Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) telah secara otomatis dinyatakan sah berlaku menjadi undang-undang. Presiden secara politik tampak memperlihatkan sikap untuk tidak menyetujui RUU KPK dengan tidak melakukan pengesahan. Namun, Presiden juga tidak berani mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan RUU KPK --yang sekarang telah menjadi UU KPK. Kedua sikap ini tampak menunjukkan ambiguitas posisi Presiden. Di satu sisi, rakyat semakin berat untuk menaruh harapan kepada Presiden untuk dapat menghalau pelemahan terhadap KPK.
Kini bola panas telah beralih ke tangan Mahkamah Konstitusi (MK). MK menjadi harapan baru bagi rakyat untuk menjadi benteng terakhir membendung pelemahan terhadap KPK. Hal ini dibuktikan dengan besarnya animo rakyat dan beberapa kelompok masyarakat yang berencana mengajukan judicial review terhadap UU KPK. Bahkan tercatat sudah terdapat 3 permohonan judicial review terhadap UU KPK bahkan sejak sebelum UU itu sah berlaku. Namun, jika melihat Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 --terkait hak angket terhadap KPK-- justru memperlihatkan lemahnya posisi tawar KPK di mata MK.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah sikap dan putusan yang dihasilkan MK terhadap pengujian UU KPK kali ini? Dapatkah rakyat menaruh harapan besar kepada MK untuk menghalau pelemahan terhadap KPK? Oleh karena itu, menjadi menarik untuk memetakan kemungkinan putusan MK yang akan dihasilkan nantinya.
Intervensi Politik
MK dalam mengadili suatu perkara tidaklah lepas dari intervensi politik tertentu dan berpotensi mengandung tendensi politik. Hal ini terlihat dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa KPK adalah organ penunjang yang terpisah atau bahkan independen dari departemen eksekutif, tetapi sebenarnya "eksekutif". Banyak pihak yang menduga bahwa putusan ini dihasilkan oleh adanya barter-barter politik di belakangnya. Terdapat dua argumen yang mendasari pendapat ini.
Pertama, Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 bertentangan dengan 3 putusan MK sebelumnya, yakni Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, dan Putusan Nomor 49/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa KPK bukanlah bagian dari lembaga eksekutif. Namun, MK dalam putusan yang terakhirnya justru mendobrak penafsiran yang dilakukan oleh MK itu sendiri sehingga menyatakan bahwa KPK berada di ranah kekuasaan eksekutif.
Kedua, putusan ini juga dianggap sarat dengan barter-barter politik mengingat ketika putusan ini dijatuhkan terjadi isu lobi-lobi para anggota DPR terhadap Ketua MK Arief Hidayat yang pada saat yang bersamaan ingin melanjutkan masa jabatannya sebagai hakim konstitusi. Dewan Etik MK melalui putusannya kemudian menyatakan bahwa Arief Hidayat melanggar kode etik dan dikualifikasikan sebagai pelanggaran ringan (Putusan Dewan Etik Nomor 18/LAP-VI/BAP/DE/2018).
Di satu sisi, putusan inilah yang menjadi pintu masuk perubahan paradigma kedudukan KPK, yang sebelumnya ditempatkan sebagai komisi negara independen dan sekarang berada di ranah cabang kekuasaan eksekutif. Pemaknaan inilah yang kemudian diadopsi dalam UU KPK yang baru hasil revisi yang secara tegas menyatakan bahwa KPK adalah bagian dari kekuasaan eksekutif. Perubahan ini berimbas pada pola pengaturan KPK yang kemudian mengikuti rancang bangun kekuasaan eksekutif, bukan lagi berdasarkan paradigma komisi negara independen yang bebas dari intervensi cabang kekuasaan mana pun.
Namun, MK di putusan yang lain justru memperlihatkan independensinya dari pengaruh intervensi politik. Hal ini terlihat dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XIV/2018 terhadap UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua terhadap UU MD3 (UU MD3 2018). MK dalam putusan tersebut berani mendobrak intervensi politik DPR dengan membatalkan beberapa pasal dalam UU MD3 2018 yang dianggap mampu membungkam suara dan pengawasan dari rakyat terhadap anggota DPR.
Berdasarkan preseden ini, MK sejatinya masih memiliki independensi dari intervensi politik tertentu. Oleh karenanya, harapan masih terbuka kepada MK untuk dapat membendung upaya pelemahan terhadap KPK
Arah Putusan MK
Terdapat dua model arah putusan MK yang berpotensi dijatuhkan dalam rangka membendung pelemahan terhadap KPK ini. Pertama, MK dapat bersikap restraint dengan membatalkan beberapa pasal terbatas pada apa yang dimohonkan oleh pemohon semata. Namun, kelemahan model putusan MK ini hanya bisa membatalkan bagian-bagian tertentu saja dari UU KPK yang dimohonkan, sehingga dimungkinkan masih terdapat pasal lain tidak dibatalkan.
Kedua, MK dapat bersikap progresif dengan membatalkan secara keseluruhan UU KPK dan menyatakan pemberlakuan UU KPK yang lama (UU Nomor 30 Tahun 2002). Putusan model ini dianggap lebih efektif untuk dapat membatalkan keseluruhan pasal yang melemahkan KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MK berpandangan bahwa UU SDA dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta sehingga bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Guna menghindari kekosongan hukum, MK menyatakan memberlakukan kembali UU 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
Kedua, Putusan MK Nomor 28/PUU-XI/2013 yang membatalkan secara keseluruhan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian). MK beralasan bahwa UU Perkoperasian bertentangan dengan prinsip ekonomi kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ruh dari Pasal 33 UUD NRI 1945. Guna menghindari kekosongan hukum, MK menyatakan pemberlakuan kembali UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Preseden putusan MK ini menunjukkan masih terbukanya peluang bagi MK untuk menghalau pelemahan terhadap KPK baik dengan membatalkan pasal pelemahan yang dimohonkan atau bahkan bersifat progresif dengan membatalkan keseluruhan undang-undang. Kalangan mahasiswa dan masyarakat perlu melalukan pengawasan atas jalannya proses pengujian terhadap UU KPK guna menghindari masuknya lobi-lobi politik DPR terhadap MK.
Ahmad Ilham Wibowo peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII, mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini