American Academic of Family Physician menuturkan bahwa membacakan cerita kepada anak (berusia 6 bulan hingga 5 tahun) dapat meningkatkan kosa kata, rasa penasaran, dan kemampuan mengingat. Literasi yang dikenalkan sejak dini akan menyebabkan anak mengasosiasikan buku dan kegiatan membaca sebagai hal yang positif. Orangtua juga berkesempatan untuk membangun kemampuan anak dalam mendengar secara aktif (active listening).
UNESCO juga menyampaikan beberapa manfaat literasi seperti meningkatkan harga diri, meningkatkan partisipan dalam politik dan kebijakan publik, serta dapat berdampak pada kemampuan individu untuk mencapai sesuatu.
Walaupun literasi memiliki banyak manfaat, namun fakta literasi di Indonesia sangat menyayat hati. Survei yang dilakukan oleh CSSU terkait dengan perilaku literasi menempatkan Indonesia di posisi ke-61 dari 62 negara. Data yang keluar pada 2016 lalu ini menunjukkan bahwa perilaku literasi di Indonesia sangatlah minim. Hasil survei CSSU selaras dengan data UNESCO yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% yang berarti hanya 1 dari 1,000 orang Indonesia yang rajin membaca.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membumikan literasi keluarga merupakan wujud nyata dari peribahasa "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit". Bermula dari keluarga yang kemudian berakhir pada terciptanya negara yang berliterasi tinggi. Dimulai dari keluarga, menular ke masyarakat, hingga terhimpun dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan roda utama untuk menggerakkan literasi Indonesia.
John Locke, seorang filsuf dari Inggris mengemukakan gagasan tentang tabula rasa yang merujuk pada pemikiran bahwa anak terlahir sebagai lembaran kertas putih. Hal ini menerangkan kepada kita bahwa keluargalah yang akan memberikan coretan pertama pada kertas putih tersebut. Jadi pantas saja jika keluarga disebut sebagai fondasi utama bagi perkembangan anak.
Meninjau gagasan tentang tabula rasa, maka penanaman nilai, akhlak, adab, moral, dan harapan orangtua terhadap anak harusnya dimulai sejak anak masih bayi, bahkan jauh lebih baik bila mengusahakan harapan tersebut sejak anak masih berada dalam kandungan. Misalkan saja orangtua menginginkan anaknya mencintai buku, maka harusnya ibu sudah giat membaca buku sejak ia mengandung. Ketika anak sudah lahir, ibu dapat membacakan cerita-cerita penuh makna kepada anak. Sehingga hal utama yang dibutuhkan adalah membiasakan diri membacakan buku kepada anak sejak anak masih berada dalam kandungan.
Sadar, Stimulus, Sharing
Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya menjadi sosok yang berhasil dan sukses di kemudian hari. Ia akan selalu mengharapkan yang terbaik untuk anaknya, termasuk mengharapkan anak menjadi sosok yang berwawasan luas dan bermoral. Jika menginginkan hal tersebut, maka yang harus dilakukan adalah sadar bahwa literasi merupakan salah satu cara berkelas untuk melahirkan generasi cerdas, belajar bahwa untuk mengajarkan anak cintai literasi maka ibu bapaknya juga harus belajar cintai literasi.
Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi anak untuk mendapatkan penanaman nilai dan moral yang akan membentuk karakter anak di kemudian hari. Dalam hal ini, orangtualah yang sangat berperan dalam menciptakan generasi yang berkelas literat. Peran utama orangtua untuk menciptakan generasi ini adalah memberikan stimulus positif yang mendukung perkembangan literasi di rumah. Stimulus positif dapat ditunjukkan dengan berbagai cara, seperti menyediakan bahan bacaan di rumah, baik dalam bentuk buku fisik ataupun e-book yang sesuai dengan usia anak.
Orangtua bisa mengajak anak untuk 'bertamasya' ke toko buku. Kenalkan anak pada rak-rak yang berjejer rapi dengan berbagai macam buku lucu di dalamnya. Biarkan anak menjelajah toko buku secara bebas beretika. Tumbuhkan minat anak dengan memberikan kesempatan padanya untuk memilih jenis buku apa yang ia inginkan. Hal ini memberi kesempatan pada anak agar ia belajar mengambil keputusan (decision making). Jika anak menginginkan buku di luar anggaran yang telah ditentukan, maka ini adalah kesempatan emas bagi orangtua untuk mengajarkan kontrol diri pada anak, bahwa tidak semua yang diinginkan dapat dipenuhi.
Jika membeli buku dianggap barang mahal yang mampu menggoncang keuangan keluarga, maka orangtua dapat menyiasatinya dengan mengunjungi perpustakaan daerah atau kota. Orangtua hanya perlu menyisihkan "uang transportasi" untuk menikmati kunjungan ini. Di perpustakaan, anak tidak hanya disuguhkan oleh buku-buku yang beragam, namun ia juga akan bertemu dengan orang baru, teman baru, dan lokasi bermain baru. Sehingga tidak salah bila peribahasa "sekali dayung dua pulau terlampaui" cocok dilekatkan untuk kunjungan ke perpustakaan ini, karena selain mengenalkan anak dengan dunia perbukuan, orangtua juga mengenalkan sosialisasi pada anak.
Ketika rumah memiliki banyak buku, maka tugas orangtua selanjutnya adalah melibatkan diri, seperti menemani anak ketika ia membaca. Pelibatan orangtua ini sangat penting karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak cenderung beralasan malas bila ia diminta untuk membaca buku. Kemalasan ini dapat disebabkan beberapa faktor, seperti keasyikan bermain dengan gawainya atau anak memang malas "berdekatan" dengan buku sebab ia tidak mencintai buku. Sehingga pelibatan orangtua diharapkan dapat mendorong atau "memaksa" anak untuk membaca buku.
Dalam memberikan stimulus, orangtua juga dituntut kreatif. Hal ini disebabkan agar kehadiran orangtua menjadi sumber semangat bagi anak untuk membaca. Orangtua dapat melakukan berbagai jenis permainan literasi, seperti story telling, drama panggung, dan berbagai kegiatan lainnya yang mampu merangsang kemampuan motorik anak.
Membaca tanpa melakukan sharing tidak akan berdampak banyak terhadap perilaku positif anak. Hal ini disebabkan karena sharing merupakan satu cara agar mengetahui apa yang telah dibaca oleh anak. Orangtua meminta anak untuk menceritakan kembali apa yang telah dibacakan sesuai dengan versi yang dipahaminya. Biarkan anak berimajinasi dengan caranya sendiri, imajinasi yang ia sajikan kepada orangtua. Begitu pun untuk anak yang sudah mampu membaca, orangtua dapat mengajak anak berdiskusi tentang apa yang ia baca. Orangtua dapat "memancing" anak untuk menemukan makna tersirat dari buku yang telah ia baca. Pancingan ini tentunya akan memicu anak untuk berpikir kritis.
Sharing adalah kegiatan yang sangat bermanfaat untuk kedua belah pihak karena dapat membangun bonding orangtua-anak. Selain itu, dengan melakukan sharing, anak diharapkan untuk belajar mengungkapkan kembali apa yang telah ia pelajari dari apa yang ia baca. Jika orangtua menyediakan panggung kepada anak untuk menceritakan kembali, maka orangtua sudah mendorong anak agar ia percaya diri dan berani berbicara di depan orang lain.
Penerapan 3S (Sadar, Stimulus, Sharing) di lingkungan rumah bukanlah hal yang mudah. Mengapa? Karena orangtua dituntut untuk kreatif agar membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan dan tidak membosankan. Orangtua juga harus menerapkan 3S secara repetitif atau berulangkali agar membaca menjadi kebiasaan yang mengakar menjadi budaya literasi dalam keluarga.
(mmu/mmu)