Pengesahan RUU KUHP Jangan Gegabah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pengesahan RUU KUHP Jangan Gegabah

Rabu, 18 Sep 2019 13:50 WIB
Petrus Richard Sianturi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Andhika Akbarayansyah/detikcom
Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah melewati waktu pembahasan dan penyusunan yang sangat panjang --lebih dari 50 tahun!-- akan segera disahkan. Jika sesuai waktu yang direncanakan, bangsa Indonesia akan punya KUHP buatannya sendiri.

Sebelumnya, KUHP yang berlaku saat ini hanyalah terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch-Indie (WvS) yang dibawa pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia untuk proses unifikasi hukum sejak tahun 1918. Bahkan, menurut Prof J.E. Sahetapy, sampai sekarang pun, dari tiga terjemahan yang beredar, belum ada yang secara tegas dinyatakan sebagai terjemahan yang resmi. Semerawutnya sejarah KUHP memang logis bahwa Indonesia harus punya KUHP buatannya sendiri.

Perjalanan perancangan dan penyusunan draf pertama hingga draf yang kabarnya sampai hari ini masih terus intensif dibahas memang tidak selalu mulus. Para ahli pidana yang diberi tugas melakukan kajian RUU ini mengalami pergantian hampir di setiap periode. Kita tahu bahwa dalam hukum, pendapat sesama sarjana hukum bisa berbeda-beda. Maka prinsip-prinsip yang akan dijadikan semangat dalam KUHP baru juga sering berubah-ubah dalam prosesnya selama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perbedaan prinsip atau bahkan beda interpretasi asas dan teori dalam penyusunan RUU ini wajar saja. Apalagi selama kurun waktu lebih dari setengah abad itu, sistem hukum pidana di dunia mengalami banyak perkembangan. Ini terjadi karena selain bentuk tindak pidana atau kejahatan yang harus diatur juga mengalami perkembangan, semangat pemidanaan mulai mengalami pergeseran paradigma. Contohnya paradigma retributif (mata ganti mata) ke rehabilitatif ("memperbaiki" pelaku tindak pidana).

Penyusunan RUU KUHP ini juga bukan tanpa kritik untuk setiap draf rancangan yang sempat diwacanakan untuk segera disahkan. Untuk draf terakhir yang sekarang sedang dibahas, setidaknya masih ada beberapa polemik, sebutlah pengaturan tindak pidana kesusilaan (zina, kumpul kebo, percabulan, dan pelecehan), pemberlakuan hukum adat yang berhadapan dengan asas legalitas pidana, penghinaan terhadap presiden dan tindak pidana makar, pemberlakuan hukuman mati, serta masuknya tindak pidana khusus seperti korupsi dan narkotika.

Meski begitu, yang jelas bahwa KUHP harus membawa terobosan dalam sistem hukum pidana Indonesia. Apa maksudnya terobosan itu? Karena KUHP yang sekarang berlangsung di Indonesia hanyalah terjemahan dari WvS, ditambah pasal-pasal yang memang dibuat untuk menguntungkan pemerintah kolonial saat itu, RUU KUHP hanya akan menjadi terobosan jika "semangat kolonial" yang menganut relasi asimetris antara penguasa dengan masyarakat dan tujuannya hanya untuk menghukum, benar-benar dibuang.

RUU KUHP harus dilihat bukan hanya untuk mengganti KUHP lama, tetapi sebagai bentuk kehadiran negara dalam konteks pembaharuan kebijakan hukum pidana nasional. Untuk itu, seperti dikatakan Prof Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana adalah untuk melakukan reorientasi yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural masyarakat (2011: 29). Jadi, RUU KUHP bukan hanya supaya kita mengganti kitab lama menjadi kitab baru, tetapi untuk merangkum usaha pembaharuan hukum pidana nasional yang berorientasi nilai.

Repotnya, beberapa pihak seperti tidak senang bahwa RUU KUHP saat ini harus lebih baik dari sebelumnya. Misalnya bahwa tindak pidana khusus dimasukkan ke KUHP. Untuk perdebatan ini, perlu dilihat penjelasan Prof Eddy O.S. Hiariej, bahwa meskipun tindak pidana korupsi (tipikor) dan narkotika diatur ke dalam RUU KUHP, sifat kekhususan tindak pidana itu tidak hilang. Dasarnya adalah bahwa RUU KUHP hanya mengatur core crime: kejahatannya dipandang sebagai inti, selebihnya diatur dalam undang-undang sendiri.

Pendapat itu sulit dipahami, sebab dalam hukum (pidana) sudah berlaku asas lex specialis derogat legi generali yang berarti untuk setiap aturan yang lebih khusus akan mengesampingkan aturan yang lebih umum. Persoalannya, tidak semua tindak pidana perlu diatur dalam aturan yang khusus seperti tipikor dan narkotika. Artinya kekhususan tindak pidana justru terlihat dari tidak mungkinnya tindak pidana itu diatur sebagai delik biasa yang diatur dalam sebuah kitab hukum pidana seperti KUHP.

Jadi, bukankah dengan begitu penerapan prinsip core crime dalam RUU KUHP hanya akan meniadakan "kekhususan" dari tindak pidana yang sebelumnya memang telah diatur sebagai tindak pidana khusus?

Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan sebelum RUU KUHP disahkan adalah bahwa baik DPR dan Pemerintah telah memastikan RUU tersebut telah mengakomodasi hal-hal fundamental yang selama ini menjadi bagian dalam perdebatan pembaharuan hukum pidana. Yakni, hak-hak korban kejahatan, paradigma rehabilitatif dalam penghukuman, serta keseimbangan antara penegakan hukum pidana dan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Tiga hal ini penting untuk benar-benar diperhatikan.

Pertama, hak-hak korban. RUU KUHP tidak boleh hanya mengatur bahwa dalam terjadinya suatu perkara pidana, saat pelaku dihukum maka perkara selesai. Saat ini sudah berkembang dengan masif bahwa penyelesaian suatu perkara pidana juga harus menjawab hak-hak korban misalnya ganti rugi, pemulihan nama baik dan jaminan keamanan dan keselamatan dalam setiap proses penegakan hukum. Dalam ilmu viktimologi, saat suatu pidana terjadi, viktimisasi terhadap korban seringkali diabaikan dan membuat korban tindak pidana sengsara begitu saja.

Kedua, di berbagai negara, paradigma penghukuman dalam sistem peradilan pidana tidak lagi memakai prinsip hukum barbar: mata ganti mata, gigi ganti gigi, atau retributif semata. Hukum pidana dianggap telah berguna jika pelaku tindak pidana, setelah menjalani proses penegakan hukum, dapat kembali ke masyarakat dalam keadaan yang lebih baik. Penjeraan seseorang yang melakukan pidana bukan hanya menghukum berat mereka, tetapi mendampingi mereka agar bisa berubah menjadi lebih baik. Maka RUU KUHP akan terasa berbeda dari KUHP saat ini jika dapat memastikan paradigma penghukuman rehabilitatif terakomodasi dalam setiap pasal.

Ketiga, bahwa penegakan hukum pidana jangan sampai menyinggung apalagi melupakan jaminan atas perlindungan hak asasi seseorang. Sarjana hukum lalu dengan mudah menyebut asas "tidak ada pidana tanpa kesalahan" yang berarti orang hanya akan dihukum jika dia terbukti melakukan tindak pidana. Tetapi persoalan HAM dimaksud tidak boleh hanya itu. Bahwa misalnya tidak boleh lagi hak kebebasan berpendapat dikriminalisasi.

Tiga isu krusial ini belum terjawab sampai pada draf terakhir saat ini. Daripada hanya untuk memastikan bahwa DPR periode ini telah "berhasil" mensahkan KUHP baru, lebih baik jangan tergesa-gesa dan mulai untuk selesaikan dulu setiap isu di atas. DPR dan Pemerintah harus lebih banyak mendengar masukan.

Petrus Richard Sianturi kandidat Magister Ilmu Hukum (konsentrasi Hukum Pidana) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads