Kita Semua Adalah Badut
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Jeda

Kita Semua Adalah Badut

Sabtu, 05 Okt 2019 15:00 WIB
Mumu Aloha
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mumu Aloha (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Bagian terburuk dari menderita penyakit mental adalah orang-orang berharap kau bersikap seolah-olah segalanya baik-baik saja. Arthur Fleck, yang kelak minta dipanggil Joker, menulis keluhan itu dalam buku hariannya yang kumal, yang selalu ia bawa ketika berkonsultasi dengan petugas dinas sosial kota untuk mengambil obat. Isu tentang kesehatan mental yang diangkat dalam film Joker yang king tengah diputar di bioskop itu menjadi semacam kejutan kecil yang menyentak.

Jadi, inikah masa lalu "sang pangeran kejahatan", musuh abadi pahlawan kita, Batman, yang selalu membuat kekacauan --sekelam itu? Inilah satu lagi jenis film Hollywood yang membuat setiap orang seolah-olah merasa wajib untuk menontonnya --sebelum dan sesudah harus lapor-- karena begitu hebohnya obrolan di media sosial. Para penggemar film histeris dan bersorak girang mendapatkan tontonan yang luar biasa, yang belum tentu sepuluh tahun sekali muncul.

Para psikolog terpanggil ("ini saatnya") untuk membuat utas dengan analisis keilmuan mereka, mencoba memberikan pencerahan kepada masyarakat, kenapa "tokoh jahat" seperti Joker bisa begitu "simpatik, bahkan lebih menarik perhatian ketimbang sang superhero sendiri ("Joker merepresentasikan sisi gelap diri kita yang tidak ingin kita lihat.")

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selebihnya berdebat ke sana ke mari, dipicu oleh berbagai komentar terhadap film itu -komentar menimbulkan komentar atas komentar atas komentar....dan terus meluas menjadi perbincangan yang riuh. Ada yang mewanti-wanti untuk jangan mengajak anak-anak kecil menonton film tersebut. Ada yang berbaik hati memperingatkan, bagi mereka yang memiliki "mental health issues" sebaiknya menghindari film ini, atau kalau memang "harus" nonton hendaknya tidak pergi sendirian.

Di tengah-tengah keramaian itu, sebuah foto yang viral mencuri perhatian: seorang perempuan remaja berpose di depan poster film Joker sambil membawa selembar karton bertuliskan: Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Lalu, perdebatan baru pun dimulai: benarkah film ini seolah-olah menggiring kita untuk "memaklumi" kejahatan --karena pada dasarnya orang menjadi jahat karena tekanan lingkungan? Sebuah suara sinis menyeruak: ya, orang jahat lahir dari orang baik yang disakiti, karena kamu miskin; kalau kamu kaya, kamu jadi Batman, bukan Joker.

Lalu, dari berbagai sudut terdengar teriakan nyaring, seolah muak dengan segala perdebatan itu: Stop meromantisasi kejahatan! Stop mengglorifikasi orang jahat! Seperti biasa, untuk sesuatu yang ramai dibicarakan, media sosial menjadi pasar gagasan yang kaya, melimpah ruah, tapi juga centang perenang, sampai kita kehilangan ujung dan pangkal dari seluruh pembicaraan itu, karena setiap pendapat, komentar, dan suara adalah kebenarannya masing-masing.

***

Kita terbiasa melihat karya seni, termasuk film, dengan cara memasukkannya ke dalam kotak pemikiran kita sendiri. Kita terpaku pada detail, berusaha menemukan yang tersirat, dan bahkan kadang memaksakan simbolisme. Padahal, seni yang baik, selalu meminta penikmatnya untuk keluar dari pikirannya sendiri. Seni yang baik menantang norma tradisional, mengajak untuk merayakan emosi yang terdalam, dan sering justru menuntut kita untuk membiarkannya ada misteri.

Bagian terbaik dari hidup di zaman budaya pop adalah bahwa seni menjadi tempat untuk menyuarakan hal-hal yang terabaikan di luar sana, dipinggirkan, disepelekan atau bahkan dianggap tidak pernah ada. Seni memberi tempat bagi banyak hal dalam peradaban yang kerap hanya jadi bahan olok-olokan atau dianggap telah gagal.

Industri film Hollywood dalam beberapa tahun belakangan ini misalnya, menjadi panggung untuk menyuarakan kembali pentingnya memberi perhatian pada isu kelas sosial, yang dalam "kehidupan nyata" dianggap tidak berguna, seiring dengan runtuhnya ideologi komunisme, bubarnya Uni Soviet, dan semakin kapitalisnya China.

Film-film "fiksi ilmiah" seperti Snowpiercer (Bon Joon-ho, 2013) hingga Interstellar (Christopher Nolan, 2014) dengan cukup terang-terangan mengangkat kembali masalah kesenjangan kelas yang tak pernah absen membayangi peradaban umat manusia, bahkan ketika zaman sudah mencapai kemajuan teknologi yang belum pernah terbayangkan sekalipun.

Jika kita lihat gambar besarnya, di samping isu "mental health" yang memang sangat kuat, Joker (Todd Phillips, 209) sebenarnya juga, atau lebih, bicara soal kelas sosial. Bahkan, kalau kita pertimbangkan bahwa film ini menceritakan seorang Arthur Fleck, masa lalu sang musuh bebuyutan Batman, yang sebelumnya sudah kita saksikan aksi kejahatannya yang mengerikan dalam The Dark Night (Christopher Nolan, 2018), Joker sebenarnya menggiring kita untuk memahami sejarah.

***

Joker menarik perhatian kita karena dengan cerita yang pada dasarnya sederhana, dengan alur yang sangat rapi dan mudah dipahami, tertata nyaris tanpa cela sejak awal hingga akhir, mampu menggambarkan kondisi kejiwaan manusia yang kompleks untuk memotret sejarah peradaban manusia dengan jernih. Sejarah sebuah kemajuan yang harus dibayar dengan kegilaan, depresi, dan keterasingan.

Jika penyebab kematian dan bunuh diri individual yang paling umum adalah depresi dan keterkucilan jiwa, maka penyebab "kematian dan bunuh diri bersama" dipicu oleh kejahatan dan kekacauan akibat kemarahan dan keputuasaan pada sistem kapitalisme dan makna berdasarkan komoditas yang gagal.

Kondisi yang melumpuhkan itu oleh ahli psikologi disebut "kesendirian spesies", yang kita lihat potretnya pada sosok Joker, yang barangkali benar, mewakili kita semua. Ia menderita gangguan mental yang membuatnya tertawa terbahak-bahak tanpa sebab, seolah-olah menertawakan dirinya sendiri dan kehidupan di sekitarnya yang terasa semakin absurd. "Apakah ini hanya perasaanku, atau dunia di luar sana semakin gila?" keluh Arthur, yang dijawab oleh sang petugas dinas sosial yang setia mendengarkannya, "Ya, situasinya memang semakin tegang."

Joker, sang badut, adalah gambaran dari sejarah kita, sejarah umat manusia, yang dalam pandangan modern kita selama ini kita yakini berjalan ke satu arah. Keyakinan yang hanya sedikit berubah karena adanya perang, kasus-kasus genosida, bencana kelaparan dan wabah penyakit yang memakan puluhan juta jiwa.

Cengkeraman narasi itu begitu kuat terhadap imajinasi politik sehingga ketidakadilan dan kesenjangan parah, yang bersifat rasial, perbedaan kelas, dan lainnya kerap dianggap bukan sebagai alasan untuk meragukan arah jalannya sejarah. Keyakinan yang kemudian melahirkan "peramal" semacam Yuval Noah Harari, seorang ahli sejarah yang datang dengan kontra-argumen yang tidak biasa.

Lewat bukunya yang --seperti Anda tahu-- sangat terkenal berjudul Sapiens, Yuval berpendapat bahwa sejarah umat manusia sebaiknya dipahami sebagai serangkaian mitos, yang dimulai dengan mitos bahwa Revolusi Pertanian adalah kemajuan ("kita tidak mendomestikasi gandum, tapi gandum mendomestikasi kita").

Gagasan Harari dibangun di atas argumen bahwa masyarakat dari dulu sampai sekarang telah dipersatukan oleh fiksi bersama. Nilai-nilai yang pada hari ini kita sebut sebagai kemajuan dan rasionalitas mengambil tempat yang dulu diduduki agama dan takhayul. Terasa aneh, namun tajam dan bernas, dan secara ajaib walaupun hasilnya adalah sebuah tatapan yang kelam terhadap masa depan, skeptisisme total ala Harari mendapatkan audiens pengagum di seluruh dunia; mendapat pujian dari Bill Gates, Barack Obama dan Mark Zuckerberg.

***

Era TED Talk yang serba optimistik, yang memuja angka-angka dan data-data, grafik, tabel, dan kurva, telah melahirkan pemikir kontra-naratif seperti Harari, yang mencangkokkan sains hingga keraguan filosofis untuk melihat kembali perjalanan sejarah umat manusia. Ini adalah era yang sama yang telah melahirkan film Joker, yang secara simplistis dipahami oleh sebagian netizen sekadar film tentang orang sakit jiwa, penjahat-psikopat; alasan pembenar untuk mengglorifikasi dan meromantisasi kejahatan dan orang jahat.

Joker, dengan cara pandang yang lebih skeptis, sama sekali bukan tentang orang jahat. Film ini adalah mitos modern yang brilian dari generasi zaman kita, generasi yang marah dan putus asa, untuk melihat kembali, memberi tempat dan suara, bagi generasi yang kalah dan disingkirkan, bukan karena memang lemah atau pantas tersingkir, melainkan karena miskinnya imajinasi politik orang-orang yang berkuasa, tipisnya empati kaum pemilik privilege dalam kehidupan, serta minimnya kepedulian dari mereka yang lebih beruntung dan bernasib lebih baik dalam kehidupan.

Jangan-jangan Joker, eh Arthur benar, ketika dia berkata, "Better the blind man who pisses out the window than the joker who told him it was a urinal. Know who the joker is? It's everybody.

Mumu Aloha wartawan, penulis, editor

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads