Menunggu Jokowi Seperti Theseus
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menunggu Jokowi Seperti Theseus

Senin, 23 Sep 2019 11:30 WIB
Fajar Anugrah Tumanggor
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Jokowi (Foto: Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta - Jika Anda pernah menonton film Immortals (2011), maka tak asing dengan sosok Theseus. Dalam mitologi Yunani, dia disebut memiliki karakter yang kuat, tegas dalam pendirian, serta bijak dalam mengambil keputusan. Bahkan, William Shakespeare dalam bukunya A Mindsummer Night's Dream menyebutkan bahwa Theseus penakluk beberapa kerajaan. Sehingga tak berlebihan jika masyarakat Athena menjulukinya sebagai pahlawan.

Ada satu adegan dalam film besutan Tarsem Singh itu yang fenomenal. Yakni, ketika Theseus mengembalikan semangat para prajurit Athena yang sempat padam, ciut karena kalah jumlah dengan pasukan Hyperion yang sampai ribuan. Ketakutan semakin memuncak kala gerbang benteng pertahanan sudah dijebol. Menjurus ke chaos. Semua orang menyampaikan pendapatnya secara membabi buta.

Tapi Theseus meyakinkan mereka. Mendengar aspirasi, lalu melakukan kebijakan yang tepat, hingga akhirnya menang dengan susah payah. Karakter seperti itulah yang patut ditiru oleh setiap pemimpin. Mendengarkan aspirasi orang banyak, lalu merenung dan mengambil keputusan dengan tepat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tampil Garang

Agaknya cerita di atas berbanding terbalik bila disandingkan dengan pemerintahan Presiden Jokowi saat sekarang. Terjadi distrust di mana-mana. Lini massa media sosial ramai-ramai mengecamnya. Media-media besar pun tak ketinggalan mengkritisi. Terutama soal kebijakan-kebijakan nyeleneh yang dibuatnya.

Sebut saja revisi UU KPK yang kental aroma politis. Sebut pula RUU KUHP yang memasukkan pasal-pasal ngawur. Mulai dari pidana atas penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden (yang pada 2015 lalu sudah ditolak MK). Hingga, Pasal 241, 353, dan 354 yang kental subjektivitas.

Harapan kita, Jokowi menggagalkan RUU KUHP yang jadi bola panas sekarang. Cukup sudah kita melihat KPK dipreteli satu per satu kewenangannya. Padahal, lembaga yang sudah berdiri 17 tahun itu adalah amanat Reformasi. Dalam pembentukannya ada trust yang kuat. Sama seperti cerita para stratiotis (prajurit) yang dipimpin oleh Theseus. Mereka tak sekadar percaya. Tapi yakin bahwa dia bisa menyelamatkan mereka.

Jika Anda menonton scene berikutnya, terlihat bahwa Theseus tampil garang. Berada pada barisan paling depan untuk menghadang Heraklian (nama pasukan Hyperion). Tidak bersembunyi ataupun gagap. Sedangkan Jokowi dihantui bayang-bayang oligarki partai yang hendak mencomot satu per satu kewenangannya. Padahal, kalau dia mau, rakyat pasti mendukung.

Karena apa? Vox vopuli vox dei --suara rakyat adalah suara Tuhan. Harusnya, aspirasi yang sudah disampaikan berjuta-juta orang didengar lalu diaplikasikan. Bukankah Jokowi adalah pilihan rakyat? Bagaimana mungkin orang yang dipilih tidak menjalankan amanah yang sudah diberikan?

Di ujung cerita, pada akhirnya Theseus diabadikan dalam patung. Posisinya berdiri sambil menghajar tubuh Hyperion. Dia dikenang sebagai sosok yang tegas nan berani. Keputusan dibuat untuk semua. Bukan justru mementingkan diri sendiri dan enggan menerima masukan dari pihak mana pun.

Bukankah Jokowi ibarat seorang ayah? Apakah ayah tak pernah salah? Pasti pernah. Untuk itulah perlu diingatkan. Jangan sampai lupa dengan janji-janjinya, yang tertuang dalam Nawacita. Salah satu poin dari sembilan janji Jokowi itu ialah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Poin ini hampir lima tahun dijanjikan oleh Jokowi. Tapi, dalam implementasinya seperti apa?

Bukan hanya revisi UU KPK yang dalam 13 hari disahkan itu saja yang membuat ketidakpercayaan publik semakin lebar. Kasus di Papua beberapa waktu lalu juga menggambarkan bahwa negara kita sedang tidak baik-baik saja. Solusi berupa penggunaan senjata pada masyarakat bukan menyejukkan suasana. Malah makin memperkeruh. Dan ini menjadi bola api liar. Rentan disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk mematikan pihak-pihak lain.

Respons Jokowi memang tidak tinggal diam. Tapi, belum cukup hanya sebatas dialog atau memberi bantuan. Masalahnya tidak segampang yang dipikirkan. Situasinya berbeda dengan yang dialami Theseus. Dia membangunkan trust pada prajurit keintiman komunitas. Lewat menghargai perbedaan pandangan. Termasuk orang-orang yang pada awalnya berseberangan secara ide.

Jokowi katanya menang telak di Papua. Tapi, Jokowi punya PR untuk meyakinkan kelompok minoritas yang tidak mempercayainya. Terutama melakukan pendekatan humanis dan logis. Warga Papua sudah makin toleran dan cerdas. Saya punya teman yang seperti itu. Mereka hanya butuh didengarkan aspirasinya. Bukan justru dibungkam. Diskusi dibubarkan. Bahkan sampai dimatikan. Di mana negara kalau seperti ini?

Mengabaikan Aspirasi

Bila dulu masa Soeharto melakukan abuse of power untuk membungkam mulut warganya dengan kekuatan fisik, kini Jokowi melakukannya dengan piranti lunak. Yakni, mengabaikan aspirasi masyarakat yang bergejolak. Penolakan terhadap keputusan Jokowi dalam soal revisi UU KPK misalnya menggema di mana-mana.

Saya sendiri meliput gejolak itu di Surabaya. Ratusan mahasiswa menyambangi kantor DPRD Jatim untuk meminta dewan segera rapat guna mendesak DPR bersikap terkait revisi UU KPK beberapa waktu lalu. Meskipun pada akhirnya disahkan, mereka juga tak kehilangan akal. Ada niatan untuk melakukan judicial review. Dan itu pun terus berlanjut ke kalangan aktivis lewat petisi. Terutama untuk menolak RUU KUHP yang lagi dibahas sekarang.

Kita memang bukan seperti di Swiss yang jika petisinya memenuhi nominal tertentu, maka bisa membatalkan rancangan undang-undang. Tapi, itu tetap penting. Ini bagian dari demokrasi. Bentuk kemelekan politik. Sebab, seperti yang dikatakan Bertolt Brecht, buta terhadap politik adalah buta yang terburuk. Sekali kita mengabaikan fenomena-fenomena yang menyangkut hidup orang banyak, maka gerbang kematian nalar sudah di depan mata.

Jokowi pilihan rakyat. Sudah menjadi presiden buat semua. Bukan lagi milik segelintir orang. Dipercaya untuk memimpin satu periode lagi. Harapan kita, Jokowi bertindak seperti Theseus. Kala ketakutan sedang melanda, ala distrust bergelora di masyarakat, Jokowi hadir menjadi pembeda. Menjadi oase di tengah keringnya kebijakan yang pro-rakyat. Karena, Jokowi punya kontrak sosial yang harus ditepati. Kontrak yang sudah diikat dengan dasar-dasar konstitusional. Jangan sampai ini diabaikan.

Fajar Anugrah Tumanggor analis Politik FISIP USU
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads