Ada begitu banyak penjelasan tentang bagaimana awal mula Joker menjadi "Joker". Mulai dari versi original, maupun versi yang datang kemudian. Namun yang pasti ialah karakter Joker tercipta setelah ia mengalami rentetan tragedi hingga akhirnya hilang rasa kemanusiaannya setelah mengalami one bad day, satu hari sial.
Sebagaimana kita kenal karakter Batman di The Dark Night (2008), Joker adalah manifestasi dari tragedi kehidupan yang menimpa mereka. Ia muncul dari krisis eksistensial dan hancurnya makna hidup yang cepat atau lambat harus dihadapi. Tawa Joker adalah sublimasi penderitaan.
Dalam sudut pandang nihilistikβjika ia benar, Joker bukanlah orang jahat, karena kriteria itu tak berlaku. Ia hanya ingin merangkul ketakbermaknaan hidup dengan caranya sendiri. Seperti arahan Sartre (1956), Joker mencoba menemukan makna hidupnya sendiri ketika ia sadar hidupnya tak bermakna. Joker sedang merayakan tragedi dengan cara yang romantis.
Joker ingin segala sesuatu yang terjadi, layak untuk ditertawakan. Baginya, menertawakan kehidupan mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. "Put on a happy face", tulisnya.
Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Schopenhauer (1907) menyebutnya dengan ketidaksesuaian antara konsep dan realitas objek. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menghadapi kesengsaraan.
Harapan-harapan Arthur Fleck di film Joker (2019) yang tak kunjung sesuai dengan kenyataan inilah yang membuat ia meniscayakan diri bahwa kehidupan semuanya menjemukan dan menggelikan dan jalan satu-satunya dari absurditas tersebut adalah menjadikannya bahan senda gurau belaka (trivial), tanpa adanya kriteria baik atau buruk.
Senada dengan Schopenhauer bahwa humor (joke) adalah sublimasi dari ketidaksesuaian (incongruity) konsep dan realitas, SΓΆren Kierkegard (1941) mengatakan bahwa inti dari humor βyang ia sebut "the comical"β muncul sebagai bentuk disparitas dari apa yang diharapkan dengan apa yang dialami. Berbeda dengan Schopenhauer, Kierkegaard menyebutnya sebagai kontradiksi (contradictive).
Tragedi dan humor sama-sama berdasar pada kontradiksi. Tragedi adalah kontradiksi yang penuh rasa sakit, dan humor adalah kontradiksi tanpa rasa sakit. Dengan humor, Joker mencoba memahami hidup yang dinikmati dengan cara-cara yang absurd: menghancurkan kebaikan.
Joker sudah mampu melampaui dunia yang ia telah buat sendiri yang memberikan gagasan filosofis kepada kita sehingga kita tak pernah berhenti untuk dibuat terpukau dan ingin terus menontonnya.
(mmu/mmu)