Hal menarik lainnya, PBB mendapuk Shinta Widjaja Kamdani, seorang businesswoman Indonesia, sebagai salah seorang di antara 30 International Business Leader terkemuka yang tergabung dalam GISD Alliance. Tidaklah berlebihan jika PBB menunjuk Shinta dalam kelompok elite tersebut.
Shinta bukanlah wajah asing di kancah bisnis Indonesia maupun internasional. Dia adalah CEO Sintesa Group, sebuah holding company yang membawahi sedikitnya 16 anak perusahaan yang bergerak di bidang properti, manufaktur, energi terbarukan, dan produk konsumen. Shinta juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional sekaligus Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Majalah Forbes Asia pernah menobatkannya sebagai salah satu dari 50 wanita Asia Paling Berpengaruh pada 2012, 2013, dan 2016.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komitmen tersebut dalam bentuk investasi yang mengarah pada pencapaian program SDGs, misalnya investasi di bidang energi terbarukan dan ramah lingkungan. Hal itu adalah bentuk "etika bisnis untuk kebaikan umat manusia di bumi", demikian pesan singkat Sekjen PBB pada saat pendeklarasian GISD Alliance.
SDGs untuk Kemanusiaan
Pada September 2015, dengan berbekal dukungan hampir dari seluruh negara anggota, PBB menggagas SDGs program sebagai suatu "solusi" untuk mengatasi berbagai permasalahan yang tengah dihadapi umat manusia di berbagai belahan dunia saat ini. Perubahan iklim, krisis energi, pengangguran, kelaparan, kesetaraan gender, dan korupsi merupakan sejumlah persoalan serius yang akhir-akhir ini menghantui kehidupan masyarakat di hampir setiap negara.
Dalam survei yang dilakukan dari Juli 2015 sampai Januari 2017 terhadap sejumlah penduduk di 16 negara Asia Pasifik, Transparansi Internasional memperkirakan setidaknya lebih dari 900 juta penduduk mengaku "membayar uang sogokan" untuk mendapatkan akses terhadap pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Tentu potret tersebut cukup membuat kita tercengang, betapa persoalan korupsi cukup akut dialami oleh penduduk di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Hal itu menegaskan bahwa untuk mendapatkan "kebutuhan primer" saja, masyarakat harus memberikan sogokan terlebih dahulu. Bisa kita bayangkan, bagaimana dengan kebutuhan non-primer lainnya? Oleh karena itu, SDGs dengan 17 agenda utamanya --antara lain No Proverty (SDG 1), Zero Hunger (SDG 2), dan Good Health and Well-Being (SDG 3)-- diharapkan dapat menjadi "obat mujarab" yang mampu mengatasi berbagai permasalahan serius penduduk bumi saat ini.
Upaya mewujudkan tekad tersebut, tentulah PBB membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Tidak cukup hanya bermodalkan kata "komitmen" dari negara anggota, PBB juga membutuhkan dukungan stakeholder penting lainnya, seperti kelompok bisnis (pengusaha). Karena selain mengendalikan sebagian besar faktor-faktor produksi yang berpengaruh pada keberlangsungan kehidupan manusia, kelompok ini juga sekaligus kaum pemilik modal yang harus ikut bertanggung jawab menjaga keseimbangan sumber daya di bumi.
Diharapkan kebijakan dan strategi bisnis para pengusaha dapat sejalan dengan tujuan SDGs, yakni keberlangsungan kehidupan manusia untuk masa depan yang lebih baik.
Tantangan Dunia Bisnis
Persoalannya, sejauh mana komitmen dunia bisnis atas program SDGs tersebut telah benar-benar dilaksanakan? Tentu harus ada media komunikasi yang terukur dan transparan untuk membuktikan bahwa dunia bisnis telah memenuhi komitmen pelaksanaan SDGs. Selama ini, laporan keuangan dan laporan tahunan adalah perangkat mainstream yang lazim digunakan sebagai media komunikasi pihak bisnis kepada para pemangku kepentingan.
Persoalan berikutnya adalah informasi apa saja yang harus dilaporkan dan bagaimana cara melaporkannya? Sehingga pengguna laporan tersebut dapat mengetahui sekaligus memahami bahwa agenda SDGs telah dijalankan oleh sebuah korporasi. Contohnya, bagaimana melaporkan bahwa suatu perusahaan telah memberikan kesempatan yang sama terhadap pegawai pria maupun wanita untuk mencapai jenjang karir tertinggi di perusahaan tersebut --sebagaimana tujuan SDG 5: Gender Equity?
Tentunya menampilkan dan melaporkan hal-hal yang bersifat non-keuangan menjadi suatu tantangan baru bagi dunia bisnis. Karena sebagian besar agenda SDGs, khususnya yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan dan lingkungan membutuhkan pelaporan yang bersifat non-keuangan, seperti seberapa besar suatu perusahaan melakukan penghematan penggunaan air --sebagai contoh melaksanakan program SDG 14: Life Below Water.
Sehingga standarisasi pelaporan yang meliputi ukuran, indikator, dan keterbandingan menjadi suatu tantangan baru bagi Dunia Bisnis dalam rangka menjawab tantangan SDGs saat ini. Selain tersedianya data yang terukur dan terpercaya menjadi tantangan berat berikutnya.
Pedoman Pelaporan SDGs
Untuk membantu dunia bisnis melaporkan agenda SDGs, setiap tahunnya PBB juga aktif menyelenggarakan forum kerja sama antarnegara dengan mengundang para akademisi, praktisi, ahli, dan pembuat kebijakan dari berbagai negara untuk membantu merumuskan suatu "bahasa bisnis" yang sesuai bagi korporasi guna melaporkan seluruh aktivitas program SDGs.
Bertempat di Kantor PBB Geneva-Swiss, perhelatan akbar Intergovernmental Working Group of Experts on International Standards of Accounting and Reporting (ISAR) merupakan forum resmi berbagai pihak bertemu untuk mendiskusikan segala polemik pelaporan dan pertanggungjawaban korporasi mengenai SDGs. Tahun ini merupakan pertemuan ISAR ke-36, yang baru saja berakhir 1 Nopember lalu.
Sejak pertama kali digelar pada 1982, ISAR telah berhasil mengeluarkan beberapa rumusan penting yang dapat dijadikan pedoman oleh pihak korporasi untuk segera melaporkan aktivitas usahanya yang sejalan dengan program SDGs. Ada empat kelompok indikator area yang dapat dijadikan pedoman, yakni Ekonomi, Lingkungan, Sosial, dan Institusi.
Untuk Ekonomi misalnya Green Investment, yakni investasi korporasi yang terkait langsung atau tidak langsung bagi lingkungan. Selanjutnya, Employee Health and Safety, yakni seberapa berapa proporsi pengeluaran korporasi untuk kesehatan dan keselamatan kerja pegawai. Itu adalah sekian indikator yang telah berhasil dirumuskan melalui forum ISAR tersebut.
Sebagai orang yang pernah terlibat dalam agenda ISAR ke-33 mewakili Indonesia pada 2016, saya merasa berkewajiban turut mengimbau seluruh dunia bisnis di Indonesia untuk meningkatkan dukungannya bagi pencapaian program SDGs. Terlebih Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia yang tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus melalui program SDGs tersebut. Ditambah lagi, terpilihnya Shinta Widjaja Kamdani di GISD Alliance lebih mengukuhkan bahwa peran dunia bisnis Indonesia sangat dinantikan oleh masyarakat, khususnya mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik, sesuai cita-cita mulia SDGs.
Dedy Eryanto kandidat PhD spesialiasi Manajemen Sektor Publik di Victoria University of Wellington, New Zealand (mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini