"Maaf," kata kepala tim penggerebekan. "Anda semua kami tahan karena tertangkap tangan menggunakan satu kata yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Pembelaan diri boleh Anda sampaikan di hadapan sidang pengadilan."
Para pesakitan itu terdiam sambil menunduk lesu. Betapa besar penyesalan-linguistik mereka. Betapa dalam keinginan mereka untuk kembali ke jalan yang lurus dalam berbahasa. Tapi sayang, nasi bahasa telah menjadi bubur bahasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Jangan buru-buru bilang saya lebay. Ya memang lebay sih hahaha. Tapi imajinasi sebrutal itulah yang terlintas di kepala saya waktu menyimak pernyataan Pak Mendikbud beberapa waktu lalu, kira-kira dua bulan sebelum muncul Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Dalam suatu lokakarya, Pak Menteri melontarkan pernyataan dan penegasan tentang betapa pentingnya mekanisme untuk mengawasi praktik berbahasa berikut sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sana.
"Kalau dalam lokakarya ini bisa memberikan semacam tekanan kepada pihak-pihak tertentu yang memiliki wewenang untuk itu agar segera ditegaskan tentang sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran untuk tidak mentaati aturan bagaimana menggunakan bahasa Indonesia di ruang publik, mungkin kita akan bisa menegakkan itu," begitu kata Pak Menteri, saya kutip apa adanya dari laporan detikcom.
Sejujurnya, saya ingin menyusulkan dua masukan serius terkait kalimat Pak Menteri tersebut.
Pertama, semestinya tidak dikatakan, "Kalau dalam lokakarya ini bisa memberikan semacam tekanan," melainkan, "Kalau dalam lokakarya ini bisa diberikan semacam tekanan." Ya, "dalam lokakarya" hanyalah keterangan waktu, bukan subjek. Karena cuma keterangan, tentu ia tidak dapat menekan-nekan.
Pilihan lain dapat diambil, yaitu dengan menghilangkan kata 'dalam', sehingga menjadi, "Kalau lokakarya ini bisa memberikan semacam tekanan". Atau dengan menambahkan kata 'kita' sehingga kalimatnya menjadi, "Kalau dalam lokakarya ini kita bisa memberikan tekanan." Dengan demikian, subjek pada kalimat itu jelas, yaitu 'lokakarya' atau 'kita'.
Kedua, "sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran untuk tidak mentaati aturan bagaimana menggunakan Bahasa Indonesia" ditata lagi sehingga menjadi, "sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran atas aturan penggunaan Bahasa Indonesia." Dengan begitu, kalimat tersebut jauh lebih efektif sekaligus terang maksudnya.
Namun, ah, sudahlah. Lupakan kritik-kritik seperti itu. Toh poin Pak Menteri sudah jelas, yaitu betapa pentingnya keberadaan pengawas yang akan menjatuhkan sanksi bagi siapa pun yang melanggar kaidah Bahasa Indonesia.
Pertanyaannya, haruskah ada pengawasan dan sanksi seserius itu?
Mumpung sekarang masih Oktober, sedangkan Oktober adalah Bulan Bahasa, dan mumpung pada hari terakhir sebelum Bulan Bahasa ini Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, mari kita sedikit mengobrolkan topik ini. Minimal biar khazanah perbincangan kita pada hari-hari ini tidak melulu berjejal-jejal dengan nama-nama calon menteri.
Saya sendiri setuju dengan sebagian isi Perpres tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang merupakan kado terindah Jokowi menjelang Bulan Bahasa. Bahwa tata aturan berbahasa yang rapi mesti dijalankan dalam acara-acara resmi kenegaraan, dalam dokumen-dokumen legal, dalam komunikasi pelayanan publik serta birokrasi, hingga dalam komunikasi di dunia pendidikan, semuanya saya sepakat.
Namun, yang terasa mengganjal buat saya adalah tuntutan penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar, sesuai kaidah, dalam penyebaran informasi lewat media massa.
Kenapa itu terasa mengganggu? Jawabannya: karena zaman sudah berubah, dan dinamika bahasa (bahasa apa pun itu, bukan cuma bahasa Indonesia) serta posisi media juga sudah jauh berubah.
***
Saya ingat wajah itu. Ganteng, alis tebal, rambut belah samping, badan terbalut jas dan dasi. Suaranya dalam, mantap, dan setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya adalah deretan kata-kata yang tertata rapi sesuai kaidah gramatika baku dan Ejaan Yang Disempurnakan.
Yasir Den Has. Siapa manusia seangkatan saya yang tak kenal dia? Warna suaranya selalu terngiang di telinga, dan mengingatkan kita akan satu acara: Dunia Dalam Berita.
Sebagai pembaca berita di era Orba, Yasir memang sangat serius, tak bisa mengobrol santai sambil bercanda, apalagi dengan bahasa dan istilah yang selengekan semaunya. Saya yakin, teks berita yang ia bacakan sudah mendapat kontrol ketat dari "pusat". Entah dari Pak Harmoko, atau dari Pak Sudomo.
Bahkan bukan cuma urusan konten. Dalam perkara kemasan pun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pasti mengendalikannya baik-baik. Itulah kenapa penggunaan bahasa Indonesia di TVRI, RRI, juga di berbagai media cetak sangat tertib dan sejalan dengan kaidah baku bahasa Indonesia.
Pada zaman itu mekanisme demikian sangat dimungkinkan. Media merupakan pengguna bahasa, namun pada saat yang sama, media pun menjalankan peran sebagai agen pengendali bahasa. Masyarakat penutur bahasa Indonesia mengambil referensi aktivitas berbahasa dari pergaulan sehari-hari dan dari Yasir-Yasir lain yang dimiliki semua media massa. Jika pemerintah ingin memperkenalkan suatu istilah, misalnya, tinggal semua media massa diberi komando. Maka, istilah tersebut disebarkan pada hari itu juga, dan dalam suatu cara kerja yang wajar masyarakat penutur bahasa Indonesia pun menyerapnya.
Sekali lagi, karena sifat top down dari media-media pada masa Orba, mekanisme semacam itu sangat dimungkinkan. Bahkan selepas Orba pun, selama masih zaman analog, cara demikian masih mungkin dilakukan. Kenapa? Sebab sifat komunikasi antara media dan para audiensnya relatif searah.
Pada zaman analog itu, dinamika berbahasa di kalangan masyarakat penutur sendiri (yang terlepas dari campur tangan media) memang terus terjadi. Namanya juga kehidupan; kehidupan mensyaratkan adanya komunikasi, dan komunikasi membentuk dinamika bahasa. Tetapi, apa yang terjadi dalam komunikasi-komunikasi verbal di lingkungan terbatas hanya akan memunculkan konsensus-konsensus kebahasaan yang juga berhenti di lingkup terbatas.
Suatu pembentukan kata baru, pergeseran makna, atau bahkan perubahan makna suatu kata, pada masa itu tidak akan begitu mudah disebarkan ke lingkup seluas Indonesia. Sebab kemampuan diseminasi masih lemah, dan lagi-lagi posisi yang mampu menjadi agen pengendali bahasa ya cuma media massa, bersama sekolah-sekolah, lembaga-lembaga birokrasi, dan film-film. Masyarakat penutur memang bisa berkreasi banyak, namun sulit menyebarluaskan kreasi itu hingga masuk ke tingkat konsensus masyarakat penutur bahasa Indonesia.
Nah, situasi berubah drastis sejak era digital tiba. Media-media daring bermunculan sangat masif, dan dengan cepat lahir satu media yang tidak dapat disangkal perannya, yaitu media sosial.
Media sosial jelas bukan media dalam klasifikasi pers. Tapi dalam dinamika bahasa, medsos mengambil peran yang bahkan jauh melampaui media massa.
Penjelasannya mudah saja, yaitu karena dengan medsos tercipta demokratisasi wacana. Siapa pun bisa bersuara, bebas berbicara, merdeka dalam menuliskan aksara-aksara. Semua ekspresi bahasa itu dengan gampang tersebar luas dalam hitungan mikrodetik hingga ke sudut-sudut dunia, dan tentu saja bukan hal yang sulit untuk menjangkau seluruh masyarakat penutur bahasa Indonesia.
Hasilnya, jauh lebih mudah bagi masyarakat penutur sendiri untuk menciptakan dinamika baru dalam bahasa Indonesia sampai tiba di taraf konsensus bersama. Titik inilah yang membedakannya dengan karakter masa pra-digital.
Coba ambil contoh biar jelas. Pada masa lalu, kata 'hebring', misalnya, tersebar luas melalui media film dengan segmen anak muda. Andai waktu itu Pak Harmoko langsung melarang film itu di Badan Sensor, tentu saja kata tersebut gagal tersebar luas, dan gagal membentuk konsensus masyarakat penutur bahasa Indonesia.
Namun pada zaman medsos, kata lebay, sebagai contoh, lahir dan tersebar dengan sangat cepat di media sosial. Saking mudahnya menjadi populer, tanpa bantuan media massa dan film pun kata-kata itu dengan gampang meraih derajat konsensus masyarakat penutur. Ia "berterima", kalau dalam istilah bahasa. Ia dipahami masyarakat luas. Barulah setelah diterima publik penutur bahasa Indonesia, kata itu diterima oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terakhir.
Sementara itu, media massa pada era digital tidak hanya dituntut untuk berbicara secara searah kepada publik luas, namun juga mendengar mereka, berinteraksi dengan mereka, dan berkomunikasi bersama mereka dengan menggunakan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat penutur bahasa Indonesia. Dalam dinamika bahasa pada era digital, media massa tak bisa mengabaikan realitas komunikasi di tengah masyarakat luas yang tercermin dari segala lalu lintas percakapan di media sosial.
Lantas, bagaimana mekanisme pengawasan praktik berbahasa akan dijalankan berikut sanksi-sanksi bagi pelanggarnya? Mungkinkah cita-cita Pak Mendikbud diwujudkan?
***
Di hadapan sidang pengadilan, Sang Pemred dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Mulai detik itu, medianya harus kembali secara total ke khitah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sementara itu, di dunia yang luas tanpa batas, jutaan anak muda menuliskan kata 'alay' dengan beringasnya. Akhirnya di tahun kedua masa hukuman Sang Pemred, Badan Bahasa pun menerima kata 'alay' dengan tangan terbuka, lantas memasukkannya sebagai salah satu lema baku ragam cakap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sang Pemred menyimak berita itu. Ia terpana, dan tak tahu harus meratap lagi seperti apa.
Iqbal Aji Daryono penulis buku Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini