Pemerintahan Jokowi sebaiknya mempertimbangkan kembali kebijakan membuka keran investasi melalui Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Selain berdampak buruk bagi konservasi, kebijakan ini juga berdampak buruk bagi pembangunan pariwisata, mengingat posisi sentral satwa Komodo dan ekosistem alami Taman Nasional Komodo (TNK) yang sejauh ini menjadi branding utama destinasi pariwisata di Kota Labuan Bajo.
Skema Baru
Skema baru investasi melalui IPPA dalam kawasan Taman Nasional dimulai ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku otoritas pusat yang membawahi seluruh Taman Nasional di Indonesia menerbitkan Permen Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang IPPA di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Melalui IPPA, perusahaan-perusahaan dapat melakukan investasi dalam bentuk Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) atau Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA).
IUPJWA adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam (bdk. Pasal. 4 ayat 1 poin a dan b). IUPJWA ini mencakup usaha jasa informasi pariwisata, usaha jasa pramuwisata, usaha jasa transportasi, usaha jasa perjalanan wisata, usaha jasa cenderamata dan usaha jasa makanan dan minuman (bdk. Pasal 4 ayat 2). Sedangkan IUPSWA mencakup wisata tirta, akomodasi, transportasi dan wisata petualangan (bdk. Pasal 6 ayat 1).
Segera setelah Permen itu diterbitkan, terdapat tujuh perusahaan yang mengajukan IPPA di Taman Nasional Komodo (TNK). Dua di antaranya yaitu PT Sagara Komodo Lestari dan PT Wildlife Ecotourism sudah mulai merealisasikan proyek pembangunan rest area di Pulau Rinca dan Pulau Padar pada 2018.
Pada 2019 pihak KLHK telah menerbitkan Permen baru Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang IPPA di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam sebagai revisi atas Permen sebelumnya. Yang terbaru dari Permen ini adalah proses perizinan IPPA yang jauh lebih mudah melalui apa yang disebut dengan sistem OSS (Online Single Submission).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Model Konservasi
Mendunianya pariwisata Labuan Bajo hari ini sangat tidak terlepas dari model konservasi di TNK yang membiarkan satwa Komodo serta flora dan fauna lainnya bertumbuh kembang dalam ekosistem alami sebagai branding utama destinasi. Selain Komodo, di Taman Nasional yang memiliki luas kurang lebih 173.300 hektare itu juga bertumbuh kurang lebih lebih 254 spesies tanaman, termasuk padang rumput dan savana yang membentang luas di sejumlah Pulau seperti Komodo, Rinca, Papagarang, Padar dan Gili Lawa.
TNK juga menjadi habitat alami bagi sejumlah fauna seperti Rusa dan beberapa spesies burung. Sedangkan alam bawah laut TNK menjadi habitat alami bagi kurang lebih 253 spesies karang dan 1000 jenis ikan. Model konservasi seperti ini pun menjadi garansi utama bagi meningkatnya kunjungan wisatawan dalam beberapa tahun terakhir yang datang untuk menikmati pesona destinasi wisata alam di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, dan Pulau Gili Lawa dan pesona alam bawa laut di perairan TNK.
Berdasarkan data yang dirilis oleh KLHK, kunjungan wisatawan ke TNK dalam beberapa tahun belakangan ini memperlihatkan tren yang makin meningkat. Pada 2014 sebanyak 80.626 orang, 2015 sebanyak 95.410 orang, 2016 sebanyak 107.711, 2017 sebanyak 125.069 orang, dan 2018 sebanyak 159.217 orang. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pungutan tiket masuk wisatawan pun makin meningkat. Untuk 2014 sebesar Rp 5,4 miliar, 2015 sebesar Rp 19,20 miliar, 2016 sebesar Rp 22,80 miliar, 2017 sebesar Rp 29,10 miliar, dan 2018 sebesar Rp33,16 miliar.
Terjamin oleh pesona ekosistem alami TNK sebagai branding destinasi, Labuan Bajo dan sekitarnya pun menjadi lahan subur bagi investasi pariwisata belakangan ini. Bisnis hotel dan resort bertumbuh kembang di Labuan Bajo. Di beberapa Pulau sekitar kawasan TNK seperti Seraya, Sebayur, Sabolon, Bidadari juga telah dibangun resort-resort mewah. Restoran dan usaha makanan kecil juga berkembang di Labuan Bajo yang membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
Di Kota Labuan Bajo pun berjejer kantor-kantor biro perjalanan milik masyarakat lokal yang menjual paket perjalanan wisata menuju TNK. Di Pelabuhan juga terdapat lebih dari 300 kapal wisata yang memperkerjakan kurang lebih 3000 orang yang selalu siap mengantar wisatawan menuju Taman Nasional Komodo. Sebagian dari Kapal wisata itu pun sudah dilengkapi dengan fasilitas penginapan yang siap dimanfaatkan oleh wisatawan ketika berwisata selama berhari-hari (overnight) dalam kawasan TNK.
Tak ketinggalan pula masyarakat dalam kawasan TNK (Kampung Komodo dan Kampung Rinca) yang mengambil bagian dalam industri pariwisata melalui usaha suvenir dan membuka jasa homestay bagi para wisatawan yang hendak menginap.
Dengan demikian, kebijakan Pemerintahan Jokowi yang membolehkan perusahaan-perusahaan membangun resort dalam kawasan TNK akan membawa dampak buruk bagi ekosistem alami TNK yang sudah lama membentuk branding destinasi pariwisata di Kota Labuan Bajo. Atas dasar alasan ini pulalah, para pelaku wisata di Labuan Bajo ngotot untuk menghentikan aktivitas dua perusahaan yang telah mengantongi izin IPPA dari pihak KLHK, yang mulai merealisasikan proyek pembangunan rest area dalam kawasan TNK pada 2018 yang lalu.
Venan Haryanto peneliti pada Lembaga Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo, Flores Barat