Jumat pekan kemarin, Prof. Karel A. Steenbrink didapuk untuk menjelaskan perihal Terorisme dan Fundamentalisme di Eropa. Walhasil, dengan judul presentasi Only Losers? Annoying Small Group of Radical and Terrorist Muslim in Secular Europe 1990-2019", Steenbrink mengulas peristiwa-peristiwa besar yang memantik perdebatan tentang Islam dan Kekerasan di Eropa.
Dia menyebutkan bahwa setidaknya pada 1979 dan 1989 terjadi peristiwa krusial yang menyebabkan isu-isu radikalisme dan terorisme Islam menjadi perbincangan hangat di Eropa. Salah satunya, peristiwa penyerangan dan pendudukan Masjidil Haram oleh kelompok "Al-Mahdi" pada 1979. Mungkin, Raja Khalid tidak menyangka bahwa kelompok puritan yang selama ini hidup berdampingan dengannya ternyata memiliki nyali untuk membelot.
Tanpa bisikan apapun dari intelijen, pada pagi hari 20 November 1979 meletuplah peristiwa berdarah tersebut. Padahal saat itu, Pangeran Fahd selaku Putra Mahkota sedang berada di Tunisia. Komandan Pasukan Nasional, Pangeran Abdullah juga sedang melakukan kunjungan resmi ke Maroko. Walhasil, Raja Khalid memerintahkan Menteri Pertahanan, Pangeran Sultan, dan Menteri Dalam Negeri Pangeran Nayef untuk mengambil tindakan.
Masjidil Haram sendiri baru bisa dikuasai kembali setelah melalui proses pengepungan selama dua minggu. Pimpinan kelompok pembelot tersebut, Muhammad Al-Qahtani yang menahbiskan dirinya sebagai Al-Mahdi akhirnya tewas. Namun dalangnya, Juhayman Al-Otaybi berhasil diamankan dan dihukum mati.
Ideologi dan Psikis
Mengaca kepada peristiwa yang tergambar secara singkat di atas, ada hal yang menarik untuk disampaikan. Bahwa orang-orang yang "dipelihara" oleh pemerintah ternyata memiliki potensi besar untuk melakukan gerakan radikal yang mengatasnamakan agama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pembahasan ini mari kita pelan-pelan memperhatikan konstruksi pemikiran pelaku penyerangan menggunakan pendekatan struktur ideologi dan psikis.
Mengutip teori Louis Richardson, Tito Karnavian menyebutkan dalam disertasinya bahwa ada tiga faktor penting yang mendorong perilaku radikal dan teror yang selama ini terjadi di Poso. Ketiga faktor tersebut adalah disaffected person (orang yang teraniaya), enabling group (kelompok pemberdaya) dan legitimising ideology (ideologi yang melegitimasi perilaku radikal dan teror).
Dalam konteks peristiwa penyerangan Masjidil Haram, ketiga faktor itu tergambar dari hasil interogasi yang dilakukan kepada Al-Otaybi sebagai dalang dari peristiwa penyerangan berdarah tersebut. Hasilnya menyatakan bahwa Al-Otaybi dan kelompoknya merasa sejak pemerintahan Raja Khalid keberpihakan kepada Islam mulai berkurang. Korupsi merajalela. Modernisasi yang diusung oleh kebijakan Kerajaan dianggap menggerus nilai-nilai tradisional Islam yang dipegang teguh oleh kelompoknya.
Kelompok Al-Otaybi yang mengklaim dirinya bagian dari kelompok militan Al-Ikhwan juga merasa seakan-akan dipinggirkan oleh pemerintah. Jasa-jasa kakeknya yang dahulu membantu berdirinya kerajaan Arab Saudi digeser oleh pendekatan-pendekatan kebarat-baratan keluarga kerajaan yang hedonis.
Ditambah doktrin amar ma'ruf nahi munkar, konsep Al-Mahdi dan hegemoni Barat/kafir yang diwariskan dari kacamata pasca kolonialisme melahirkan ideologi radikal yang menggunakan dalil-dalil agama sebagai legitimasi tindak kekerasan. Tidak berhenti sampai di situ, beberapa rilis berita menerangkan bahwa kelompok ini juga mendapatkan sokongan dana dari pihak lain yang digunakan untuk membiayai persenjataan.
Berbeda dari apa yang diuraikan di atas, sudut pandang psikis sendiri memandang bahwa ideologi yang diyakini pelaku penyerangan bukanlah faktor utama melainkan hanya enabler (pemantik) yang meletupkan tindakan kekerasan. Sudut pandang ini meyakini bahwa sifat alamiah manusia yang memiliki kecenderungan kekerasan serta pola pikir Manichean (hitam-putih, kamu-aku, salah-benar) yang mendorong seseorang untuk berbuat radikal.
Adapun tuntutan modernitas dan sekularitas, menurut Kumar Rajakrishna, tidak akan menggeser religiositas yang sudah mengakar secara alamiah dalam diri manusia. Dalam pandangan ini, para pelaku penyerangan tersebut sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan modernitas yang diusung oleh pemerintah Raja Khalid. Tetapi, ketakutan mereka sendiri akan hilangnya eksistensi mereka yang mendorong mereka memilih jalan radikal dan kekerasan.
Belajar dari Sejarah
Setelah kejadian tersebut, Arab Saudi melakukan perubahan besar-besaran. Raja Khalid melakukan pendekatan yang lebih lembut dengan kelompok agamis puritan. Tokoh-tokoh mereka mendapatkan porsi lebih besar dalam penegakkan hukum. Kebijakan-kebijakan pemerintah pun bergeser ke arah yang lebih konservatif. Pendekatan tersebut diambil sebagai kompromi pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan ulama Salafi. Namun, sekam itu tidak betul-betul dipadamkan.
Di Indonesia sendiri, tindakan tegas berupa policy implication tidak benar-benar meredakan kekerasan. Tindakan represif pihak kepolisian, dalam hal ini Densus 88, justru menambah musuh baru bagi kelompok radikal. Seluruh aparat kepolisian menjadi target sasaran, bahkan hingga kepada polisi lalu lintas yang menertibkan jalan.
Tuntutan kelompok militan itu pun bukan pengakuan atas eksistensi mereka, melainkan pendirian khilafah dan penerapan syariah sebagai solusi dari ketidakadilan yang mereka rasakan sekarang. Sayangnya, solusi instan tersebut tidak mencermati realita Indonesia yang multikultural dan multireligi.
Kiranya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengambil pendekatan baru dalam menangani radikalisme dan teror ini. Kumar Rajakrishna memberikan tawaran pendekatan yang lebih humanis sebagai imunisasi bagi masyarakat dari cara pandang radikal. Cara pandang tersebut bukan dengan membiarkan sekam menyala, tapi dengan memadamkannya.
Pemerintah perlu membentengi masyarakat dari cara pandang Wahabi yang melihat dunia dari hitam dan putih saja. Peran lembaga-lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia dan Koordinasi Dakwah perlu mendapat sokongan kebijakan yang menguatkan mereka sebagai otoritas keagamaan yang berperan menyebarkan dakwah moderasi Islam di Indonesia.