Pengesahan revisi Undang Undang KPK adalah bukti bahwa janji demokrasi melahirkan kepemimpinan (negara) yang pro pada kepentingan publik sulit terjadi. Sebaliknya, output-nya adalah pemimpin yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Persis disampaikan oleh Eva Bellin dalam Stalled Democracy (2002): democracy is stunted hallway between autocracy and fully accountable government.
Negara sebagai representasi demokrasi hanya responsif terhadap kepentingan segelintir elite penguasa dan gagal memberi pertanggungjawaban kepada masyarakat secara keseluruhan. Demokrasi lewat simbol presiden dan DPR yang menyetujui revisi UU KPK secara gamblang menunjukkan orientasi kekuasaan yang tunduk pada elite-elite politik pragmatis, bukan publik.
Jauh sebelumnya, demokrasi hari ini merupakan konsensus politik yang kita pilih untuk memutus mata rantai korupsi. Pengalaman masa lalu tentang gurita korupsi Orde Baru yang terbukti merusak tatanan kesejahteraan rakyat membuat korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crime. Orde Baru adalah fase ketika korupsi tumbuh subur melalui konspirasi pejabat negara dan pengusaha. Orde Baru adalah simbol di mana pelaku korupsi sengaja dilindungi oleh negara. Orde Baru memberikan bukti korupsi mengakibatkan distribusi kesejahteraan berlangsung tidak adil.
Momentum reformasi politik membuat gerakan perlawanan terhadap korupsi begitu menguat. Puncaknya tentu saja dengan kelahiran KPK melalui UU Nomor 32 tahun 2002. Publik begitu berenergi menginisiasi lembaga anti rasuah ini demi mengurai, mencegah, dan memberantas praktik korupsi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Singkat kata proses transisi demokrasi Indonesia saat itu melahirkan optimisme akan pemberantasan korupsi melalui KPK.
Dalam kurun waktu 16 tahun, KPK terbukti mampu menjadi motor penggerak pemberantasan korupsi. Di saat yang sama Kejaksaan dan Kepolisian kurang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Banyak kasus-kasus korupsi besar yang dulunya sulit tersentuh dapat di proses oleh KPK. Prestasi KPK terlihat misalnya dalam memproses 114 Kepala Daerah (Juli 2019) dan 254 Anggota DPR/DPRD.
Integritas KPK begitu kuat lewat performa maksimal dalam pemberantasan korupsi di saat bersamaan melahirkan perlawanan sistematis oleh lawan-lawanya. Sejak dulu upaya pelemahan KPK telah sering dilakukan baik melalui narasi-narasi untuk merusak reputasi KPK, kriminalisasi pimpinan KPK, dan rencana revisi UU KPK. Puncaknya tentu dengan disahkanya revisi UU KPK yang oleh gerakan masyarakat sipil dianggap sebagai kemenangan para koruptor dan kroni-kroninya.
Parasit Demokrasi
Anomali demokrasi Indonesia lahir ketika pemilu sebagai model rekrutmen politik berbasis kehendak rakyat justru memfasilitasi hadirnya pemimpin-pemimpin yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Demokrasi dengan semangat partisipasi publik, kontrol, dan akuntabilitas pemerintahan justru memberikan kesempatan para representator jahat untuk berkuasa. Orientasi mereka jelas demi kepentingan kelompok dan ekonomi bukan demi kesejahteraan publik.
Model seperti ini sebetulnya khas di negara-negara pasca otoritarianisme yang sedang menuju konsolidasi demokrasi. Lemahnya pelembagaan institusi politik/negara, budaya politik pragmatisme elite dan masyarakat memberikan ruang bagi kelompok-kelompok politik berwatak oportunis untuk mengambil alih kekuasaan. Pemilu adalah momen yang tepat untuk mengkosolidasikan kekuasaan dan memperbesar potensi keuntungan. Mereka inilah parasit demokrasi yang menjadikan legitimasi rakyat (pemilu) sebagai tangga melayani kepentingan kelompoknya.
Maka, bisa ditebak jika kehadiran KPK begitu mengganggu proses pemburuan rente (korupsi) yang dilakukan. Performa KPK yang begitu luar biasa dalam menangani kasus-kasus korupsi besar dan diapresasi tinggi oleh publik dianggap sebagai ancaman yang harus segera ditundukan. KPK tidak boleh terus dibiarkan sebab itu perlu dilakukan pelemahan secara konstitusional. Maka restu presiden dan DPR menjadi syarat mutlak.
Pada sisi inilah ujian sesungguhnya bagi pemimpin (Presiden Jokowi) yang dipilih oleh rakyat. Pertama, Jokowi semakin kehilangan visi besarnya dalam pemberantasan korupsi (Nawa Cita). Alih-alih menguatkan, persetujuan Jokowi adalah alarm kematian bagi KPK. Jokowi dengan citra presiden populis dan narasi kerakyatanya gagal menangkap desakan deras dari publik untuk menyelamatkan KPK.
Sebaliknya, persetujuanya menjadi pintu awal bagi suramnya masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jokowi lupa dengan janji-janji politiknya untuk mendukung pemberantasan korupsi. Langkah Jokowi menunjukkan keberpihakanya pada para koruptor, bukan rakyat.
Ada dua kemungkinan di balik sikap Jokowi ini. Pertama, dia semakin kehilangan kontrol atas kekuasaannya. Jokowi terjebak pada tekanan partai pendukungnya sendiri yang memang tidak nyaman dengan KPK. Inisiator revisi KPK mayoritas merupakan pendukung Jokowi. Jokowi bukanlah veto player dalam partai; posisi politiknya menjadi lemah sehingga harus membangun kompromi lewat revisi UU KPK.
Kedua, Jokowi memang sudah gerah pada KPK. Asumsi ini setidaknya disampaikan oleh Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR). Bisa jadi benar memang mengingat banyak pejabat-pejabat penting Jokowi yang di tangkap oleh KPK (terbaru Imam Nahrawi). Fakta ini menunjukkan kegagalan Jokowi dalam menciptakan birokrasi bersih. Jokowi mungkin kesal akibat ulah KPK yang membuat citra pemerintahan bersih yang dikampanyekan jadi tercoreng.
Dua pendapat di atas penjelasannya hanya Jokowi yang tahu. Namun apapun itu dalam konteks ini, Jokowi menunjukkan janji pemberantasan korupsinya adalah ilusi. Jokowi sebagai produk demokrasi gagal menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi. Jokowi membuat Reformasi dikorupsi.
Melakukan Perlawanan
Di saat kebuntuan seperti ini, maka gerakan masyarakat sipil lagi-lagi menjadi alternatif kekuatan yang perlu terus didorong untuk melakukan perlawanan. Kekuatan inilah yang masih memiliki kewarasan untuk bergerak melawan korupsi. Di saat elite-elite politik dan negara melemahkan KPK setidaknya masih ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang konsisten mengawal agenda Reformasi untuk memberantas korupsi.
Memang, demokrasi kita yang mahal sulit melahirkan pemimpin yang tulus bekerja untuk rakyat. Namun di balik itu semua setidaknya masih ada harapan perbaikan demokrasi lewat kerja-kerja advokasi masyarakat sipil. Terima kasih kepada semua gerakan masyarakat sipil untuk perjuangnya. Harapan itu masih ada melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Negara sebagai representasi demokrasi hanya responsif terhadap kepentingan segelintir elite penguasa dan gagal memberi pertanggungjawaban kepada masyarakat secara keseluruhan. Demokrasi lewat simbol presiden dan DPR yang menyetujui revisi UU KPK secara gamblang menunjukkan orientasi kekuasaan yang tunduk pada elite-elite politik pragmatis, bukan publik.
Jauh sebelumnya, demokrasi hari ini merupakan konsensus politik yang kita pilih untuk memutus mata rantai korupsi. Pengalaman masa lalu tentang gurita korupsi Orde Baru yang terbukti merusak tatanan kesejahteraan rakyat membuat korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crime. Orde Baru adalah fase ketika korupsi tumbuh subur melalui konspirasi pejabat negara dan pengusaha. Orde Baru adalah simbol di mana pelaku korupsi sengaja dilindungi oleh negara. Orde Baru memberikan bukti korupsi mengakibatkan distribusi kesejahteraan berlangsung tidak adil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kurun waktu 16 tahun, KPK terbukti mampu menjadi motor penggerak pemberantasan korupsi. Di saat yang sama Kejaksaan dan Kepolisian kurang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Banyak kasus-kasus korupsi besar yang dulunya sulit tersentuh dapat di proses oleh KPK. Prestasi KPK terlihat misalnya dalam memproses 114 Kepala Daerah (Juli 2019) dan 254 Anggota DPR/DPRD.
Integritas KPK begitu kuat lewat performa maksimal dalam pemberantasan korupsi di saat bersamaan melahirkan perlawanan sistematis oleh lawan-lawanya. Sejak dulu upaya pelemahan KPK telah sering dilakukan baik melalui narasi-narasi untuk merusak reputasi KPK, kriminalisasi pimpinan KPK, dan rencana revisi UU KPK. Puncaknya tentu dengan disahkanya revisi UU KPK yang oleh gerakan masyarakat sipil dianggap sebagai kemenangan para koruptor dan kroni-kroninya.
Parasit Demokrasi
Anomali demokrasi Indonesia lahir ketika pemilu sebagai model rekrutmen politik berbasis kehendak rakyat justru memfasilitasi hadirnya pemimpin-pemimpin yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Demokrasi dengan semangat partisipasi publik, kontrol, dan akuntabilitas pemerintahan justru memberikan kesempatan para representator jahat untuk berkuasa. Orientasi mereka jelas demi kepentingan kelompok dan ekonomi bukan demi kesejahteraan publik.
Model seperti ini sebetulnya khas di negara-negara pasca otoritarianisme yang sedang menuju konsolidasi demokrasi. Lemahnya pelembagaan institusi politik/negara, budaya politik pragmatisme elite dan masyarakat memberikan ruang bagi kelompok-kelompok politik berwatak oportunis untuk mengambil alih kekuasaan. Pemilu adalah momen yang tepat untuk mengkosolidasikan kekuasaan dan memperbesar potensi keuntungan. Mereka inilah parasit demokrasi yang menjadikan legitimasi rakyat (pemilu) sebagai tangga melayani kepentingan kelompoknya.
Maka, bisa ditebak jika kehadiran KPK begitu mengganggu proses pemburuan rente (korupsi) yang dilakukan. Performa KPK yang begitu luar biasa dalam menangani kasus-kasus korupsi besar dan diapresasi tinggi oleh publik dianggap sebagai ancaman yang harus segera ditundukan. KPK tidak boleh terus dibiarkan sebab itu perlu dilakukan pelemahan secara konstitusional. Maka restu presiden dan DPR menjadi syarat mutlak.
Pada sisi inilah ujian sesungguhnya bagi pemimpin (Presiden Jokowi) yang dipilih oleh rakyat. Pertama, Jokowi semakin kehilangan visi besarnya dalam pemberantasan korupsi (Nawa Cita). Alih-alih menguatkan, persetujuan Jokowi adalah alarm kematian bagi KPK. Jokowi dengan citra presiden populis dan narasi kerakyatanya gagal menangkap desakan deras dari publik untuk menyelamatkan KPK.
Sebaliknya, persetujuanya menjadi pintu awal bagi suramnya masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jokowi lupa dengan janji-janji politiknya untuk mendukung pemberantasan korupsi. Langkah Jokowi menunjukkan keberpihakanya pada para koruptor, bukan rakyat.
Ada dua kemungkinan di balik sikap Jokowi ini. Pertama, dia semakin kehilangan kontrol atas kekuasaannya. Jokowi terjebak pada tekanan partai pendukungnya sendiri yang memang tidak nyaman dengan KPK. Inisiator revisi KPK mayoritas merupakan pendukung Jokowi. Jokowi bukanlah veto player dalam partai; posisi politiknya menjadi lemah sehingga harus membangun kompromi lewat revisi UU KPK.
Kedua, Jokowi memang sudah gerah pada KPK. Asumsi ini setidaknya disampaikan oleh Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR). Bisa jadi benar memang mengingat banyak pejabat-pejabat penting Jokowi yang di tangkap oleh KPK (terbaru Imam Nahrawi). Fakta ini menunjukkan kegagalan Jokowi dalam menciptakan birokrasi bersih. Jokowi mungkin kesal akibat ulah KPK yang membuat citra pemerintahan bersih yang dikampanyekan jadi tercoreng.
Dua pendapat di atas penjelasannya hanya Jokowi yang tahu. Namun apapun itu dalam konteks ini, Jokowi menunjukkan janji pemberantasan korupsinya adalah ilusi. Jokowi sebagai produk demokrasi gagal menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi. Jokowi membuat Reformasi dikorupsi.
Melakukan Perlawanan
Di saat kebuntuan seperti ini, maka gerakan masyarakat sipil lagi-lagi menjadi alternatif kekuatan yang perlu terus didorong untuk melakukan perlawanan. Kekuatan inilah yang masih memiliki kewarasan untuk bergerak melawan korupsi. Di saat elite-elite politik dan negara melemahkan KPK setidaknya masih ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang konsisten mengawal agenda Reformasi untuk memberantas korupsi.
Memang, demokrasi kita yang mahal sulit melahirkan pemimpin yang tulus bekerja untuk rakyat. Namun di balik itu semua setidaknya masih ada harapan perbaikan demokrasi lewat kerja-kerja advokasi masyarakat sipil. Terima kasih kepada semua gerakan masyarakat sipil untuk perjuangnya. Harapan itu masih ada melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Iradhad Taqwa Sihidi pengajar Ilmu Pemerintahan UMM Malang
(mmu/mmu)