Banyak jalan menuju Roma. Tapi pemenang hanya dia yang pertama kali sampai.
Adagium yang pertama kali ditulis Alain de Lille pada 1175 itu sengaja sedikit saya revisi mengikuti semangat zaman. Sebab di era digital seperti saat ini, kecepatan menjadi pembeda antara keberhasilan dan kegagalan. Menuju Roma tak lagi ditentukan oleh banyaknya jalan, melainkan mana yang mampu menemukan rute tercepat.
Jika Roma terlalu jauh, mari kita ambil pengandaian di Kota Jakarta. Dalam kondisi jalanan Jakarta yang supermacet, mana di antara dua opsi jalan yang akan Anda pilih? Opsi pertama, bertahan di jalur utama sesuai petunjuk aplikasi. Sedangkan opsi kedua, mengambil risiko mencari jalan tikus yang tak pernah Anda ketahui sebelumnya.
Kencenderungannya, opsi pertama dipilih orang yang tak suka berspekulasi. Seseorang yang setiap langkahnya selalu berdasarkan perhitungan yang matang. Opsi ini cocok bagi orang yang terbiasa dengan formalisasi tinggi. Bekerja berdasarkan SOP. Konservatif.
Sebaliknya, opsi kedua lebih cocok bagi orang yang sedang bereksperimen. Anda yang punya karakter berani mengambil risiko lebih cenderung memilih opsi kedua ini. Kompatibel dengan karakter orang yang imajinatif. Kreatif.
Baik opsi pertama atau kedua punya sisi plus dan minus. Kelemahan opsi pertama adalah kondisi yang didapati cenderung statis. Namun, lebih memberi kepastian mengenai waktu, kondisi, dan situasi yang relatif lebih terukur. Sebaliknya, uncertainty dari opsi kedua begitu tinggi. Opsi kedua lebih dinamis ketimbang opsi pertama.
Anda semua tentu punya pengalaman empirik terkait pencarian jalan tikus. Risiko paling umum jika mencari jalan tikus adalah tersesat dan situasi tak terduga, seperti jalan ditutup karena hajatan. Tapi jika segala risiko mampu dihindari, maka Anda bisa jadi akan sampai ke lokasi lebih cepat dibanding bertahan di jalan utama.
Di sisi lain, eksperimen mencari jalan tikus yang sukses akan membuat Anda memiliki pengetahuan baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Layaknya eksperimen jalan tikus vs jalan utama, perdebatan soal pola kebijakan bernegara juga bermuara pada dua mazhab yang berbeda. Ada yang menganut mazhab bernegara dengan penuh formalitas, konservatif, dan text book. Layaknya pengemudi konservatif yang lebih memilih bertahan di jalan utama yang serba pasti.
Sebaliknya, mazhab lain adalah mereka yang bernegara dengan keberanian mengambil risiko. Mereka yang tidak suka dengan formalitas dan lebih suka dengan kreativitas. Mazhab ini cocok dengan mereka yang enggan berada dalam posisi statis saat kemacetan melanda jalan utama. Mereka yang berani mencari jalan tikus untuk sampai ke tujuan lebih cepat.
Opsi jalan tikus alias kreatif ini biasanya melekat pada seorang yang punya background sebagai pengusaha. Sebaliknya, opsi jalan konservatif biasanya ada dalam karakter seorang berlatar akademisi. Lantas mari kita mengkaji kedua konteks ini dalam landskap pengelolaan negara. Apakah bangsa ini butuh pengelolaan yang konservatif yang alon-alon asal kelakon, atau kreatif cepat namun berisiko?
Memang, mazhab konservatif dan kreatif dalam tingkatan pengelolaan negara punya sisi plus dan minus. Efektivitasnya tergantung pada waktu dan kebutuhan.
Mengintip jurnal dari Hsiu Fen Tsai dan Chin Jung Luan yang dimuat Business Research Quarterly pada 2016, pola konservatif cocok diterapkan pada sektor yang krusial dan rentan krisis. Sebaliknya, pola kreatif cocok diterapkan pada lingkungan yang menyajikan banyak peluang (opportunity). Semakin banyak peluang di satu bidang, maka dibutuhkan nahkoda yang berani mengambil terobosan. Nahkoda yang punya kemampuan mengelola risiko (risk taking capability).
Karakter Kreatif
Kita tentu tak perlu meragukan bahwa Presiden Jokowi yang punya background sebagai pengusaha lebih kuat pada karakter kreatif. Jokowi tipikal pemimpin yang berani mengambil risiko. Sebagai presiden, tingkat formalisasi dalam melaksanakan tugasnya lebih rendah. Jokowi bukan tipikal pemimpin yang semua berdasarkan planning, melainkan learning and doing. Walhasil, gaya kepemimpinan Jokowi lebih organik ketimbang mekanistik.
Menariknya, pada periode kedua pemerintahannya ini Jokowi cenderung memilih anggota kabinet yang juga berlatar sama dengannya. Kreatif dan berpikir out of the box. Muncul sosok seperti Erick Thohir, Nadiem Makarim, Wishnutama, atau Bahlil Lahadalia yang sudah terbukti mampu menemukan "jalan tikus" masing-masing di bidang yang sebelumnya mereka geluti.
Sesuai dengan Hsiu Fen Tsai dan Chin Jung Luan, sektor yang penuh peluang (high opportunity) cocok ditempati oleh orang kreatif yang berani mengambil risiko. Sebaliknya sektor yang tinggi akan ancaman (high threat) lebih cocok ditempati orang yang konservatif.
Dalam hal ini, Kementerian BUMN dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi sektor yang paling membuka peluang (high opportunity). Dari kaca mata pasar atau market based view, Kementerian BUMN adalah salah satu sektor yang paling tinggi opportunity-nya. Sedangkan dari kacamata sumber atau resource based view, sektor pendidikan yang paling krusial.
Pada dua sektor yang paling menyajikan peluang dari sisi market dan resource itu ditempati oleh dua orang kreatif yang sudah punya jam terbang dunia, Erick Thohir dan Nadiem Makarim. Sebaliknya, sisi yang paling tinggi akan ancaman (high threat) di Kementerian Keuangan ditempati sosok akademisi konservatif yang memiliki kaliber dunia pula, Sri Mulyani.
Di tangan Erick Thohir kini terdapat ratusan perusahaan milik negara yang tak hanya menjadi andalan untuk mencetak pemasukan, melainkan juga mendorong tumbuhnya sektor mikro lain. Sementara di tangan Nadiem, ratusan manusia Indonesia yang akan jadi motor perekonomian dicetak. Tanpa manusia unggul, mustahil menciptakan daya saing yang unggul pula.
Karenanya, untuk menangkap peluang besar itu dipilih orang kreatif macam Erick Thohir dan Nadiem. Di tangan Erick, BUMN diharapkan mampu bergerak lebih dinamis dan tidak konservatif. Di tangan Nadiem, pendidikan diharapkan tak hanya tekstual yang bermuara hanya menjadi pencetak pola pikir konservatif. Lebih dari itu Nadiem diharapkan mampu mengubah konsep pendidikan yang kontekstual untuk mencetak pola pikir yang kreatif.
Pada era disruptive innovation seperti saat ini, bertindak kreatif bukan lagi menjadi pilihan melainkan kewajiban untuk dapat menghasilkan keunggulan kompetitif. Bermain aman hanya di jalan konservatif, malah akan menghambat peluang untuk tumbuh lebih besar.
Dari sisi pasar, ini saatnya BUMN agar tak hanya terpaku pada jalan utama bisnis yang sudah penuh sesak. Jalan sesak ini yang akhirnya menyebabkan sesama BUMN malah saling bunuh di satu sektor. Pun halnya sektor swasta yang akhirnya ikut tergilas mati akibat jalan utama bisnis BUMN yang begitu penuh sesak.
Di tengah persaingan sesak ekonomi yang semakin mengglobal, BUMN sudah saatnya berpikir out of the box dalam mencari "jalan tikus" lebih cepat untuk mencapai tujuan. Membuka peluang dan pasar baru, bukan justru saling tikam di sektor yang sama.
BUMN mesti berani mengembangkan sayapnya secara lebih organik dan masuk ke sektor bisnis digital. Bergerak konservatif apalagi birokratif hanya akan mengancam kelangsungan bisnis BUMN.
Tokoh yang pertama kali mengemukakan tentang disruptive innovation, Clayton M Christensen, pernah mengatakan bahwa kunci dari era disrupsi inovasi seperti saat ini bukanlah saat inovasi yang dilakukan sukses mengganggu pasar. Namun, kesuksesan disruptive innovation terjadi saat berhasil menyajikan jalan berbeda dari jalan utama yang sudah dikuasai pemegang pasar.
Menemukan "jalan tikus" yang membuka pasar baru. Itulah awal dari kesuksesan disruptive innovation menurut Christensen.
Memang, pada akhirnya tak semua jalan tikus itu berujung kesuksesan. Sebab dari penelitian Christensen yang dimuat dalam Jurnal Harvard Business Review terungkap hanya enam persen saja dari "jalan tikus" yang berbuah kesuksesan. Sedangkan 94 persen tak mampu mengantisipasi jebakan jalan tikus yang serba tidak pasti.
Tapi untuk mewujudkan target Presiden Jokowi agar BUMN Indonesia bisa berbicara di level dunia, maka tak ada pilihan selain menjadi bagian dari enam persen perusahaan yang dikatagorikan Clayton M Christensen itu.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip peneliti transportasi dan lalu lintas dari Universitas Dresden, Madlen Ringhand yang meneliti efektivitas memilih jalan utama vs jalan alternatif. Dari penelitiannya terungkap bahwa faktor yang paling menentukan adalah waktu untuk memutuskan pilihan jalan.
Jika terlalu lama bertahan di jalan utama kemudian berputar arah ke jalan alternatif, maka itulah menjadi kemungkinan terburuk. Sebab jalan tikus yang jadi alternatif sudah telanjur diserbu pengendara lain. Walhasil percuma banyak jalan menuju Roma, jika semua jalurnya macet total.