Itu pun disertasi Abdul Aziz menjadi perbincangan publik lantaran sebuah portal online yang memberitakan dengan judul yang sangat provokatif sehingga memancing banyak warganet untuk terlibat dan riuh-rendahnya kontroversi. Lalu, akibat animo publik yang begitu besar, maka disertasi Abdul Aziz menjadi isu panas dan viral. Apalagi, dalam dunia digital, viral merupakan salah satu mode of production yang mampu memprofilerasi sebuah keunikan atau sesuatu yang sarat kontroversi sehingga menembus semua ruang yang mengkasatkan antara yang privat dan publik.
Dampaknya, sebagian warganet yang intens berinteraksi dengan dunia maya larut dalam penilaian parsial dan salah kaprah: bahwa pemikiran Abdul Aziz yang sarat dengan kontroversi seakan-akan layak menjadi ceruk legitimasi untuk menfatwakan sebuah realitas seksual yang bisa dilakukan di luar institusi pernikahan. Bagi mereka yang tidak sependapat atau salah kaprah terhadap disertasi Abdul Aziz melampiaskan protes dan keberatannya dengan berbagai cara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan, yang lebih dahsyat lagi, sebagian warganet yang sudah terdisrupsi oleh stigma negatif tentang disertasi Abdul Aziz melakukan perlawanan dengan menghalalkan berbagai cara. Hoax, ujaran kebencian, persekusi, provokasi, dan aneka ragam bentuk dis-informasi digunakan sebagai sarana untuk mendiskreditkan Abdul Aziz dan siapapun yang mencoba membela pemikirannya. Dampaknya, ruang publik yang dicemari dengan jelaga informasi menjadi susah diurai pangkal kebenarannya.
Setiap orang saling bertarung dengan ketidaktahuan untuk mencari pembenaran terhadap sesuatu yang baru diketahui atau belum dipahami. Disertasi Abdul Aziz yang setebal 397 halaman direduksi sedemikian rupa dan "dimutilasi" menjadi beberapa bagian yang bisa distigmatisasi dan digulirkan sebagai bola salju kontroversi.
Redupnya Metakognisi
Dalam kaitan ini, layaknya pemikiran kontroversi yang lahir di dunia digital atau era penuh disrupsi dan terlanjur diamini serta disalahpahami oleh masyarakat luas, apalagi sebagian mereka tidak membaca isi dari karya yang dianggap kontroversi, maka lamat-lamat meredupkan metakognisinya. Dalam kasus Abdul Aziz, meskipun ada upaya penjelasan (tabayyun) di berbagai media maupun press conference yang dilakukan UIN Sunan kalijaga seolah tak memelekkan sebagian masyarakat yang telanjur terbius oleh stigma negatif tentang pemikiran kontroversi.
Justru, banyak pihak yang membuat wacana tanding untuk membalas pemikiran kontroversi dengan pikiran yang emosional dan pandangan yang nyinyir. Bahkan, beberapa pihak yang tidak mau berpikir dengan jernih membuat beragam tulisan kontradiksi dalam bentuk surat terbuka untuk mewakili perasaan seorang ibu rumah tangga, ada yang menghujat pemikiran Abdul Aziz sebagai disertasi sampah, bahkan ada pihak yang menggugat UIN Sunan Kalijaga selaku institusi yang meloloskan ujian doktoralnya Abdu Aziz.
Menjadi benar apa yang pernah diuraikan Tom Nichol dalam bukunya yang berjudul The Dead of Expertice bahwa di dunia digital atau era penuh disrupsi ini setiap orang mulai kehilangan metakognisinya. Setiap warganet sudah mulai alpa bagaimana menggunakan kognisinya sebagai cara berpikir yang sehat. Yang menguat adalah nuansa emosional ketika berhadapan dengan sebuah peristiwa atau pemikiran yang dianggap kontroversial. Bahkan, dengan menggunakan pengetahuan seadanya dan mengandalkan informasi secara parsial, setiap orang sudah berani memberikan paparan dan penjelasan terhadap sesuatu yang di luar kapasitasnya.
Merujuk pada kategorisasi Imam Ghazali dalam menjelaskan empat tipologi manusia, salah satu di antara tipologi yang sangat naif adalah "rajulun/Insanun la yadri wa la yadri annahu la yadri" (orang yang tidak tahu dan tidak mau tahu kalau dirinya tidak tahu), ciri orang seperti ini sangat banyak bertebaran di dunia digital atau di era penuh disrupsi. Padahal dalam pandangan Imam Ghazali, ciri orang yang seperti ini adalah pihak yang sebenarnya hina karena selalu merasa tahu, merasa berilmu, merasanya dirinya hebat, namun sesungguhnya jiwanya kerdil, tidak jujur, dan tidak tahu apa-apa.
Ironisnya lagi, orang yang seperti ini bila diingatkan dan diberikan pandangan yang lebih objektif, jernih, dan diajak diskusi lebih mendalam tentang pemikiran yang dianggap kontroversi tidak mengindahkan dan lebih mempercayai asumsi dirinya atau asumsi pihak lain yang dianggap satu ide dan satu keyakinan dengan dirinya. Dampaknya, sebuah pemikiran kontroversi dinikmati sebagai jalan pintas untuk menghujat siapapun dengan labelitas yang tak etis dan manusiawi.
Di dunia digital atau era penuh disrupsi yang lebih mengedepankan mentalitas terancam (besiege mentality), tipologi manusia seperti yang digambarkan Imam Ghazali-sudah memapar banyak orang, mulai kalangan awam hingga yang dianggap terpelajar. Sebuah pemikiran kontroversi yang sebenarnya masih terbuka didiskusikan dan diberi masukan secara ilmiah diseret ke medan prasangka yang tak sehat. Konsekuensinya, orang-orang yang demikian mulai kehilangan metakognisinya dan hanya mau asyik dengan tulisan status maupun re-share pemikiran secara sepihak yang "menyesatkan".
Menyikapi Kontroversi
Namun demikian, seiring dengan meluapnya lalu lintas informasi dan di dunia digital setiap orang bisa menjadi "reporter", apakah tidak berhak memberikan pandangan terhadap pemikiran kontroversi?
Tentu setiap orang mempunyai hak asasi dalam mengekspresikan ketidaksepakatannya terhadap pemikiran kontroversi dan secara sepihak dianggap melampaui norma publik atau konstruksi doktrinal yang sudah mendarah daging dalam struktur berpikir kita. Tetapi, bukan berarti kita menghalalkan berbagai cara untuk melampiaskan ketidaksepakatan kita dengan pola-pola yang tidak bertanggung jawab dan merendahkan.
Kalau pun kita tidak bisa membuat tulisan serius yang sepadan berupa buku --sebagaimana yang mentradisi di kalangan ulama dahulu yang bila tidak setuju dengan pandangan seseorang lalu membalasnya dengan tulisan buku yang berbeda sebagai bagian dinamika counter discourse-- setidaknya kita membuat tulisan esai dalam menanggapi pemikiran kontroversi dengan kritis, objektif, dan konstruktif.
Atau, kalau kita hanya bisa membuat tulisan status di Facebook, Twitter, Instagram, dan kanal digital lainnya, terlebih dahulu kita memberikan apresiasi secara singkat lalu menyampaikan kritik yang bisa bermanfaat. Bila kita tidak bisa membuat tulisan dalam bentuk apapun untuk menanggapi pemikiran yang kontroversi, seharusnya kita tidak terlibat dalam tabiat re-share yang seringkali menjebak dan semakin memperlebar kubang nista yang mematikan akal sehat kita.
Kita perlu melakoni sebuah riwayat tentang "diam adalah pilihan yang paling bijak" (ash shumtu hikmatun) di dunia digital atau era penuh disrupsi, di mana ada pihak lain yang sangat leluasa mengkapitalisasi pemikiran kontroversi untuk menebar permusuhan di antara kita sendiri.
Fathorrahman Ghufron Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini