"Perampokan" dalam Pilkades
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Perampokan" dalam Pilkades

Senin, 30 Sep 2019 14:55 WIB
Wilda Rasaili
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Perampokan dalam Pilkades
Pilkades di sebuah desa di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah (Foto: Andika Tarmy)
Jakarta -

Pemilihan kepala desa (pilkades) serentak tahun 2019 untuk gelombang pertama baru saja usai. Beberapa desa sudah menyelesaikan pesta rakyat yang lumrah disebut dengan pesta demokrasi padahal saling menghabisi. Ini bukan basa-basi, tetapi memang itulah realita yang terjadi. Ada calon yang maju karena ambisi berkuasa, ada yang karena empati pada kebutuhan rakyat, dan ada pula yang hanya untuk mengisi posisi tanpa kejelasan visi-misi.

Saya berupaya menguraikan dinamika pilkades yang banyak menghabisi --merampok-- kehidupan sosial dan ekonomi calon serta ketidakjelasan intervensi demokrasi dalam mewujudkan kehendak bersama dan melindungi hak politik warga negara.

Pilkades sejatinya adalah instrumen politik warga negara untuk menentukan pemimpin lokal serta implementasi sistem demokrasi untuk melindungi kebebasan berpolitik. Pada sisi lain pilkades juga sebagai gambaran politik lokal yang menguji kekuatan political will dan political civil karena antara masyarakat dengan pemimpin sangat dekat dan dampaknya mudah dilihat. Dalam pilkades partisipasi politik cukup tinggi, sebaliknya konflik politik juga sangat rentan terjadi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pilkades lebih banyak diperankan oleh sumber daya individu (tokoh-elite) daripada kelompok sosial dan partai politik. Corak politik lokal yang diperankan oleh elite/tokoh di banyak daerah dan desa berupa klientilistik (Aspinall dan Berenschot, 2019). Gairah politik lebih didorong oleh hubungan patron-klien yang harus diikat oleh transaksi dan kompensasi berupa jabatan politik, pengendalian proyek, dan money politic. Transaksi dan kompensasi menjadi "rukun politik" dalam klientilistik politik lokal desa.

Perampokan Sosial

Pilkades yang diharapkan sebagai luapan hak politik warga dalam perjalanannya justru di beberapa desa berdampak pada distabilitas sosial politik. Polarisasi kehidupan sosial semakin tajam pasca diselenggarakannya pilkades. Di antara tim pendukung tidak mudah melebur antara satu sama lain untuk merajut kembali keutuhan bermasyarakat dan pembangunan desa.

Aspek yang lain diperparah oleh perilaku kebijakan politik kepala desa (pemenang) yang hanya memperhatikan kelompoknya. Bahkan urusan rekomendasi pembuatan KK dan KTP pelayanannya berbeda antara pendukung dengan lawannya. Apalagi kemudian membahas masalah bantuan rumah, bantuan penerangan, irigasi, pembangunan jalan pelosok banyak terjadi ketimpangan antardusun yang menggambarkan perbedaan dukungan.

Untuk menghilangkan polarisasi politik setidaknya dibutuhkan dua periode kepemimpinan dengan syarat di periode yang kedua terpilih secara aklamasi atau hanya dua calon dengan istrinya.

Sedangkan distabilitas sosial paling tajam terjadi pada saat pelaksanaan pilkades. Sebagai contoh nyata pada kericuhan yang terjadi di desa Palengaan Daya, Pamekasan. Konflik pilkades bukan hanya terjadi antartim pemenang, tetapi juga antarsaudara dan keluarga. Perbedaan pilihan dan dukungan dalam keluarga dan saudara tak jarang memicu konflik horizontal. Menguatnya konflik politik pilkades juga berdampak pada konflik sosial yang tidak mudah diselesaikan karena antarlawan saling berdekatan.

Menguatnya konflik politik di desa dipicu oleh paradigma tentang pilkades yang semata-mata bukan hanya urusan merebut kekuasaan, tetapi moralitas politik calon dan tim. Misalnya, apabila salah satu tokoh masyarakat sudah deklarasi bakal calon dan menjadi isu di masyarakat pantang untuk mundur apapun rintangan dan tantangan. Tidak ada kalkulasi politik dan strategi pemenangan, yang penting harga diri politik dan sejarah di masa depan sebagai tokoh yang tidak plin-plan.

Menguatnya harga diri calon itu berdampak pada moralitas pendukung, yang pada akhirnya tidak peduli menang atau kalah, yang penting maju dan maksimal berjuang. Oleh karena itu apabila terjadi permasalahan, sangat mudah untuk menyulut emosi pada konflik masyarakat.

Konflik sosial lebih tajam dan tidak mudah diselesaikan pasca-pilkades daripada pasca-pileg, pilgub, dan pilpres. Pilkades mendorong semua masyarakat sebagai subjek politik, bukan objek dan eksploitasi politik. Semua masyarakat mayoritas sebagai pemain inti, baik posisinya sebagai tim pemenangan, pengatur strategi, pengkonsolidasi, maupun pengamat. Tidak ada yang silent dalam pilkades, kecuali yang buta politik.

Kebangkrutan Ekonomi

Kebangkrutan ekonomi menyinggung pada ongkos politik yang sangat besar sehingga menjadikan calon terpaksa harus membayarnya. Ongkos politik dan money politic menjadi kewajiban dalam politik lokal di desa. Dalam kenyataannya masih belum ada calon yang menang dengan ongkos politik yang minim.

Sistem politik dan sosial tidak memperhatikan sosok calon yang punya kemampuan, loyal, dan ideal dalam kepemimpinan, tetapi kemampuan mereka dalam membiayai mobilitas politik. Calon dipaksa untuk membayar biaya yang tidak murah agar tidak kalah total dalam pilkades. Kekalahan total juga bagian dari harga diri politik masyarakat.

Ongkos politik yang mahal bukan terletak pada bandrol harga per suara, tetapi persaingan daya beli terhadap harga. Di satu desa harga suara berkisar Rp 50.000, namun di desa lain bisa mencapai Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per suara atau per kepala. Jika jumlah DPT desa hanya 2.000-an, maka potensi harga akan lebih tinggi. Begitu juga sebaliknya.

Kemudian perjudian harga, karena penentuannya fluktuatif. Jika salah satu calon mematok harga Rp 100.000, maka lawannya akan memberikan harga di atasnya, dan begitu seterusnya. Sehingga dinamika ongkos-money politic ini memaksa calon untuk menyiapkan biaya dari mana pun asal muasalnya.

Perampokan sosial dan kebangkrutan ekonomi calon sejatinya diciptakan oleh sistem politik demokrasi yang timpang. Demokrasi hanya dimaknai sebagai pemilihan langsung dari rakyat, bukan tanggung jawab penguasa untuk bersama-sama rakyat membangun kemandirian desa dan kesejahteraan.

Penguasa cenderung abai dalam amanah demokrasi sehingga masyarakat perlu ongkos agar semangat untuk berdemokrasi tinggi. Demokrasi hanya diperuntukkan bagi keabadian kekuasaan, bukan kedaulatan rakyat. Kedaulatan berkonotasi pada kemandirian ekonomi-politik dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Wilda Rasaili dosen FISIP Universitas Wiraraja Sumenep, dan Kandidiat doktor Universitas Jember

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads