Hajatan demokrasi lokal akan digelar pada 2020 yaitu Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) serentak. Pilkada serentak ketiga ini akan dilaksanakan oleh 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Salah satu daerah yang akan melaksanakan Pilkada adalah Solo. Pilkada Solo menyedot perhatian publik nasional, karena di awal-awal ini memunculkan kandidat di antaranya adalah putra Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming.
Pilkada Solo dipastikan akan seru mengingat wali kota petahana sudah tidak bisa maju lagi. Kesempatan maju hanya dimiliki Wakil Wali Kota Achmad Purnomo. PDIP Solo sudah memutuskan mengusung Achmad Purnomo-Teguh Prakosa.
Gibran akhirnya melakukan manuver. Dia memutuskan terjun ke politik dan mendaftar anggota PDIP. Meski pendaftaran di PDIP Solo sudah ditutup, namun tidak menyurutkan pencalonannya. Pendaftaran akan dilakukan melalui PDIP Jawa Tengah atau bahkan pusat. Lepas dari aspek etika, pembelajaran dapat dipetik dari manuver politik Gibran. Salah satunya memunculkan angin segar bagi peluang hadirnya kepemimpinan milenial.
Regenerasi Kepemimpinan
Generasi era kini diwarnai oleh kehadiran generasi milenial. Demokrasi terancam tenggelam jika perbaikan kualitas dan regenerasi tidak optimal dilakukan. Di pihak lain, gerakan apatis seperti golput terus menggema. Anggapan politik itu kotor juga terus digemakan secara masif. Senyampang itu memang demokrasi di negeri ini masih dibayangi oleh sengkarut permasalahan dan tontonan tidak berkualitas dari segelintir oknum politisi.
Bagaimanapun demokrasi menjadi pilihan tunggal bagi regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Mau tidak mau demokrasi harus bersama dibenahi. Kaum muda juga mesti mendapatkan porsi strategis sebagai pelanjut estafet kepemimpinan.
Prasyarat harus berpengalaman adalah bentuk feodalisme politik. Pengalaman anak muda tentu membutuhkan media dan ruang untuk diasah. Pengkaderan menjadi syarat mutlak dan konsekuensi logis guna memenuhi urgensi regenerasi. Pengisian pos menteri dari generasi milinial selain bukti keberpihakan juga menjadi penyiapan regenerasi kepemimpinan.
Sayangnya kaderisasi parpol masih jauh panggang dari api. Parpol yang berbasis kaderisasi rapi dapat dihitung jari. Pola instan menjadi senjata andalan pada setiap kontestasi demokrasi. Alhasil bukan kualitas yang dipersyaratkan, namun materi dan popularitas semata.
Potensi kaum muda sangat prospektif bagi politik baik secara kuantitas maupun kualitas. Indonesia kini menghadapi bonus demografi. Proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 menguatkan bahwa bonus demografi akan berlanjut, jendela peluang melebar, dan angka ketergantungan dapat mencapai 47 per 100 pekerja (FEUI, 2014). Fenomena ini sayang jika diabaikan, sehingga pemanfaatan terbuka dilakukan termasuk untuk kepentingan demokrasi. Jika tidak termanfaatkan optimal, maka bonus demografi akan menjadi beban akibat praktik negatif seperti pengangguran dan munculnya penyakit sosial kaum muda.
Peluang pemanfaatan terbuka dibuktikan dengan tren partisipasi politik kaum muda yang cenderung meningkat. KPU (2016) mengungkapkan bahwa pemilih mula pada pemilu 2004 sekitar 24 juta, pemilu 2009 sekitar 36 juta, dan saat Pemilu 2014 mencapai 53 juta dari 186 juta pemilih. Data menunjukkan sekitar 30 persen dari total pemilih yang berusia 17-27 tahun. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan potensi kaum muda agar optimal sebagai objek dan subjek demokrasi sekaligus mampu melanjutkan estafet kepemimpinan ke depan.
Salah satu daerah yang akan melaksanakan Pilkada adalah Solo. Pilkada Solo menyedot perhatian publik nasional, karena di awal-awal ini memunculkan kandidat di antaranya adalah putra Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming.
Pilkada Solo dipastikan akan seru mengingat wali kota petahana sudah tidak bisa maju lagi. Kesempatan maju hanya dimiliki Wakil Wali Kota Achmad Purnomo. PDIP Solo sudah memutuskan mengusung Achmad Purnomo-Teguh Prakosa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Regenerasi Kepemimpinan
Generasi era kini diwarnai oleh kehadiran generasi milenial. Demokrasi terancam tenggelam jika perbaikan kualitas dan regenerasi tidak optimal dilakukan. Di pihak lain, gerakan apatis seperti golput terus menggema. Anggapan politik itu kotor juga terus digemakan secara masif. Senyampang itu memang demokrasi di negeri ini masih dibayangi oleh sengkarut permasalahan dan tontonan tidak berkualitas dari segelintir oknum politisi.
Bagaimanapun demokrasi menjadi pilihan tunggal bagi regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Mau tidak mau demokrasi harus bersama dibenahi. Kaum muda juga mesti mendapatkan porsi strategis sebagai pelanjut estafet kepemimpinan.
Prasyarat harus berpengalaman adalah bentuk feodalisme politik. Pengalaman anak muda tentu membutuhkan media dan ruang untuk diasah. Pengkaderan menjadi syarat mutlak dan konsekuensi logis guna memenuhi urgensi regenerasi. Pengisian pos menteri dari generasi milinial selain bukti keberpihakan juga menjadi penyiapan regenerasi kepemimpinan.
Sayangnya kaderisasi parpol masih jauh panggang dari api. Parpol yang berbasis kaderisasi rapi dapat dihitung jari. Pola instan menjadi senjata andalan pada setiap kontestasi demokrasi. Alhasil bukan kualitas yang dipersyaratkan, namun materi dan popularitas semata.
Potensi kaum muda sangat prospektif bagi politik baik secara kuantitas maupun kualitas. Indonesia kini menghadapi bonus demografi. Proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 menguatkan bahwa bonus demografi akan berlanjut, jendela peluang melebar, dan angka ketergantungan dapat mencapai 47 per 100 pekerja (FEUI, 2014). Fenomena ini sayang jika diabaikan, sehingga pemanfaatan terbuka dilakukan termasuk untuk kepentingan demokrasi. Jika tidak termanfaatkan optimal, maka bonus demografi akan menjadi beban akibat praktik negatif seperti pengangguran dan munculnya penyakit sosial kaum muda.
Peluang pemanfaatan terbuka dibuktikan dengan tren partisipasi politik kaum muda yang cenderung meningkat. KPU (2016) mengungkapkan bahwa pemilih mula pada pemilu 2004 sekitar 24 juta, pemilu 2009 sekitar 36 juta, dan saat Pemilu 2014 mencapai 53 juta dari 186 juta pemilih. Data menunjukkan sekitar 30 persen dari total pemilih yang berusia 17-27 tahun. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan potensi kaum muda agar optimal sebagai objek dan subjek demokrasi sekaligus mampu melanjutkan estafet kepemimpinan ke depan.
Urgensi Kaderisasi
Konsekuensi logis atas penyiapan regenerasi kepemimpinan kepada kaum milenial hanyalah dengan kaderisasi. Penunjukan tersebut tentu tidak boleh sembarang. Generasi milenial yang ditunjuk mesti tetap benar-benar berkualitas, profesional, ideolog, dan bukan hasil transaksi politik.
Selama ini karier politik anak muda cenderung terkalahkan oleh senjata instan parpol menggaet orang kaya, populer, artis, dan lainnya. Cara ini tentu hanya akan menghadirkan kesuksesan semu dan berjangka pendek. Keberlanjutan parpol atau ideologi tertentu akan tidak terjamin tanpa kaderisasi yang rapi. Banyak hal perlu diperhatikan guna optimalisasi kaderisasi kepada generasi milenial.
Pertama adalah kejelasan dan penguatan ideologi yang diusung. Parpol atau pemimpin mesti jelas dan tegas terkait ideologinya. Hal ini paling fundamental guna mengarahkan garis perjuangan. Selain itu ideologi menjadi daya tawar kepada publik termasuk anak muda. Sosialisasi masif diperlukan melalui pembahasan sesuai sasaran serta serangkaian pembuktian di lapangan. Keteladanan dan konsistensi atas aplikasi ideologi tersebut menjadi tantangan berat yang haru ditunjukkan.
Kedua, mesti memahami karakter psikologis anak muda. Generasi muda masa kini terbagi dalam tiga entitas. Ketiganya antara lain generasi X (1965-1976), Generasi Y (1977-1997), dan Generasi Z (1998-sekarang). Masing-masing memiliki karakter yang penting dipetakan guna mendapatkan strategi jitu masuk dan berinteraksi dengan mereka. Kreasi dan inovasi program diperlukan sebagai senjata pendekatan.
Ketiga, memberikan kepercayaan strategis kepada kaum muda. Objek kaum muda tentu membutuhkan energi besar dan pihak yang memahami karakternya. Tidak bisa tidak, yang bisa melakukan secara optimal tentu kaum muda segolongannya. Kepengurusan parpol dalam semua level penting memberdayakan kaum muda.
Keempat, kaderisasi mesti menjadi jantung kehidupan parpol. Parpol idealnya membawa visi ideologi, bukan semacam industri demokrasi belaka. Kehadiran dan denyut kehidupannya mesti ada sepanjang perjalanan demokrasi, tidak hanya ketika jelang pesta demokrasi. Kurikulum dan peta jalan kaderisasi penting dirancang dan dijalankan secara masif dan sistematis. Peraturan organisasi penting ditegakkan dengan tetap mengikuti regulasi negara.
Kelima, sinergi lintas lini guna menyiapkan kualitas generasi sejak dini. Sektor pendidikan diperlukan dalam rangka membentuk karakter dan kecerdasan insan. Sektor publik diperlukan dalam level keluarga dan masyarakat guna memberikan ruang kondusif dan konstruktif bagi pendidikan anak. Pemerintah memiliki tanggung jawab memfasilitasi dengan berbagai programnya.
Regenerasi kepemimpinan yang berkualitas dan melalui mekanisme sistematis merupakan oase di tengah ketidakpercayaan publik yang tinggi terhadap pelaku demokrasi. Salah satunya diharapkan dapat memutus lingkaran setan korupsi yang menggurita di negeri ini. Pembuktian dapat ditunjukkan Jokowi melalui penunjukan menteri dan harapannya dapat dilanjutkan di posisi politik lainnya oleh parpol. PDIP akan menjadi pionir regenerasi politik jika mengusung Gibran sebagai calon Wali Kota Solo pada Pilkada 2020.
Ribut Lupiyanto Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
(mmu/mmu)
Konsekuensi logis atas penyiapan regenerasi kepemimpinan kepada kaum milenial hanyalah dengan kaderisasi. Penunjukan tersebut tentu tidak boleh sembarang. Generasi milenial yang ditunjuk mesti tetap benar-benar berkualitas, profesional, ideolog, dan bukan hasil transaksi politik.
Selama ini karier politik anak muda cenderung terkalahkan oleh senjata instan parpol menggaet orang kaya, populer, artis, dan lainnya. Cara ini tentu hanya akan menghadirkan kesuksesan semu dan berjangka pendek. Keberlanjutan parpol atau ideologi tertentu akan tidak terjamin tanpa kaderisasi yang rapi. Banyak hal perlu diperhatikan guna optimalisasi kaderisasi kepada generasi milenial.
Pertama adalah kejelasan dan penguatan ideologi yang diusung. Parpol atau pemimpin mesti jelas dan tegas terkait ideologinya. Hal ini paling fundamental guna mengarahkan garis perjuangan. Selain itu ideologi menjadi daya tawar kepada publik termasuk anak muda. Sosialisasi masif diperlukan melalui pembahasan sesuai sasaran serta serangkaian pembuktian di lapangan. Keteladanan dan konsistensi atas aplikasi ideologi tersebut menjadi tantangan berat yang haru ditunjukkan.
Kedua, mesti memahami karakter psikologis anak muda. Generasi muda masa kini terbagi dalam tiga entitas. Ketiganya antara lain generasi X (1965-1976), Generasi Y (1977-1997), dan Generasi Z (1998-sekarang). Masing-masing memiliki karakter yang penting dipetakan guna mendapatkan strategi jitu masuk dan berinteraksi dengan mereka. Kreasi dan inovasi program diperlukan sebagai senjata pendekatan.
Ketiga, memberikan kepercayaan strategis kepada kaum muda. Objek kaum muda tentu membutuhkan energi besar dan pihak yang memahami karakternya. Tidak bisa tidak, yang bisa melakukan secara optimal tentu kaum muda segolongannya. Kepengurusan parpol dalam semua level penting memberdayakan kaum muda.
Keempat, kaderisasi mesti menjadi jantung kehidupan parpol. Parpol idealnya membawa visi ideologi, bukan semacam industri demokrasi belaka. Kehadiran dan denyut kehidupannya mesti ada sepanjang perjalanan demokrasi, tidak hanya ketika jelang pesta demokrasi. Kurikulum dan peta jalan kaderisasi penting dirancang dan dijalankan secara masif dan sistematis. Peraturan organisasi penting ditegakkan dengan tetap mengikuti regulasi negara.
Kelima, sinergi lintas lini guna menyiapkan kualitas generasi sejak dini. Sektor pendidikan diperlukan dalam rangka membentuk karakter dan kecerdasan insan. Sektor publik diperlukan dalam level keluarga dan masyarakat guna memberikan ruang kondusif dan konstruktif bagi pendidikan anak. Pemerintah memiliki tanggung jawab memfasilitasi dengan berbagai programnya.
Regenerasi kepemimpinan yang berkualitas dan melalui mekanisme sistematis merupakan oase di tengah ketidakpercayaan publik yang tinggi terhadap pelaku demokrasi. Salah satunya diharapkan dapat memutus lingkaran setan korupsi yang menggurita di negeri ini. Pembuktian dapat ditunjukkan Jokowi melalui penunjukan menteri dan harapannya dapat dilanjutkan di posisi politik lainnya oleh parpol. PDIP akan menjadi pionir regenerasi politik jika mengusung Gibran sebagai calon Wali Kota Solo pada Pilkada 2020.
Ribut Lupiyanto Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini