Ditetapkannya Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi (IM) sebagai tersangka oleh KPK atas kasus dugaan korupsi suap dana Hibah KONI menjadi rentetan peristiwa korupsi yang tak kunjung usai di tubuh kementerian Jokowi-JK yang sudah berada di titik nadir kepemerintahannya. KPK menyatakan bahwa ditemukan sindikat korupsi yang melibatkan IM dengan staf ahlinya Miftahul Ulum di Kemenpora.
Disebutkan oleh KPK bahwa IM menerima uang senilai Rp 26,5 miliar dari dana hibah KONI tersebut, yang berskandal dengan staf ahlinya sendiri. Tertangkapnya IM ini ada yang menduga akibat konsekuensi politis kalangan radikal yang ada di tubuh KPK. Dugaan ini bagi saya adalah tuduhan yang salah kaprah dan tidak ada landasan logis yang proporsional; menyalahkan institusi KPK dengan membawa isu kelompok radikal yang telah menjangkiti tubuh KPK, yang justru tidak ada relasi politisnya.
IM sebagai Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan sekaligus sebagai bagian dari Ikatan Keluarga Alumni PMII menjadi perbincangan dan menempati urutan pertama timeline media sosial pasca putusan KPK beberapa waktu lalu.
Secara objektif, IM tertangkap korupsi KPK bukan mewakili sebagai IKAPMII tetapi lebih sebagai Menpora. Perlu digarisbawahi juga bahwa tidak ada hubungannya korupsi IM dengan organisasi PMII; semua harus diletakkan di tempatnya masing-masing. PMII merupakan organisasi pergerakan mahasiswa Islam yang berlandaskan ahlussunnah wal jamaah dan memiliki semboyan zikir, pikir, dan amal saleh, dan menjunjung tinggi intelektual-religius. PMII hingga saat ini masih konsisten mengawal dan menjaga NKRI dari berbagai ancaman radikalisme, terorisme, dan ideologi yang merongrong kedaulatan bangsa.
Anehnya, pada Kamis (19/9) Pengurus Besar (PB) PMII mengeluarkan instruksi seruan aksi dengan nomor 391.PB-XIX.02.147.A-1.09.2019 yang disebarkan ke seluruh perwakilan cabang PMII se-Indonesia dari tingkat PKC dan PC sebagai upaya untuk menolak keputusan KPK atas tertangkapnya IM, dan menuding ada "kelompok Taliban" yang bersemayam dalam tubuh KPK.
Di tengah isu miring terhadap KPK yang dianggap telah tercemari oleh radikalisme, sebenarnya hal itu merupakan narasi miskonsepsi yang dibangun oleh orang yang justru radikal. Jika kita boleh jujur, tidak ada satu pun lembaga negara kita saat ini yang tidak dimasuki golongan radikal, tetapi apakah KPK memiliki penyakit kronis radikalisme? Hal ini perlu upaya tabayyun yang cukup mendalam.
PB PMII dengan kepentingannya menginstruksikan kepada semua kader di seluruh Indonesia agar mendesak KPK untuk mengusir para "kelompok Taliban" tersebut, yang sampai hari ini belum jelas eksistensinya.
Sejatinya kita perlu meletakkan persoalan ini secara proporsional dan objektif. Meskipun IM adalah IKAPMII, bukan berarti para juniornya di PMII harus mengikuti instruksi aksi tersebut. Biarkan kasus individu IM tersebut ia selesaikan di depan hukum, dengan tanpa melibatkan yang lain yang justru nanti memperkeruh situasi.
Dalam perjalanannya, PMII sebagai organisasi pergerakan yang mengedepankan intelektualitas tidak mudah dan gegabah dalam mengambil suatu keputusan. Di dalam PMII dibutuhkan pembacaan yang mendalam dan komprehensif dalam membaca suatu isu dan tidak serta merta melakukan aksi tanpa memiliki gagasan yang rasional.
Jika seruan itu serta merta diterima, justru akan mencederai idealisme hanya demi relasi kuasa, dan menunjukkan inkonsistensi PMII dalam mengawal isu nasional. Karena sebelumnya anggota PMII telah menggelar aksi demonstrasi membela KPK di berbagai daerah di Indonesia, karena revisi UU KPK telah disahkan oleh Komisi III DPR. Tetapi dengan kejadian kasus korupsi IM tersebut, justru kader PMII diajak untuk melemahkan KPK dengan mendesak secara berjamaah, dengan dalih agar KPK jangan dipolitisasi di akhir masa penggantiannya. Ini menjadi dilema tersendiri bagi kalangan anggota PMII.
Jika hal ini dibiarkan, maka kewarasan kader pergerakan akan tumpul dengan sendirinya. Maka tidak akan ada satu visi yang sama dalam satu payung organisasi untuk memberikan pengaruh dan kontribusi dalam skala nasional. Lebih dari itu, seharusnya kader PMII lebih mengedepankan untuk ikut membantu menyelesaikan persoalan kebakaran hutan di Pulau Kalimantan dan Sumatera yang sudah menyebabkan banyak kerugian baik dari kesehatan, ekonomi, dan sosial. Mereka lebih membutuhkan uluran tangan kader pergerakan untuk bisa menyelesaikan musibah mereka, daripada sibuk mengurusi urusan perpolitikan yang tidak ada habisnya.
Ferdiansah peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta
(mmu/mmu)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini