Setelah 1997/1998, nyaris belum ada aksi demonstrasi mahasiswa masif seperti yang berlangsung pada 24 September kemarin. Jumlahnya terbilang sangat besar, hampir semua kampus di Jakarta ikut terlibat, dan beberapa kampus utama dari luar Jakarta juga mengirimkan perwakilan yang tak sedikit. UGM dari Jogja dan Unpad dari Bandung dikabarkan mengirimkan cukup banyak perwakilan.
Dari Bandung, sebagaimana dikabarkan beberapa kawan dosen di Unpad, beberapa bus besar yang berisi mahasiswa meluncur ke Jakarta untuk ikut aksi. Selain itu, di Bandung sendiri juga berlangsung aksi demonstrasi yang masif di depan Gedung Sate. Di waktu yang sama, di beberapa kota besar juga berlangsung aksi yang sama. Dari Makassar, Medan, Padang, Semarang, Surabaya, Palembang, sampai pada beberapa kabupaten, para mahasiswa menyuarakan isu yang sama.
Mahasiswa mendatangi Kantor Gubernur dan DPRD, mendesak mereka untuk mengirimkan pesan menyetujui tuntutan para mahasiswa dan menyampaikan kepada pemerintah pusat. Isu utama yang dibawa adalah penuntasan reformasi. Selama ini, mahasiswa menganggap proses reformasi telah dikorupsi oleh elite-elite negeri ini.
Sebenarnya, demokrasi yang dibelenggu oleh kalangan elite telah terjadi sejak proses gelombang demokratisasi ketiga bergulir. Banyak rezim yang hanya menjadikan demokrasi sebagai prasyarat minimal untuk mendapat label demokratis, tapi pada tataran teknis, publik justru semakin terjauhkan dari proses politik dan proses pengambilan kebijakan. Inilah yang disebut Colin Crouch sebagai fenomena post democracry.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya tangkapan Larry Diamond diamini oleh Francis Fukuyama dalam karya penghormatannya terhadap Samuel Huntington, yakni Political Decay dan Political Order (judul ini juga digunakan oleh Huntington pada tahun 1960-an).
Indikasi yang disampaikan Colin, diselidiki oleh Diamond, dan diamini oleh Francis Fukuyama, adalah bahwa kehidupan demokrasi dalam sebuah negara pada akhirnya hanya perkara prosedural. Pemilu dijalankan, lembaga demokrasi dilengkapi, media dibiarkan bebas, dan lain-lain, tapi keputusan publik tetap mutlak terletak di tangan-tangan oligarki ekonomi politik, alias di tangan-tangan beberapa orang saja.
Diamond dan Fukuyama menyebutnya pratrimonialisme politik dan patron-klientelisme, sementara Colin Crouch menyebutnya neo-aristocratic system. Persamaan dari ketiganya adalah bahwa demokrasi pada akhirnya hanya perkara seremoni di satu sisi, gegayaan, sok demokratis, biar trendi secara politik, tapi di sisi lain kenyataannya hanya digunakan oleh oligar-oligar untuk membangun impresi bahwa daerah kekuasaannya sudah demokratis, sementara kepentingan mereka terselamatkan.
Di ranah yang lain, ranah pengambil keputusan, ternyata demokrasi sudah selesai saat pemilih pulang dari bilik suara lalu kembali berjibaku dengan kehidupan masing-masing. Kedaulatan dianggap sudah berpindah, bertransformasi menjadi kekuasaan dan wewenang yang kemudian dimonopoli oleh beberapa oligar saja.
Lama kelamaan, hal yang demikian kemudian melahirkan tatanan masyarakat yang juga bersifat post democratic. Menikmati hak pilih, menikmati kebebasan media, menonton kegilaan-kegilaan wakil-wakil, menggunjingkan kepala-kepala daerah yang korup yang telah mereka pilih, lalu menertawakannya. Dan di tahun politik, pemilih mencoblos lagi, as usual. Demokrasi pada akhirnya diperlakukan sebagai seremoni secara bersama-sama bak pesta ulang tahun kemerdekaan yang hanya sekali setahun, misalnya.
Dan kembali ke buku Post Democracy besutan Colin Crouch, seperti apa dia menggambarkan masyarakat pos demokrasi tersebut, begini jabarannya: a post-democratic society is one that continues to have and to use all the institutions of democracy, but in which they increasingly become a formal shell. The energy and innovative drive pass away from the democratic arena and into small circles of a politico-economic elite.
Ini adalah poin utama pergerakan mahasiswa beberapa hari lalu. Penyulut utama adalah revisi UU KPK yang terkesan janggal, terburu-terburu, dan cenderung secara implisit justru meredupkan marwah KPK sebagai tameng antikorupsi nasional. Boleh jadi, KPK bukan malaikat, bukan institusi tempat orang-orang suci, tapi ada misi suci yang tersimpan di sana. Dan misi tersebut adalah salah satu harapan yang sempat menggelora di saat transisi demokrasi sekira 20 tahun lalu.
Dan jika DPR dan pemerintah berniat baik untuk menyempurnakan keberadaan KPK, maka alangkah baiknya DPR dan pemerintah berkomunikasi secara intens dengan elemen-elemen publik yang selama ini tegar mempertahankan eksistensi misi suci tersebut. Bukankah istana pernah satu meja makan dengan hampir semua pengurus BEM se-Indonesia? Sekarang di mana instrumen komunikasi semacam itu?
Namun terbukti, dalam kasus revisi UU KPK, gejala post democracy kental terjadi. DPR dan pemerintah menafsirkan sendiri skala, tingkatan, dan skup kebutuhan revisi tanpa banyak berkomunikasi dengan aktor-aktor utama pegiat antikorupsi di satu sisi dan publik yang masih diwakili mahasiswa di sisi lain. Inilah persoalan awal yang "menyinggung perasaan" kawan-kawan mahasiswa, yang akhirnya memanggil mereka untuk kembali membuktikan diri di hadapan publik, bahwa mahasiswa adalah kekuatan publik, di luar institusi pemerintah dan di luar partai, yang tak bisa dipinggirkan di dalam proses pembuatan kebijakan strategis, sekelas UU KPK.
Dalam konteks makro seperti di atas, maka jelas misi mahasiswa adalah mulia, suci, tak mungkin ditunggangi. Para pihak, yang bisa datang dari mana saja, kemudian menunggangi pergerakan masif tersebut dengan kepentingan-kepentingan naif seperti penolakan pelantikan presiden, penurunan presiden, khilafah, dan sejenisnya. Peluang bermain "jorok" tak melulu dinikmati oleh lawan politik penguasa, dari lingkaran penguasa sendiri pun bisa saja, tergantung skill para buzzer dalam mem-framing isu dan situasi.
Inilah yang harus dibuktikan oleh mahasiswa kepada publik, bahwa pergerakan masif yang dilakukan adalah bagian dari misi nasional untuk mengembalikan napas suci demokrasi dan menghindari munculnya gejala post democracy, bukan untuk bermain-bermain dengan salah satu aktor politik praktis, baik di istana maupun di pihak penentangnya.
Ronny P Sasmita pecinta kopi seduh ala mahasiswa