Membentuk Kabinet Lincah di Periode Kedua
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membentuk Kabinet Lincah di Periode Kedua

Selasa, 15 Okt 2019 11:40 WIB
Muhammad Syafiq
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Jokowi (Foto: (Dok Biro Pers Setpres)
Jakarta - Pembentukan kabinet periode 2020-2024 menjadi perbincangan menarik menjelang pelantikan presiden. Perbincangan tersebut bermuara pada bentuk kabinet yang lincah sehingga mampu mengawal visi dan misi Presiden dengan optimal. Beberapa ahli kemudian berfokus pada perampingan (downsizing) atau pencarian postur ideal (rightsizing) kabinet.

Artikel ini berisi gagasan bahwa di tengah proses politik yang terjadi saat ini, perampingan dan pencarian postur ideal kabinet sangatlah tidak efisien. Hal yang perlu dilakukan pada periode kedua Presiden Jokowi adalah fokus memilih menteri terbaik dan mampu membawa birokrasi kementerian lebih cepat dalam merespons visi dan misi Presiden.

Kabinet Lincah

Kunci kabinet lincah tidak hanya pada postur kelembagaan, namun juga pada kemampuan birokrasi terbebas dari penyakit birokrasi yang salah satunya adalah red tape (kompleksitas dan kerumitan prosedur)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada periode pertama kepemimpinannya, Jokowi-JK melakukan restrukturisasi kelembagaan kabinet. Perubahan tersebut salah satunya adalah pembentukan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Restrukturisasi kelembagaan kabinet dianggap dapat mendukung dan merespons dengan cepat visi dan misi Presiden pada saat itu. Terhitung beberapa kajian kelembagaan yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga seperti Lembaga Administrasi Negara, Kementerian PAN dan RB, serta Universitas Gadjah Mada.

Perdebatan ahli tentang postur kelembagaan ideal kabinet untuk pemerintahan Jokowi-JK periode 2014-2019 juga mendominasi media massa di Indonesia. Namun demikian, restrukturisasi kelembagaan kabinet sangatlah tidak efisien dilakukan pada periode kedua pemerintahan Jokowi.

Terdapat dua alasan utama mengapa tidak perlu dilakukan restrukturisasi kelembagaan kabinet. Pertama, restrukturisasi kelembagaan kabinet memberikan konsekuensi penataan organ kelembagaan di antaranya penyesuaian sumber daya manusia, penataan kembali tugas dan fungsi organisasi, serta pembuatan standar operasional prosedur (SOP) yang baru.

Penataan tersebut tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, restrukturisasi kelembagaan kabinet yang berupa penggabungan kementerian juga membutuhkan usaha yang besar untuk menyatukan SDM yang sudah lama terkungkung pada budaya ego sektoral.

Menurut Caiden (2009) hal tersebut dikarenakan spesialisasi penerapan struktur birokrasi Weberian yang berlebihan dan menyebabkan SDM aparatur negara sangat terkotak-kotak. Sehingga, apabila SDM aparatur dari berbagai kementerian disatukan dalam satu organisasi, akan sulit untuk mengajak mereka bekerja dalam satu tim.

Kedua, sistem politik tidak memungkinkan untuk mencari postur kelembagaan kabinet yang ideal. Presiden membutuhkan keseimbangan politik dengan mengakomodasi partai-partai pendukung untuk masuk jajaran kabinetnya.

Politik bagi-bagi kursi akan sangat sulit dihindari, terlebih melihat kontribusi besar partai politik dalam mendukung kemenangan presiden terpilih. Bahkan, saat ini muncul wacana masuknya partai oposisi dalam jajaran kabinet periode kedua Jokowi. Sehingga harapan untuk melihat kabinet yang ramping menjadi sangat utopis dan kurang rasional.

Berani Mengambil Risiko

Jokowi dalam periode pemerintahannya sudah sepatutnya fokus untuk memilih calon menteri terbaik. Karena, menteri memiliki peran sentral dalam mendorong seluruh elemen kementerian untuk dengan lincah dan cepat merespons dan menjalankan visi dan misi presiden.

Penyakit birokrasi kementerian yang menurut Caiden berjumlah 200 (dua ratus) lebih dapat diatasi dengan kehadiran menteri terbaik yang mampu bekerja secara profesional. Salah satu penyakit birokrasi yang membuat kementerian bekerja sangat lambat adalah red tape.

Sulit untuk menemukan padanan kata red tape dalam Bahasa Indonesia. Secara sederhana red tape dapat diartikan sebagai kompleksitas, kerumitan aturan, peraturan, serta prosedur dalam birokrasi. Bozeman (1993) secara konseptual mendefinisikan red tape sebagai aturan, peraturan, dan prosedur yang membebani namun tidak efektif membantu pencapaian tujuan organisasi.

Apabila melihat dari definisi tersebut, maka red tape merupakan penyakit birokrasi yang banyak disebut oleh Presiden dalam pidato politiknya pada 14 Juli 2019 setelah ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU. Arahan Jokowi jelas untuk menghapus kerumitan prosedur dalam birokrasi sehingga mampu mewujudkan visi Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian muncul, sosok menteri seperti apa yang dibutuhkan oleh Presiden ? Melihat harapan besar Presiden untuk memutus red tape, maka Jokowi membutuhkan calon menteri yang berani mengambil risiko.

Red tape dalam birokrasi kementerian secara efektif dapat dipangkas hanya oleh pemimpin yang berani mengambil risiko. Seorang pemimpin dengan tipe tersebut akan dengan berani memangkas aturan, peraturan, dan prosedur rumit yang terkadang disebabkan oleh aktor di luar organisasi yang lebih kuat dan salah satunya berasal dari aktor politik.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Welch dan Pandey (2005), red tape muncul karena banyak dipengaruhi oleh aktor eksternal organisasi yang lebih kuat. Dalam rangka mewujudkan birokrasi kementerian yang bebas dari red tape, kerja menteri terpilih harus didukung oleh tiga hal.

Pertama, optimalisasi penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan publik. Kedua, perlunya budaya transparansi dalam organisasi sehingga tidak ada dominasi informasi oleh pihak tertentu. Hubungan kerja dalam organisasi kementerian lebih dinamis dan tidak ada hambatan hierarkis.

Ketiga, adanya budaya inovasi yang mendorong perbaikan terus-menerus, sehingga birokrasi kementerian tidak terjebak dalam rutinitas dan zona nyaman. Apabila birokrasi kementerian terbebas dari red tape, maka akan terbentuk kabinet yang lincah dan cepat dalam merespons visi dan misi presiden.

Muhammad Syafiq mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan, peneliti Lembaga Administrasi Negara

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads