Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang cukup masif, serta bertemunya para tokoh nasional dengan Presiden beberapa waktu lalu (26/9), "memaksa" Presiden untuk mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Isyarat ini tentunya cukup "memuaskan" publik, karena Presiden responsif terhadap segenap aspirasi. Namun, akankah Presiden benar-benar menerbitkan Perppu KPK?
Gejolak politik akibat pengesahan undang-undang di akhir masa jabatan pemerintahan tidak sekali ini saja terjadi. Menjelang akhir masa jabatan Presiden SBY dan anggota DPR periode 2009-2014 juga sempat timbul gejolak akibat disahkannya UU No. 22/2014 yang mengatur Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD. Tiga hari pasca disahkan pada 30 September 2014, Presiden SBY lekas merespons aspirasi penolakan rakyat terhadap UU tersebut dengan menerbitkan Perppu No. 1/2014 yang esensinya mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat.
Hukum Darurat
Menerbitkan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengakomodasi aspirasi rakyat dan menyelamatkan negara dari keadaan genting (darurat) tentu pilihan yang harus dilakukan Presiden. Bahkan tindakan yang lebih ekstrem justru pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno. Demi menyelamatkan negara, melalui Keputusan Presiden No. 150/1959 (Dekrit 5 Juli 1959) menetapkan pemberlakuan kembali konstitusi (UUD 1945). Meski kontroversial, 17 hari kemudian (22 Juli 1959), dekrit tersebut ternyata mendapat legitimasi DPR yang secara aklamasi "menerima harapan Presiden untuk bekerja terus dalam rangka UUD 1945".
Secara teoritis, tindakan-tindakan Presiden tersebut berlandaskan pada teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Staatsnoodrecht berarti keadaan darurat negara sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat (Jimly Asshiddiqie, 2007). Pada situasi ini, negara (cq. Presiden) dapat bertindak dengan cara menyimpang dari ketentuan UU, bahkan jika diperlukan dapat menyimpang dari UUD.
Pengalaman Presiden Jokowi dalam penerbitan Perppu bukanlah yang pertama kali. Bahkan sebelumnya sempat menerbitkan Perppu yang cukup kontroversial, yaitu Perppu No. 2/2017 yang isinya mengubah sebagian materi muatan UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun, pilihan untuk menerbitkan Perppu ini juga bukan hal yang ringan. Karena selain harus mempertimbangkan parameter hukum sesuai Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, penerbitan Perppu juga diakui perlu mempertimbangkan kalkulasi politik.
Dalam konteks UU KPK, Perppu dapat menjadi jawaban untuk mengakomodasi aspirasi rakyat yang menolak materi muatan perubahan kedua UU KPK. Namun, Presiden juga harus berhadapan dengan kekuatan politik DPR. Hal ini dikarenakan, Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menentukan Perppu harus mendapat persetujuan DPR agar dapat disahkan dan berlaku sebagai UU. Sementara itu, Perppu harus dicabut apabila tidak mendapat persetujuan dari DPR.
Urgensi Perppu KPK
Meski demikian, penerbitan Perppu KPK mestinya harus dilakukan oleh Presiden, lantaran didorong tiga alasan. Pertama, penerbitan Perppu merupakan jalan konstitusional bagi Presiden yang sesuai dengan doktrin hukum darurat negara (staatnoodrecht) untuk menanggulangi tidak efektifnya perubahan kedua UU KPK sebagai dasar hukum pemberantasan korupsi di masa mendatang.
Kedua, meski belum efektif berlaku, materi muatan perubahan kedua UU KPK ini telah memicu genting dan masifnya penolakan rakyat melalui berbagai aksi demonstrasi yang tidak sedikit memicu kerusuhan. Dan apabila aksi-aksi ini tidak segera direspons dan disikapi, maka dikhawatirkan menimbulkan korban semakin berjatuhan.
Ketiga, penerbitan Perppu memenuhi alasan sosiologis terhadap tuntutan dan kebutuhan hukum masyarakat atas pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi melalui peranan KPK secara independen. Sudah demikian cukup banyak kajian dan pencermatan dari para ahli, kelompok masyarakat, hingga civitas akademik mengenai materi muatan perubahan kedua UU KPK. Yang pada intinya, sejumlah materi muatannya justru dapat merintangi tugas KPK untuk menindak pelaku korupsi.
Alternatif Pengaturan
Merujuk praktik penerbitan Perppu-Perppu sebelumnya, maka ada tiga alternatif konsep pengaturan materi muatan Perppu yang dapat ditetapkan oleh Presiden. Pertama, Presiden mencabut seluruh materi muatan perubahan kedua UU KPK, dan kembali menetapkan UU KPK sebelum perubahan. Kedua, mengatur materi muatan baru versi Pemerintah, berdasarkan perkembangan masukan-masukan dari masyarakat.
Ketiga, jika terpaksa harus mempertimbangkan kalkulasi politik, Presiden cukup mengganti sebagian materi muatan perubahan kedua UU KPK yang paling signifikan mengakibatkan tidak efektifnya KPK dalam memberantas korupsi dan mendapat penolakan luas dari rakyat. Misalnya, memulihkan independensi kelembagaan KPK, mencabut pengaturan izin penyadapan kepada Dewan Pengawas, memulihkan status pegawai dan penyidik KPK agar tetap independen.
Sejumlah alasan dan alternatif pengaturan tersebut tentunya cukup menambah dasar pertimbangan bagi Presiden untuk memutuskan penerbitan Perppu KPK. Dengan demikian, aturan-aturan yang dapat merintangi KPK dalam memberantas korupsi dapat kembali dipulihkan, sehingga masyarakat makin percaya terhadap keseriusan Presiden dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Yuniar Riza Hakiki peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia(mmu/mmu)