Peristiwa itu menggoreskan kepedihan mendalam. Derita dan kesedihan mencengkeram jiwa para keluarga korban. "Rasa sakit itu tak terkatakan," begitu kata Richard Rorty, sebab "manusia yang menderita tidak mempunyai banyak kata." Di balik kekelaman nasib yang tak terperi, orang tak mudah menemukan makna atas peristiwa negatif. Ia mengalami kehampaan hidup karena merasa nihil dalam sendirian. Peristiwa negatif merupakan black hole yang membawa kepedihan hidup di ambang kehancuran.
Konsekuensi ini membawa kita pada refleksi mendalam perihal jejak-jejak dari "negativitas" pengalaman manusia. Istilah negativitas dipakai sebagai "metafor" bahwa pengalaman negatif manusia, termasuk penderitaan, tak sepenuhnya naif (useless). Pengalaman negatif dapat menyeret manusia jatuh pada trauma. Peristiwanya memang telah lewat, tetapi torehan traumatis tetap menggores dan membekas menjadi duka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa maksud bahwa trauma itu anti-peristiwa? Dalam peristiwa, yang tak dinyana itu datang menyergap hidup manusia. Di hadapan peristiwa, manusia bukan tuan atas dirinya. Namun, dampak peristiwa yang diantisipasi justru menghilangkan ciri keperistiwaannya, lantas berubah menjadi rekayasa hidup. Dalam rekayasa, manusia menjadi tuan atas diri dan lingkungannya. Ada unsur yang mekanik di dalam rekayasa hidup, dan menyingkirkan yang tak terduga.
Di dalam trauma, ada mekanisme yang berulang-ulang, sehingga korban terus mengingatnya dalam tuturan maupun tindakan. Bisa juga sebaliknya. Korban terus menghindar untuk mengulang-ulang dari ingatannya akan pengalaman negatif. Sikap mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan mekanisme psikis yang tak pernah bisa dilumerkan. Korban hendak melupakannya, tetapi yang datang justru ingatan akan peristiwanya. Ingatannya akan peristiwa justru menajam di kala dia ingin melupakannya.
Negativitas dipahami sebagai sesuatu yang melampaui "sikap" atau "perilaku", yaitu sesuatu yang memungkinkan sikap, perilaku, dan pengalaman negatif itu sendiri. Negativitas bukanlah sesuatu yang netral. Negativitas tidak didefinisikan dari dirinya sendiri, melainkan dari efek yang ditimbulkannya. Eksistensi negativitas dapat dipersepsi dalam kenyataan bahwa ia tidak membuat sesuatu itu "hilang", melainkan "kurang". Negativitas adalah sisi 'yang lain' (the other) dari jiwa manusia.
Dalam negativitas, kita mendiskursuskan perihal yang tak nyaman untuk dibicarakan, yaitu hal-hal negatif di dalam bahtera hidup. Kehidupan yang hancur oleh sebab trauma dalam tragedi ledakan tersebut dan luka-luka yang tetap basah tak tersembuhkan. Hal-hal ini tetap tinggal sebagai hantu-hantu negatif manusia. Trauma adalah pengalaman negatif yang selalu membayangi proses kehidupan manusia. Bayangan mengerikan itu kian besar, seiring dengan bertambah banyaknya korban yang berjatuhan. Negativitas pengalaman manusia mendasarkan diri pada wilayah remang kesadaran yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup ini.
Makna Penderitaan
Ahli psikologi Jerman Viktor E. Frankl dalam konsep logoterapi memandang negativitas dari 'perspektif korban'. Ia menawarkan terapi sebagai cara melampaui perihal mengingat dan melupakan peristiwa negatif. Ia bergumul dengan persoalan makna hidup yang diderita para pasiennya. Lebih jauh ia tidak hanya memasuki persoalan makna hidup, melainkan juga mengais "makna penderitaan", termasuk derita para korban.
Manusia berbahagia dengan menemukan makna kehidupannya. Demi menemukan makna itulah, jika perlu, manusia juga siap untuk menderita. Bagaimana mungkin manusia menjumpai makna di hadapan penderitaan? Struktur makna penderitaan terdapat bukan pada peristiwanya, melainkan pada sikap manusia di hadapan penderitaan.
Manusia bagi Frankl memiliki "den Willen zum Sinn" (kehendak-untuk-makna). Konsep ini didasarkan atas pengalaman Frankl sendiri sebagai tawanan di tiga kamp konsentrasi Jerman, yaitu di Dachau, Bauchenwald, dan Auschwitz. Penderitaan (suffering) akan bermakna jika fokus hidup kita tidak berpijak pada apa yang diharapkan dari hidup ini, melainkan bertolak pada apa yang dapat diharapkan oleh kehidupan darinya. Berpindah dari yang bertanya menjadi yang ditanyai.
Jadi, makna penderitaan itu tergantung pada disposisi atau sikap manusia di hadapan penderitaan. Kepedihan itu dapat ditangkap maknanya dengan cara melampauinya, lantas beranjak pada upaya memahaminya. Memang, goresan luka itu tak bisa hilang. Tindakan yang memungkinkan adalah menafsirkannya.
Dalam upaya melampaui mengingat dan melupakan penderitaan, mengikuti pandangan F. Budi Hardiman (Memahami Negativitas, 2005), perlu adanya diskursus detraumatisasi. Detraumatisasi merupakan "tindak merelakan". Sedang merelakan adalah melampaui mengingat dan melupakan.
Detraumatisasi merupakan keterbukaan di hadapan peristiwa. Keterbukaan atas peristiwa dimungkinkan lewat medium narasi. Torehan bekas luka yang traumatis lewat medium narasi merupakan teknik menanggulangi masa silam yang kelam. Korban mengalami trauma dan tak mampu keluar dari jerat-jerat mekanisme kegaduhan dalam kesadarannya. Gaduh karena kesadaran korban tercerai-berai oleh mekanisme trauma, sehingga kesadarannya tersekap untuk memulai yang baru.
Bagi Hannah Arendt, memaafkan adalah bertindak "memulai sesuatu yang baru lahir kembali", yakni membiarkan yang lalu itu melintas. Satu di antara cara memulai yang baru adalah dengan menceritakannya. Membiarkan diri matang oleh sang waktu. Bercerita perihal pengalaman negatif adalah upaya memahami hal yang tak terpahami.
Detraumatisasi bisa dimulai dengan "askese duniawi". Fritz Leist menandainya dalam tiga latihan; diam (Schweigen), ketenangan hati (Sammlung), dan merelakan (Verzicht). Diam itu menyimak diri dalam keheningan. Mendengarkan bermakna menyimak sungguh-sungguh kegaduhan diri oleh sebab trauma. Diam merupakan puncak bahasa. Diam berarti membiarkan datang apa yang akan tiba, lantas mendengarkannya.
Hal ini memungkinkan Heidegger menorehkan konsep bahwa ketenangan (Gelassenheit) terjadi melalui berdiam dalam kesunyian. Heidegger memakai kata Gelassenheit mengacu pada Meister Eckhart bahwa "membiarkan dunia berjalan" apa adanya, tanpa penilaian dan justifikasi. Dengan begitu, askese untuk diam dan pengumpulan diri berkaitan dengan sesuatu yang dasariah yaitu kerelaan.
Kerelaan berarti membiarkan sesuatu itu berjalan sebagai yang lewat. Sehingga, penderitaan yang tertoreh di hati korban tak semata-mata tanpa makna, melainkan justru dengan itu makna terserap di hati korban. "Rasa sakit", begitu kata Immanuel Kant, "adalah duri aktivitas, dan di dalam rasa sakit inilah terutama kita merasakan kehidupan." Penderitaan memungkinkan kita mencecap bahwa duri kehidupan itu bermakna sekaligus mengutuhkan kesadaran, dengan cara menarasikan dan menafsirkannya.
Ahmad Jauhari alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini