Judul Buku: The State, Ulama and Islam in Malaysia and Indonesia; Penulis: Norshahril Saat; Penerbit: Amsterdam University Press, 2018; Tebal: 254 Halaman
Imbauan MUI Jawa Timur kepada pejabat untuk tidak menggunakan salam agama lain ketika pembukaan acara menunjukkan otoritas yang ingin dimunculkan oleh MUI atas kooptasi kebijakan yang didoktrinasi untuk diterapkan ke semua wilayah negara.
Otoritas ulama merujuk konsep yang dikemukakan Weber dalam karyanya The Types of Legitimate Domination (1914) bisa saja itu bersumber dari otoritas kharismatik dalam diri ulama itu sendiri yang dikukuhkan oleh pengikutnya. Tetapi ketika ulama menjadi identitas yang melembaga dalam institusi seperti MUI, justru otoritas itu seolah menjadi basis kuasa untuk mendominasi ataupun kapitalisasi atas kebijakan-kebijakan yang bernilai ekonomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu menjadi telisikan dalam buku Norshahril Saat yang mengulas tentang perbandingan ulama di dua negeri serumpun Indonesia dan Malaysia. Norshahril Saat melihat pengkooptasian ulama dengan otoritas yang dimiliki menjadikan negara memberikan legitimasi melalui lembaga-lembaga dimana ulama bernaung di bawahnya.
Ulama dengan otoritas kharismatik sepertinya sudah cukup jarang di era post-truth saat ini, karena kooptasi atas identitas itu pun lebih banyak digunakan untuk legitimasi penjaringan massa pendukung, alih-alih untuk pembebasan umat. Ulama di kedua negara pun sebagai individu yang menjadi trend setter atau figur di masyarakat kadang tidak luput juga dari relasi-relasi kepentingan ketika sudah dijadikan sebagai ikon untuk menarik massa dalam dukungan untuk meraih otoritas legal rasional (meminjam konsepnya Weber) yang diatur dalam Hukum Undang-undang Pemilu.
Maka, relasi intersubjektif antara ulama dan pengikutnya pun hampir bukan lagi basis loyalitas atas nilai agama, tetapi relasi untuk meraih kuasa dengan dukungan ulama yang menterjemahkan loyalitas pengikut menjadi upaya untuk meraih sebanyak mungkin massa pendukung untuk pencapaian posisi elite kuasa misalnya.
Selanjutnya hal yang absen dari spirit-spirit emansipatoris ulama kedua negara dalam upaya pembebasan umat dalam ketertindasan, baik secara kultural maupun struktural dalam posisi mereka di lembaga, yaitu pengambilan jarak yang cukup masif dari realitas kehidupan umat. Posisi ulama di menara gading lembaga seperti MUI misalnya yang dilegitimasi negara menjadikan mereka justru kehilangan otoritas kharismatik itu.
Seperti halnya seruan MUI Jawa Timur tersebut misalnya tentang larangan pejabat muslim menggunakan salam agama lain dalam pembukaan acara. Selain karena menyatakan salam juga terdapat landasan teologis di dalamnya, dan upaya menghindari syubhat beragama dengan tidak mengucapkan salam agama lain, MUI dengan otoritas itu pun mencoba melakukan infiltrasi kebijakan dengan dasar fatwa dari hasil Rakernas MUI.
Sedangkan ulama di negeri tetangga dengan independensi lembaga tempat mereka bernaung juga menjadikan otoritasnya lebih mempunyai kuasa intervensi kebijakan negara yang berkaitan dengan kehidupan beragama, bahkan sampai ke ranah basis-basis ekonomi seperti halnya ulama di Indonesia melalui sertifikasi halal, sampai standardisasi moral. Perbandingan antara kuasa ulama kedua negara yang disajikan Saat tetapi tidak sampai pada relasi antarkoneksi keduanya terkait geliat islamisasi yang muncul saat ini, terlebih merespons gerakan-gerakan ekstremis yang mulai berkembang di kawasan Asia Tenggara.
Ulama di Malaysia yang resmi dengan legitimasi negara mendapatkan otoritas lebih ketika relasinya dengan negara mendukung kepentingan elite kuasa sampai pada rekomendasi-rekomendasinya atas pemilihan sumber daya untuk poros-poros tertentu. Begitu juga dengan relasi kuasa ulama di Indonesia dengan label resmi MUI, mereka pun bisa mengkooptasi sumber daya untuk meredam isu-isu sensitif ketika itu berkaitan dengan masyarakat muslim sendiri. Seperti halnya dengan terpilihnya Ketua MUI Pusat sebagai Wakil Presiden sebagai wujud keterwakilan masyarakat muslim dengan ulama sekaligus sebagai umara.
Apa yang menjadi penekanan Saat dalam buku ini yaitu penyajian data analisis tentang perbandingan ulama kedua negara, tetapi tidak secara detail menyatakan relasinya terkait geliat islamisasi yang terjadi di masing-masing negara, termasuk pada masa kolonial.
Keterbelahan Identitas
Definisi ulama dalam beberapa tahun terakhir seolah mengalami penyempitan makna pada orang yang memberikan ceramah keagamaan di tengah masyarakat. Terlebih dengan perkembangan teknologi, seseorang begitu cepat mendapatkan label ulama hanya dengan ceramah viral di media virtual dengan jumlah penonton diakumulasikan sebagai jamaah yang mengikuti pengajiannya.
Fenomena ustaz selebritas yang dianggap sebagai ulama mulai mendominasi di Indonesia di tengah giat gerak islamisasi di tengah masyarakat. Keterbelahan identitas ulama pun menjadi hal krusial di tengah masyarakat karena mereka membawa jamaah dalam keterbelahan itu.
Ulama di Indonesia yang resmi di bawah naungan MUI sebagai lembaga pemerintah justru mengalami keterbelahan identitas juga di tengah maraknya dukungan politik elektoral ke salah satu kubu untuk perebutan kuasa negara. Sementara di Malaysia, ulama resmi di bawah tiga lembaga keislaman mempunyai peran yang lebih luas dalam urusan negara, dan pengaruh terhadap hukum negara. Hal ini juga menjadi fokus kajian Saat yang melihat komparasi antara empat lembaga resmi ulama dua negeri serumpun, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), dan Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia (JKF-MFI).
Perbandingan yang disajikan Saat terkait pengkooptasian ulama di rezim pemerintahan Soeharto di Indonesia dan Mahathir Mohammad di Malaysia. Tetapi setelah rezim politik berubah, Saat melihat kiprah Ulama di Indonesia lewat menteri agama, pemerintah Indonesia seakan agak mengerem gairah islamisasi MUI dengan membatasi perannya sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa.
Penguasaan Negara
Dengan konsep capturing (penguasaan), Saat melihat relasi antara ulama dan negara menjadikan otoritas ulama seolah mendapatkan legitimasi atas itu. Meski awalnya terkooptasi, ulama resmi di Malaysia kemudian mampu mandiri secara institusional dan menguasai sektor-sektor penting di bagian negara yang berkaitan dengan distribusi sumber daya. Saat melihat itu sebagai sebuah upaya yang dilakukan ulama Malaysia dalam merespons sekularisasi yang mencoba masuk ke lini kehidupan beragama di negeri tetangga tersebut.
Berbeda halnya dengan dengan ulama resmi di Indonesia yang kurang berhasil menguasai negara, ideologi Pancasila yang dianut di Indonesia tidak secara jelas memberikan ruang kepada ulama untuk menggaungkan geliat islamisasi karena porsi yang diberikan ke semua agama juga sama. Menurut Saat, ulama di Malaysia kuat secara kelembagaan karena mereka bisa mendistribusikan sumber daya di berbagai sektor. Itulah yang menyebabkan ulama resmi di Malaysia bisa meraih berbagai sumber pendapatan serta mempertahankan kekuasaannya dalam penunjukan pejabat, dan mempengaruhi kebijakan.
Begitu pula dengan MUI yang meluaskan otoritasnya dalam ekonomi syariah, dan menggali pemasukan lewat sertifikasi halal dan mendominasi wacana keislaman melalui kuasa Dewan Syariah Nasional sebagai underbow mereka. Otoritas dalam mendominasi wacana keislaman di kedua negara tetap menjadi agenda prioritas, Karena peran dan fungsi ulama resmi di kedua negara sebagai bagian tak terpisahkan dari relasi kuasa negara, juga menjadikan mereka sebagai media untuk sosialisasi umat beragama dalam kepatuhan terhadap negara.
Saat melihat relasi antara ulama resmi dan negara di kedua negara ini tidaklah sederhana. Salah satunya kooptasi dari kedua ulama resmi antara Malaysia dan Indonesia menunjukkan bahwa ulama resmi di Malaysia lebih mampu membangun independensi dalam pengaruh terhadap negara, salah satunya di dalam hukum sehingga Malaysia mampu menerapkan hukum Islam di beberapa bagian. Sementara ulama resmi di Indonesia kurang berhasil menguasai negara.
Ulama resmi senantiasa berada dalam relasi kuasa yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan otoritas sebagai pihak yang dieksklusifkan. Bahkan di Indonesia otoritasnya akan semakin meluas di tengah mulai menguatnya konservatisme Islam. Maraknya organisasi Islam di luar lembaga resmi pemerintah menjadikan ulama tak resmi merespons fenomena keislaman dengan berusaha menekan elite-elite legislatif untuk mengesahkan rancangan undang-undang perlindungan ulama dan tokoh agama.
Sementara keterbelahan di internal MUI dengan membentuk poros baru di lingkup "ulama tak resmi" dalam persatuan Alumni 212 (PA 212) menjadikan mereka semakin mempunyai otoritas untuk menarik umat dalam politik elektoral sebagai pihak yang militan mendukung salah satu kubu. Di kubu lain pun tidak sedikit ulama yang menjadi pijakan masyarakat untuk mendukung, dengan militansi yang sama berdalih mengikuti guru.
Fenomena relasi kuasa ulama resmi dan tak resmi dalam penguasaan negara menjadikan buku ini menarik menjadi referensi untuk melihat konteks masyarakat Islam saat ini yang apakah juga terkooptasi oleh ulama resmi dan tak resmi tersebut dengan sisi keilmuan, ataukah hanya sekedar militansi mengikuti mereka karena emosional yang mengikuti hasrat politik elektoral mendukung salah satu kubu.
Sejauh ini pengaruh ulama kedua negara serumpun dalam relasinya dengan negara masih sebatas institusional di masing-masing negara. Setidaknya perbandingan di keduanya yang disajikan Norshahril Saat menjadi fondasi awal untuk semakin jauh menggali relasi ulama kedua negara baik ulama resmi maupun ulama tak resmi dalam pengembangan masyarakat Islam dan bidang keilmuan Islam di wilayah Asia Tenggara.Abdul Rahim staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
(mmu/mmu)