Saya tergelak seketika, dengan tawa yang bernada "Hahaha so true kowe, Gus!"
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ongkos perjalanan bermobil dari Tokushima, kota tempat Arip sekolah, ke Bandara Kansai, lalu balik lagi dari Kansai ke Tokushima, lumayan mahal. Jauh lebih mahal daripada ongkos dua tiket bus sekali jalan. Selama perjalanan, Arip menggerutu. Sebab dia harus berkali-kali membayarkan sejumlah uang ke tiap pintu masuk tol. Boros banget.
Namun, setelah mengomel, dia berkomentar sendiri. "Ya tapi memang harus begini sih ya. Kalau tidak, dari mana negara dapat uang untuk pengelolaan tol?"
Obrolan kami berlanjut dengan tema menggunjingkan diri sendiri. Kita ini, kata Arip, paling susah kalau disuruh bayar-bayar. Orang banyak langsung teriak-teriak waktu disuruh bayar BPJS, misalnya. Padahal kalau mau ala-ala welfare state, ya memang harus ada kontribusi rakyat untuk pengamanan biaya kesehatan publik.
Intinya, kita inginnya hidup sejahtera ayem tentrem kertaraharja tanpa mau dipunguti kontribusi apa-apa. Bahkan saya ingat seorang kawan yang sangat intelektuil pun berkata bahwa model-model asuransi BPJS itu hanyalah kelicikan negara yang ingin mengelak dari tanggung jawab pelayanan kesehatan gratis untuk publik.
Apa? Gratis? Duitnya dari mana, wahai Obbie Messakh?
Saya sadar betul, kalau ngomong begini, pandangan saya ini tiba-tiba terdengar sangat tidak keren, tidak populis, dan sama sekali tidak progresif. Jadinya mirip-mirip humas penguasa saja, atau buzzer Ditjen Pajak yang ujung-ujungnya bilang "Orang bijak taat pajak". Tapi mau gimana lagi.
Saya sendiri tidak sepenuhnya suka dengan berbagai kebijakan pemerintah. Persoalan salah urus dan salah hitung pembiayaan BPJS, misalnya, juga peraturan pemanfaatannya yang terlalu longgar, itu sangat bisa dikritik. Juga tentang pilihan pembangunan jalan tol alih-alih pengadaan transportasi publik, itu pun sisi yang sangat boleh digugat. Tapi yang menggelisahkan adalah soal membayar itu lho. Kok kita itu pelit banget ya kalau sudah urusan bayar-membayar?
Benar, penghasilan kita mepet, harga-harga mahal. Tapi kalau sudah ada asuransi tetap, ya artinya pos kesehatan sudah aman dan tidak akan muncul kejutan-kejutan menyedihkan saat mendadak penyakit datang. Anda mungkin tidak pernah menyaksikan, sebelum BPJS nongol, banyak sekali masyarakat kelas bawah sampai menjual propertinya hanya untuk biaya opname anggota keluarganya. Rumah sakit menjadi monster penghisap darah paling mengerikan bagi kaum sudra. Semua itu terjadi karena tiadanya perencanaan ala-ala asuransi.
Jadi sebenarnya, sistem asuransi kesehatan di bawah pengelolaan negara memang mesti dijalankan, kalau kita ingin jadi negara seperti Finlandia.
Masalahnya, kita hanya mendengar yang enak-enak saja dari negara semacam Finlandia. Adapun soal pajaknya, hanya satu referensi yang kita dengar: A-rab-Sa-u-di!
***
Betul sekali, Sodara. Pengalaman internasional mayoritas masyarakat Indonesia adalah Arab Saudi. Itu hipotesis dari Arip juga. Karena rakyat Indonesia mayoritas muslim, dan muslim yang punya cukup duit pada ramai-ramai naik haji, maka Saudi menjadi referensi paling hakiki untuk segala-gala yang berbau luar negeri.
Walhasil, soal pajak pun referensinya Saudi. "Di Arab itu nggak ada pajak lho. Fasilitas lengkap, hidup tenang penuh berkah, kerajaan tidak memungut pajak. Benar-benar negeri yang islami...."
Memang benar. Saudi tidak menerapkan pajak penghasilan pribadi. Yang ada cuma zakat 2,5%. Masalahnya, ada konteks yang dilupakan oleh banyak orang yang menjadikan Saudi sebagai satu-satunya contoh negara makmur di muka bumi. Konteks itu adalah minyak bumi.
Tidak usah dibahas lagi, Saudi memang telaga minyak bumi. Ibaratnya Anda jalan-jalan sedikit saja di Saudi, lalu berhenti dan berdiri, 80% kemungkinannya di bawah kaki Anda ngendon tumpukan sumber minyak bumi. Ini semata soal takdir. Tidak perlu bikin negara lain iri, dan tidak bisa kita tiru sama sekali.
Pendapatan Kerajaan Saudi 90% dari minyak. Jadilah sebutannya Negara Petro Dollar. Dollar mereka didapat dari petro alias petroleum alias minyak. Maka tak perlu heran kalau para raja Saudi termasuk Pak Salman bisa memanjakan rakyatnya dengan fasilitas gratis yang limpah ruah dengan bekal petro yang mahal dan membanjir itu.
Malangnya, cadangan minyak kian menipis, dan harga minyak dunia turun. Saudi akhirnya menerapkan PPN atas sebagian besar barang dan jasa, mulai Januari 2018. Meski demikian, ingatan kolektif para jamaah haji Indonesia toh tetap saja masih kokoh, yaitu bahwa warga Saudi tidak perlu membayar pajak sepeser pun.
Hasilnya, paham atau tafsir agama yang anti-pajak pun tumbuh subur. Ketika ada rencana penambahan besaran pajak, muncul kutipan-kutipan di media sosial semacam: "Penguasa yang zalim adalah penguasa yang memunguti pajak dari rakyatnya." Wadududuh.
Saya sendiri sepakat, jika zakat dari umat muslim dapat dimaksimalkan pengelolaannya, akan ada pergerakan positif di tengah masyarakat. Tapi 2,5% saja mana bisa mengejar Jepang yang rasio pajak penghasilannya 50%, atau Belanda yang 52%?
Jadi mau mirip Finlandia tapi ogah pajaknya? Apa bedanya dengan ingin punya bodi ala Farah Quinn, tapi ogah senam sama dietnya?
***
Sekali lagi, saya bukan propagandis pajak, apalagi cheerleader Ditjen Pajak. Yang ingin saya sampaikan cuma omelan ringan bahwa kita ini tak henti memimpikan hasil dan hasil melulu, sedangkan prosesnya kita tak mau tahu.
Dan, sikap tidak konsekuen dalam berproses sambil semata-mata meminta hasil itu bukan cuma soal pajak, Mas. Tentang kehidupan berdemokrasi pun demikian pula.
Ah, ada ilustrasi cerita yang menarik untuk topik ini.
Alkisah, beberapa hari setelah pelantikannya sebagai presiden Amerika Serikat, George HW Bush nyeletuk, "Saya benci brokoli." Celetukan itu disambar media, dan langsung dikutip lalu ditayangkan di berbagai headline berita keesokan paginya.
Karena berita itu, para petani brokoli pada baper dan ngamuk-ngamuk. "Wooo ternyata presiden baru kita itu hater brokoli! Trus kita-kita ini dia anggap apaa??"
Beberapa hari kemudian, para petani brokoli beramai-ramai mendatangi Gedung Putih. Mereka tidak berdemo sambil membakar ban atau mengangkat keranda berisi boneka Bush. Yang mereka lakukan simpel saja: mereka menyebarkan ribuan gelundung brokoli di halaman Gedung Putih! Wow!
Tentu saja Si Bush cuma manyun jelek, dan setelah itu berusaha lebih menjaga mulutnya.
Tapi coba sekarang bayangkan. Andai celetukan itu keluar dari bibir Kaisar Aztec yang Mulia, misalnya, pasti ceritanya akan jadi lain.
"Diriku yang suci ini tidak suka buncis," misalnya Sang Kaisar bilang begitu. (Saya sendiri tidak yakin apakah di Amerika Selatan zaman itu ada buncis). Nah, boro-boro ada petani membuang buncis di depan gerbang kekaisaran, yang terjadi kemudian justru para jendral manggut-manggut takzim.
Sedetik kemudian, beberapa petinggi pamit dari istana, mengumpulkan ribuan prajurit yang menggenggam kapak batu, lalu memerintahkan agar semuanya menyebarkan pengumuman ke penjuru kekaisaran: "Wahai rakyat Aztec. Mulai hari ini, buncis adalah sayuran terlarang! Barangsiapa berani menanamnya, akan dihukum bakar hidup-hidup!" Hahaha!
Apa yang "terjadi" di Kekaisaran Aztec itu adalah karakter monarki, ketika raja diyakini suci. Adapun yang terhampar di halaman depan Gedung Putih itu adalah berkah demokrasi. Presiden dipilih rakyat, bekerja untuk rakyat, dan mengabdi kepada rakyat.
Maka, Anda memilih demokrasi atau monarki? Kalau di bibir kita berteriak hidup demokrasi hidup NKRI dengan berapi-api, bagaimana bisa hari ini banyak orang murka hanya karena Sang Presiden pengabdi kita itu dijadikan gambar lucu penggeli hati? Jadi apakah kita ingin menegakkan demokrasi, tapi mental kita mental monarki?
Cuma gitu aja kok sensi amat, sih. Hihihi.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini