Rilis hasil survei Asian Development Bank (ADB) pada awal Oktober mencengangkan banyak pihak. Kota Bandung adalah kota termacet ke-14 se-Asia, di atas ibu kota negara Jakarta yang berada di urutan 17. Hal ini tentu mengusik warga Kota Bandung, termasuk Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang turut bereaksi. Berbagai elemen bereaksi, meskipun pada realitanya hampir semua warga "menikmati" kemacetan dalam keseharian di Kota Bandung.
Kemacetan merupakan suatu hal yang lazim ditemui di kota-kota besar di Indonesia. Tapi bagaimana bila kemacetan di kota tersebut menjadi semakin parah bahkan menjadikannya sebagai kota termacet di Indonesia? Niscaya akan menjadi sebuah stigma negatif untuk kota tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Bandung memiliki luas wilayah 167,67 km persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 2,50 juta jiwa pada 2018. Laju pertumbuhan penduduk per tahun mencapai 0,47 persen dan tingkat kepadatan penduduk yang mencapai 14.932 jiwa/km persegi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil Survei Komuter Bandung Raya pada 2017 tercatat bahwa dari 8,7 juta jiwa penduduk wilayah Bandung Raya sebanyak 7 persennya merupakan penduduk komuter. Penduduk ini setiap harinya melakukan perjalanan pulang pergi untuk berkegiatan di luar wilayah tempat tinggalnya. Artinya mobilitas penduduk di wilayah Kota Bandung juga terpengaruh dari penduduk di seputar wilayah Bandung Raya.
Mobilisasi penduduk tersebut tentulah memerlukan sarana transportasi yang menunjang baik berupa angkutan pribadi maupun angkutan umum. Masih mengutip hasil Survei Komuter Bandung Raya 2017, tercatat 72 persen dari penduduk komuter tersebut bermobilisasi menggunakan transportasi sepeda motor, sedangkan pengguna kendaraan umum hanya 12 persen. Fakta lain yang juga didapat bahwa 95 persen penduduk komuter Bandung Raya yang perjalanan aktivitasnya menggunakan kendaraan pribadi maupun berjalan kaki menyatakan tidak ingin beralih menggunakan moda transportasi kendaraan umum dikarenakan waktu tempuh yang lama dan tidak praktis.
Gambaran itulah yang disinyalir menjadi salah satu penyebab kemacetan yang terjadi di Kota Bandung. Bagaimana tidak, jika dibandingkan antara infrastruktur yang ada di Kota Bandung dengan pertambahan mobilisasi orang maupun kendaraan tidak sejalan.
Ruas jalan di Kota Bandung pada 2018 sepanjang 1.172,78 km atau hanya mengalami pertambahan sebesar 0,87 persen dari tahun sebelumnya. Dapat dikatakan panjang ruas jalan yang ada tidak mengalami pertambahan yang signifikan dan relatif stagnan. Sedangkan jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung pada tahun yang sama sejumlah 1.738.665 unit, sehingga rasio jumlah kendaraan terhadap populasi penduduk di Kota Bandung sebesar 3:5.
Artinya, dari 5 orang penduduk di Kota Bandung, 3 orang di antaranya memiliki kendaraan bermotor. Fakta tersebut turut didukung dengan Survei Primer Bandung Road Safety Annual Report 2017 yang menghasilkan data di mana kecepatan rata-rata lalu lintas di Kota Bandung hanya berkisar 14,1 kilometer per jam. Dengan realita yang ada di mana jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung semakin meningkat, maka tidak mengherankan jika kemacetan menjadi suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi.
Tentu kemacetan menjadi "PR" bagi berbagai pihak untuk dapat diselesaikan, sekaligus menjadi tantangan klasik untuk pejabat terkait semisal Menteri Perhubungan yang baru saja dilantik kembali oleh Presiden RI beberapa waktu yang lalu. Usaha dalam mencari solusi kemacetan tersebut menjadi salah satu poin prioritas dalam program kerja Kemenhub pada 2019 yaitu revitalisasi angkutan perkotaan. Dengan revitalisasi tersebut diharapkan masyarakat dapat beralih ke moda transportasi umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Beberapa upaya juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung demi mengurai kemacetan yang ada di Kota Kembang ini. Di antaranya adalah pembangunan fly over Antapani atau lebih dikenal sebagai Jembatan Pelangi, pemberlakuan jalur satu arah di ruas jalan Sukajadi dan Cipaganti serta menggiatkan transportasi massal di Kota Bandung. Solusi lain yang dapat diterapkan adalah dengan memperhatikan tata ruang kota dan penggunaan Big Data yang terkoneksi dengan teknologi untuk mengatasi kemacetan.
Tata ruang kota yang dimaksud adalah perancangan transportasi dalam kota yang lebih fokus pada penggunaan moda transportasi massal misal LRT Bandung Raya, pembangunan jalur khusus sepeda dan perbaikan jalur pedestrian untuk pejalan kaki. Dengan demikian diharapkan masyarakat dapat beralih dari transportasi pribadi ke transportasi massal. Manfaat lain yang diperoleh adalah pengurangan jumlah polusi udara dan lingkungan yang lebih kondusif dapat tercipta.
Hal lain yang dapat diterapkan untuk memecahkan kemacetan yang ada adalah pemanfaatan Big Data guna menganalisis kemacetan tersebut. Dari Big Data yang terkoneksi dengan sistem teknologi informasi dapat diperoleh real time data dari arus lalu lintas yang ada. Pemanfataannya dapat berupa pengaturan traffic light yang dinamis guna optimalisasi arus lalu lintas, pemantauan kondisi jalan secara real time, pengumuman kondisi lalu lintas melalui papan reklame digital, mendeteksi kantong parkir yang kosong, dan sebagainya.
Dengan demikian, kemajuan arus informasi dan teknologi yang ada kiranya dapat digunakan untuk pemecahan masalah kemacetan di Kota Kembang tercinta.
(mmu/mmu)