Asap menjadi kata yang populer dalam lalu lintas komunikasi anak negeri Melayu Riau saat ini, terutama di dunia maya. Linimasa media sosial penuh dengan posting-an asap lengkap dengan gambar-gambar satire. Semua itu bukan karena kecintaan kepada asap, tapi itu bentuk kritikan, kejemuan, juga kekesalan akibat asap yang menimpa negeri sudah berkali-kali datang dan membahayakan kesehatan. Tak satu pun anak negeri merindukan kedatangannya.
Dulu, seingat saya, asap hanyalah kepulan-kepulan kecil di tengah ladang dan di dapur. Asap itu hanyalah untuk sekadar menanam padi dan menanak nasi, bukan untuk mengumpulkan pundi-pundi materi. Alhasil, asap itu sangat dirindukan hingga kini, yakni asap dapur. Bahkan orang berlomba-lomba agar asap itu terus mengepul. Sebab asap dapur berkorelasi dengan terpenuhinya kebutuhan sehari-hari.
Tapi kini, yang sedang menghiasi langit Riau bukanlah asap dapur, tapi asap hasil karhutla (kebakaran lahan dan hutan). Hutan yang terbakar bukanlah satu dua hektar melainkan sudah payah nak menyebutnya, begitu orang Riau mengatakannya. Semua itu berpangkal dari pengelolaan hutan yang kebablasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khusus untuk kebakaran pada 2015 lalu saja diestimasi melebihi yang terjadi pada rentang 1997-1998, di mana lahan yang terbakar menurut kajian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) mencapai 9,75 juta hektar.
Sudah hampir dua bulan ini, rakyat Riau terus berkawan asap, sesekali berkurang karena hujan turun, tapi kembali menjadi pekat pada pekan terakhir ini. Bahkan anak-anak sekolah sudah mulai diliburkan Senin (9/9) lalu. Asap benar-benar sudah membuat napas menjadi sesak. Pemerintah daerah menghimbau semua instansi pemerintah untuk melakukan salat minta hujan (Istisqo'). Berharap semoga Tuhan menurunkan hujan.
Saya pun berharap semoga hujan segera turun. Anak saya yang duduk di kelas 3 SD melontarkan pertanyaan, "Ayah kenapa manusia yang membakar hutan, kok minta kepada Tuhan yang memadamkannya? Bukankah membakar hutan itu dosa ayah? Banyak binatang dan tumbuhan yang mati, mereka kan perlu hidup juga, Ayah Dan bukankah orang yang berdosa tidak dikabulkan doanya ayah? Lagian, masak iya, ada orang yang punya tanah ratusan hektar? Kita aja hanya punya tanah rumah ini saja, bahkan untuk sekadar menanam bunga pun susah!"
Sudah, N ak, ini bukan urusanmu, ini urusan orang dewasa dan pemerintah. "Ini urusan adek juga, Yah...sebab pasal asap inilah adek tidak bisa ke sekolah. Sudahlah, Nak tolong ambilkan gelas kopi ayah.
Mendengar celotehan anak saya itu, batin saya berkata, betul juga apa yang dikatakan anakku. Persoalan kabut asap yang melanda negeri ini bermuara dari ulah manusia yang rakus dan tidak bertanggung jawab. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai paru-paru kehidupan berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit yang luasnya lebih dari dua juta hektar, dan juga untuk fungsi-fungsi yang lain.
Benar apa yang dikatakan Tuhan dalam Alquran bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut karena ulah tangan manusia. Nabi pun sudah menjelaskan bahwa seandainya manusia diberikan satu gunung emas, dia akan minta satu gunung emas lagi. Begitulah rakusnya manusia bila memperturutkan hawa nafsunya. Memanglah manusia akhir zaman, rakusnya tidak ketulungan.
Tidak lama berselang, anak saya menyodorkan gelas kopi yang saya pesan, dan dia berkata, "Ini kopinya, Ayah. Tapi kata bunda agak sedikit bau asap."
Aduh, kopi pun dah masuk asap. Memanglah asap yang satu ini tidak siapapun yang merindukannnya. Semoga asap yang melanda negeri ini segera berlalu dan anak-anak negeri bisa beraktivitas sebagaimana biasanya, dan asap dapur tetap bisa mengepul di tengah harga sawit dan karet menurun.
Suhardi Behrouz tinggal di Riau
(mmu/mmu)