Relasi (umat) Islam dengan agama lain seringkali mengalami hambatan "doktrinal". Hampir di setiap pengujung tahun, umat Islam selalu ramai dengan debat ihwal mengucapkan "Selamat Natal". Sebagai pemanasan menuju keramaian tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan imbauan bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar umat Islam tidak mengucapkan salam pembuka semua agama.
Argumennya karena "salam" adalah ungkapan doa yang merujuk kepada agama tertentu, dan bahkan dalam Islam, doa merupakan bagian dari ibadah. Atas dasar inilah, mengucapkan salam versi semua agama masuk kategori bidah, mengandung nilai subhat, karena itu harus dihindari bagi umat Islam.
Terhadap kegaduhan umat islam, saya langsung teringat pada (alm) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Teringat betapa pada tahun 80-an akhir, soal salam menjadi perbincangan publik. Penyebabnya adalah terbitnya sebuah berita bahwa Gus Dur membolehkan ucapan salam dalam bahasa Arab itu (assalamu'alaikum warahmatullahi wabakaratuh) diganti dengan selamat pagi/siang/malam atau yang sejenis.
Sontak saja, publik terkaget-kaget atas berita yang pertama kali muncul dari hasil wawancara Edy Yurnaedi untuk Majalah Amanah itu.
Makna Salam
Kata "salam" satu akar kata dengan kata Islam, yakni berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari huruf SLM (sin, lam, dan mim, yang dibaca salima). Dari susunan huruf tersebut lahir kata salam (damai), Islam (kedamaian), istaslama (pembawa kedamaian), dan taslim (ketundukan, kepasrahan, dan ketenangan).
Di dalam al-Quran sendiri, kata salam ini terulang sebanyak 146 kali yang tersebar di sejumlah surat dengan beragam makna kontekstual. Bahkan, kata assalam sendiri merupakan salah satu nama Allah (QS. 59: 23).
Jika mengikuti akar kata dan maknanya, jelas sekali bahwa kata salam sangat erat sekali dengan perdamaian, ketenangan, bukan menebar ancaman. Sehingga, orang yang menyampaikan salam diharapkan untuk memberikan rasa damai dan tenang kepada orang lain. Bukan bersalam tentunya jika disertai dengan ancaman dan nuansa ketakutan.
Karena itulah, orang yang bersedia memberikan damai dan tak merasa ada permusuhan biasanya menjulurkan tangannya kepada kawan yang dijumpainya, yang kita sebut sebagai salaman. Kata salaman sendiri berasal dari kata salam yang mendapatkan akhiran "an", sehingga bermakna perilaku atau peristiwa melakukan perdamaian. Kata yang mirip adalah tahlilan yang berakar kata tahlil yang mendapat akhiran "an", sehingga bermakna peristiwa membaca atau melakukan tahlil.
Dengan demikian, tradisi salaman baik pada acara formal, hari-hari penting, ataupun saat berjumpa dengan kawan adalah peristiwa memberikan salam non-verbal kepada orang lain. Dalam konteks kehidupan sosial, mengucapkan salam itu dapat dimaknai dalam tiga konteks. Pertama, sebagai sapaan. Salam menjadi media untuk menyapa orang lain, baik untuk rekan sejawat ataupun audiens pada suatu forum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika orang Jawa, misalnya, memberikan salam kepada dan dalam tradisi Batak, tentu saja dijawab dengan antusias. Begitu pula, ketika orang selain Arab mengucapkan salam dalam bahasa Arab assalamu'alaikum.
Kedua, salam sebagai doa. Sejumlah ungkapan sapaan versi agama umumnya mengandung doa kebaikan. Assalamu'alikum warahmatullahi wabakatuh itu bermakna semoga keselamatan dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya terlimpah kepada kalian. Salam sejahtera yang pernah diucapkan oleh Yesus bermakna salam kesejahteraan dalam naungan Allah. Om Swastyastu bermakna semoga dalam keadaan selamat atas karunia dari Hyang Widhi.
Namo Buddhaya yang semula diucapkan secara lengkap om namas siwaya namo buddhaya bermakna hormat kepada Siwa dan Buddha. Salam Kebajikan yang dalam bahasa Cina, tempat lahir agama Kunghucu, sama dengan Wei De Dong Tian bermakna hanya kebajikan Tuhan berkenan.
Ketiga, salam sebagai bagian dari agama. Ini terutama muncul dalam agama Islam, karena menjadikan salam itu sebagai rukun salat paling akhir. Dalam makna yang terakhir ini, tentu saja umat Islam tidak bisa mengucapkan salam dalam versi bahasa ataupun agama lain, karena ia harus mengucapkan assalamu'alaikum warahmatullah.
Wilayah Ijtihadiyah
Yang menjadi persoalan bagi MUI Jawa Timur tentu bukan makna salam yang ketiga, tetapi makna yang pertama dan kedua sekaligus. MUI Jawa Timur menafsirkan bahwa mengucapkan salam dalam agama lain bermakna mendoakan pemeluk agama lain, sekaligus juga mengakui Tuhannya.
Pertanyaan klasik namun esensial karena tak kunjung selesai diperdebatkan adalah ihwal kebolehan atau ketidakbolehan mendoakan pemeluk agama lain, serta apakah mengucapkan salam dalam agama yang berbeda berarti beriman kepada agama tersebut.
Ulama dan intelektual muslim pun punya jawab-pandang yang tak tunggal. Karena terjadi silang pendapat di kalangan ulama tersebut, setiap tahun umat Islam di Indonesia masih meributkan soal hukum mengucapkan Selamat Natal.
Yang perlu disadari oleh umat Islam adalah bahwa soal mengucapkan salam dan mengucapkan Selamat Natal adalah wilayah ijtihadiyah yang bersifat dhanny (relatif), di mana ketentuan hukumnya tergantung konteks sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Karenanya, Pengurus Wilayah NU Jawa Timur memberikan pandangan yang berbeda dengan MUI Jawa Timur.
Kesadaran untuk menempatkan persoalan ijtihadiyah yang relatif secara proporsional ini penting dilakukan sebagai pondasi membangun sikap saling menghargai pendapat, sehingga terwujud toleransi, terutama sesama umat Islam. Dengan menghadirkan kesadaran ini, maka umat Islam tidak lagi dihadapkan pada kontroversi persoalan ijtihadiyah-fikhiyah secara berkepanjangan. Akhirnya, umat Islam dapat menghadirkan makna kata Islam dan salam dalam ruang sosiologis. Semoga!
Hatim Gazali pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah PBNU, dosen Universitas Sampoerna