Bali adalah sebuah akses masa depan yang fenomenal. Gejala-gejala modernitas menjadi barometer yang dipakai bahkan dipelihara dengan sangat baik. Ilmu humaniora dan sosial menjadi nilai-nilai masa depan. Refleksi atasnya berjalan dalam karya seni yang mendominasi secara universal dalam semua bidang kehidupan mereka.
Orang Bali maju karena mereka malu dengan 'ketertinggalan' yang bodoh atau bersifat konyol. Mereka ramah karena jati diri mereka ditempatkan dalam adanya mereka yang sederhana tetapi kaya.
Orang Bali maju karena mereka malu dengan 'ketertinggalan' yang bodoh atau bersifat konyol. Mereka ramah karena jati diri mereka ditempatkan dalam adanya mereka yang sederhana tetapi kaya.
Pada awal September 2019, waktu saya tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, saya mengawali seluruh perjalanan selama sebulan dengan berdoa. Ini momen pertama bagi saya berada di Bali, sehingga ada hal konyol yang merusak rasa percaya diri saya. Nah, ini tidak perlu, tetapi sebuah alasan kekonyolan ini membangkitkan rasa percaya diri untuk melihat dengan cermat apa yang sebenarnya dimiliki oleh orang Bali.
Tentu, yang sebenarnya menurut saya adalah implementasi nilai futurisme yang tumbuh dalam setiap pribadi yang tinggal di pulau dengan julukan Dewata ini. Mengapa demikian? Pada awalnya saya terjebak dalam rasa kagum yang berat; saya jatuh cinta dengan karya-karya genius para seniman sejati yang jarang muncul di televisi, tetapi karya mereka dipajangkan di mana-mana. Semacam ada kolaborasi mistis-kultural yang apik dibangun dalam tatanan kehidupan sosial orang Bali.
Di sini, saya merasa kalah. Namun, saat kita berkaca pada hermeneutika kecurigaan, bahwa orang Bali mungkin terjebak dalam keterampilan yang penuh dengan kalkulasi matematis dengan intensi dasar menumbuhkan dan menambahkan semacam 'diferensiasi' atau pengakuan dunia internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sini, saya merasa kalah. Namun, saat kita berkaca pada hermeneutika kecurigaan, bahwa orang Bali mungkin terjebak dalam keterampilan yang penuh dengan kalkulasi matematis dengan intensi dasar menumbuhkan dan menambahkan semacam 'diferensiasi' atau pengakuan dunia internasional.
Sebuah pertanyaan kecil, untuk apa orang Bali berkarya jika tanpa adanya pengakuan? Satu jawaban yang belum tentu benar menurut persepsi publik ialah ilmu futurisme. Ilmu masa depan ini adalah patokan fenomenal yang dipelihara secara baik. Kualitas Orang Bali di mata dunia memang tidak diragukan lagi. Kegeniusan modern dipakai untuk menerjemahkan norma, perilaku, dan praktik sosial budaya diatur dalam satu harmonisasi nilai.
Bali ini seolah menarik kita untuk masuk ke logika Eropa pasca abad Pertengahan. Namun, ini buka abad itu. Ini adalah abad "di antara". "Di antara" artinya ada sesuatu yang di tengah. Ada formulasi ke pusat, bukan ke kiri atau kanan. Segala sesuatu yang berhasil bagi orang Bali selalu kembali kepada yang berada di pusat. Dan, ini adalah dialektika komunikasi yang harmonis. Begitu pula dengan yang horisontal dan vertikal, keduanya pun berjalan seimbang.
Namun, saya meragukan posisi ini. Benarkah orang Bali membangun jiwa masa depan atau sekarang ini dengan menggunakan relasi keseimbangan tersebut? Dalam perjalanan ke Kintamani, pemandu menjelaskan banyak hal mengenai Bali dan orang Bali itu sendiri. Si pemandu mengutarakan hal-hal seputar keunggulan Bali yang murni, bersih, indah, dan modern. Posisi ini benar. Yang unggul dan baik adalah sebuah situasi, kondisi, fakta, pengalaman, dan lebih lagi soal Wujud Tertinggi.
Maka, ketika bahasa si pemandu menegaskan yang baik, maka saya dan teman-teman menyimpulkan bahwa semua yang baik itu terjadi, karena ada satu elemen yang baik, yang ada, yang tak berujung-pangkal, yang metafisis, dan yang tunggal, adalah Tuhan. Pertanyaannya, mengapa Tuhan?
Tuhan dan Masa Depan
Jika bukan Tuhan, apa artinya masa depan? Masa depan hanya satu poin yang lumpuh, lapuk, tak ada faedahnya kalau bukan Tuhan yang mengatur dan mengukur segala kemungkinan yang telah ada dan dijadikan. Manusia hanya sebatas menciptakan dari ada, sedangkan Tuhan menciptakan dari yang tiada. Benarkah?
Ini adalah perkara filsafat yang kadang membutakan mesin pemikiran manusia. Kadang ide dijadikan patokan segala sesuatu. Semacam cogito ergo sum ala Decartes, sehingga egoisme muncul dan menjadi sangat terpusat. Ada egosentris yang buta, sehingga kadang-kadang manusia lupa dirinya sendiri.
Maka, orang Bali di sini, pada umumnya pandai menghidupkan harmonisasi universal. Semua yang tidak kita pikirkan sudah dipikirkan oleh mereka dan telah diciptakan dalam bentuk karya dan karsa. Lalu, apa yang harus kita buat? Plagiasi? Atau, manipulasi?
Jika kita menempuh jalur plagiasi, maka manipulasi akan masuk dan tercebur dalam dinamika proses to be dan to have. Akan jadi lebih baik, jika kita belajar memikirkan yang lain, sambil belajar dari orang Bali tentang to be creator (menjadi pencipta) dan to create (menciptakan). Tujuannya supaya kita mengembangkan futurisme atau logika masa depan sambil menciptakan yang baru dan khas, lebih berbeda atau unik, selain yang sudah ada dan diciptakan saat ini.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini