kalimat demikian di akun Twitter-nya.)
Pertanyaannya, kenapa imajinasi atas bangsa, yang agaknya diposisikan jauh lebih sakral dibanding negara, bisa demikian galak dan sensitifnya? Ah, Agnez Mo mungkin juga tahu itu.
Semua sesungguhnya hanyalah perkara administratif, dan administrasi tak lebih dari urusan huruf-huruf dan angka. Namun bersamanya jalinan cerita dibangun, kisah-kisah heroik disebarkan, dan epos-epos terus diwariskan.
Hasilnya, kita memahami konsep bangsa dan negara dalam pemahaman yang jauh lebih agung daripada sekadar urusan administrasi dan manajemen kehidupan bersama.
Yang sebagian besar di antara kita tidak tahu, tak semua negara-bangsa di dunia punya bekal seperti apa yang telah ditata kuat di fondasi kesadaran (sekaligus ketidaksadaran) kita.
***
Saya ingat poster itu. Ia tertempel anggun di dinding sebuah gedung di depan Salamanca Market, Tasmania. Sesosok lelaki bersorban merah marun, dengan kumis bapang, menjadi gambar utama di poster. Di bawahnya tercetak satu kata dalam huruf-huruf besar: "Aussie".
Lelaki bersorban itu Monga Khan, seorang muslim berdarah Afghanistan. Berkelana ke Australia seabad silam, ia menjadi pedagang legendaris yang sangat dikenal di Victoria, dan akhirnya diakui sebagai salah seorang yang berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi benua itu.
Poster Monga Khan itu bagian dari proyek Peter Drew, seniman yang berkeliling Australia untuk mengampanyekan definisi ulang atas nasionalisme Australia. Selama ini, kebangsaan Australia didominasi oleh pemaknaan sepihak kulit putih. Ketika Peter menghadirkan sosok yang tak pernah dibayangkan orang sebagai Australian alias Aussie, publik pun terhenyak. Siapakah sesungguhnya orang atau bangsa Australia? Apakah seorang muslim dengan darah Afghanistan, yang datang ke benua itu bahkan sebelum banyak orang kulit putih lain datang, yang kemudian berkontribusi besar bagi tanah itu, tak pantas disebut sebagai Aussie?
Kita tidak pernah mengalami PR pemaknaan kebangsaan ala Australia. Di Australia, warga asli tersingkir, sulit berdaya secara komunal hingga hari ini, dan bangsa penjajah berikut anak-turunnya mendominasi. Di Indonesia, penjajah hengkang, dan warga asli yang berkuasa.
Di Australia, pada akhirnya ke-Australia-an dimaknai dengan sangat luas. Seiring datangnya jutaan imigran dari berbagai penjuru bumi ke tanah itu, siapa pun yang tinggal dan secara resmi menjadi warga negara di sana adalah Australian. Sementara di Indonesia, tanah yang bukan tujuan para imigran, di mana dominasi dipegang "penduduk asli", keaslian yang absurd itu acapkali direproduksi terus-menerus.
Walhasil, konsep "Indonesia asli" itu diseret-seret ke masa yang jauh sekali ke belakang, bahkan sebelum Indonesia sendiri ada. Efek lanjutannya, banyak orang yang garis darahnya tak bisa ditarik hingga ke masa Majapahit atau Sriwijaya atau minimal Mataram seolah tak boleh disebut sebagai orang Indonesia asli.
Lantas, apakah keindonesiaan itu? Saya masih yakin bahwa Agnez Mo tahu. Tapi banyak orang yang sempat menghujat Agnez malah naga-naganya tidak begitu tahu.
***
Kebangsaan adalah perangkat identitas. Namun kita sering tak sadar bahwa identitas kita diacak-acak oleh banyak sejarah administrasi. Mulai kolonialisme, hingga administrasi lokal.
Itulah kenapa kawan-kawan saya dari Punjab pada satu waktu menyebut diri sebagai orang India, namun di waktu lain seolah tidak sudi disamakan dengan orang-orang Kerala. Itulah kenapa dengan semena-mena gambar di sampul bagian dalam Atlas Indonesia menyajikan sepasang manusia berkostum Solo dan disebut berpakaian adat Jawa Tengah, padahal warga Cilacap yang juga bagian Jawa Tengah sama sekali tidak pernah berbaju seperti itu.
Mungkin karena itulah pula, sahabat saya yang orang Minang dan bermarga Chaniago selalu malas menyebut diri sebagai orang Minang, hanya karena orangtuanya lahir dan dibesarkan bukan di wilayah administratif Sumatra Barat, melainkan di Riau. Mungkin karena itu jugalah saya dengan tanpa berpikir menyebut diri sebagai orang Jogja, dan Jogja lekat dengan Mataram, padahal sesungguhnya identitas primordial saya lebih dekat ke Mangir Wanabaya alih-alih Panembahan Senopati dan cucu-cicitnya.
Bangsa dan kebangsaan adalah konsep dan batas-batas yang semestinya bisa terus didefinisikan ulang. Repotnya, karena banyak sekali hal yang sudah diketok menjadi harga mati di negeri ini, kita kadang terlalu takut untuk mempertanyakan.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul (mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini