Selain tuduhan tidak berdasar, hal tersebut juga bertentangan dengan budaya intelektualitas yang dibangun di PMII. Disadari atau tidak, PMII akhir-akhir ini seakan tengah terjebak dalam arus pragmatis. PMII seolah lupa jati diri idealnya sebagai organisasi kemahasiswaan yang senantiasa berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Begitupun dengan penetapan tersangka Menpora Imam Nahrowi oleh KPK atas dugaan suap dana KONI, yang dinilai batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan yang berlaku bahwa keputusan KPK harus bersifat kolektif kolegial oleh 5 orang pimpinan dengan alasan Wakil Ketua Komisioner KPK Saut Situmorang sudah mengundurkan diri, sebagaimana yang dipaparkan oleh PB PMII di surat edaran seruan aksinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Imam sendiri telah tiga kali dimintai keterangan pada proses penyelidikan selaku saksi yang dimulai sejak 25 Juli 2019 yakni pada 31 Juli, 2 Agustus, dan 21 Agustus 2019, namun selalu mangkir. Padahal seharusnya pemanggilan ini dapat menjadi kesempatan untuk memberikan klarifikasi atau bahkan membela diri terkait dugaan penerimaan suap dana hibah KONI dan gratifikasi selama menjabat sebagai Menpora.
Tentu sedikit banyak para kader PMII miris akan hal ini. Ketika independensi yang selalu dikumandangkan, karakter kritis logis yang ditanamkan, dan idealisme yang tumbuh dan berkembang secara perlahan dalam jiwa, sebagaimana yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi seakan lenyap begitu saja. Hal ini sangat memprihatinkan seandainya berakibat terus-menerus pada tumpulnya daya kritis PMII terhadap penyimpangan sosial politik apabila PMII diam, dan akan lebih bahaya bilamana kritik dianggap sebagai bentuk perlawanan. Padahal pada hakikatnya kritik itu adalah peringatan.
Bila mahasiswa dan kaum terpelajar telah menjadi subordinasi kekuasaan, maka dengan dalih keselarasan dan kekeluargaan atau sekedar kerikuhan akhirnya tidak bisa melakukan kritik sosial dan kontrol kekuasaan atas dasar tanggung jawab moral. Hal ini akan makin membuat masyarakat menjadi resah, karena salah satu harapannya tidak lagi memperjuangkan hak rakyat karena telah dikontrol oleh penguasa.
Seketika teringat, segala romantisme kemesraan antara NU dan pemerintah kala itu, tepatnya pada tahun 1950-an. Hubungan NU dan Soekarno bisa dibilang cukup kental saat itu, dan merupakan sejarah yang panjang, yang berawal dari kursi PNI dan NU pada awal tahun 1950-an. Walaupun NU merupakan salah satu partai yang mendukung Demokrasi Terpimpin, tetapi tidak menghalangi PMII untuk mengkritisi Bung Karno pasca G 30 S/1965. Bahkan, menuntut pembubaran PKI. Terpilihnya salah satu aktivis PMII Zamroni sebagai Ketua Presidium KAMI membuktikan hal tersebut.
Sementara itu Ketua Umum PBNU Idham Cholid masih mendukung Bung Karno. Kedekatan tokoh-tokoh NU seperti Idham Cholid dan KH Syaifuddin Zuhri dengan Bung Karno tidak menghalangi PMII untuk melancarkan kritik keras terhadap Bung Karno. Hal ini merupakan bukti citra diri PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan. Ruh dan bibit independensi PMII mulai muncul sejak itu, tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah.
PMII merupakan organisasi underbrouw NU. Namun, dalam menyikapi perilaku politik Soekarno di akhir kekuasaannya, PMII tidak setia dan tidak sejalan dengan NU, khususnya dengan sikap dan Ketua Tanfiziah, PMII dan gerbong elemen muda NU lainnya lebih dekat dengan Subhan ZE yang sikap politisnya sangat anti-Soekarno. Namun kedekatan aktivis PMII dengan Subchan bukan berarti menampakkan sikap keberpihakan atau power block politik Subchan, melainkan unsur idealisme yang lebih kental.
Dalam keadaan seperti ini, harus melihat dari arah dan dimensi manakah ketika kita melihat PMII? PMII juga cenderung dianggap sebagai organisasi massa, sehingga ada sebagian tokoh-tokoh PMII dalam momentum tertentu atau dalam menghadapi isu yang muncul cenderung mengerahkan para massanya.
Apa yang tertera pada tuntutan dalam surat instruksi PB PMII yang menyatakan mendesak KPK agar tidak bersikap politis dalam penetapan tersangka, tentu ini adalah suatu hal yang lumayan menggelitik. Tentu suatu hal yang miris jika kita mengingat kembali ketika segenap lembaga, aliansi, ormas, organisasi mahasiswa, dan lain-lain silih berganti meneriakkan "Save KPK", PB PMII justru meneriakkan "Bela Senior". Kalau sudah demikian adanya, siapakah yang cenderung politis, mereka (KPK) atau kita (PMII)? Tentu adalah suatu yang sangat disayangkan jika hal seperti ini sampai terjadi.
Apa yang sebelumnya sempat kami kemukakan tentang tahun-tahun keemasan (1950-an), walaupun kala itu secara struktural PMII adalah badan otonom dari NU, namun dengan penuh heroisme, PMII kala itu dengan tegas berbeda pendapat dan sikap dengan Organisasi Induknya (NU), dan tetap berpegang pada kebenaran, keadilan, dan berpihak pada rakyat.
Tentu menjadi semacam anomali ketika kita berkaca pada fenomena sekarang. Yang dulunya begitu konsisten dalam bersikap, walaupun pada saat itu PMII masih menjadi organisasi underbrouw NU, namun para kakak-kakak kita tetap bersikap dan senantiasa memelihara kekritisannya. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi belakangan ini, walaupun selalu mendengungkan PMII adalah organisasi ekstra dalam bidang pergerakan kebangsaaan yang independen tanpa terikat oleh partai mana pun.
PMII dewasa ini seolah sebagai "yes man" atau lebih bersikap "asal bapak senang". Seolah deklarasi independensi PMII tidak pernah ada di kehidupan nyata. Tentu ini adalah hilir dari terlalu bermesraannya segelintir pemangku jabatan strategis di struktural PMII dengan elite politik NU (PKB), sehingga PMII yang sama-sama kita cintai ini akhirnya terperangkap dalam atmosfer politik praktis dan mengesampingkan nilai nilai perjuangan yang telah di pegang kuat selama ini.
Harapan kami, PMII sebagaimana idealnya organisasi pergerakan, kembalilah pada semangat independensi, yang artinya bahwa segenap pola perilaku dan berbagai peran yang hendak diambil berdasarkan pada kebenaran, dan objektif. PMII juga harus kembali berpihak pada kepentingan rakyat, menjunjung tinggi karakter yang idealis, logis, serta dapat menjadi insan yang religius.
Farhan M.A dan Brahma A Departemen Pengembangan Fakultatif Rayon PK PMII Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini