Usianya baru menginjak 19 tahun. Dia memasuki arena Arthur Ashe, stadion tenis terbesar, dengan menggunakan headphone menutupi kedua kupingnya. Kepalanya mengangguk-angguk, badannya sedikit menari. Terlihat bukan seperti final Grand Slam pertama untuk dirinya, bocah peranakan imigran yang bahkan tahun sebelumnya tidak mencapai babak utama. Bianca Andreescu, dia sangat percaya diri.
Setelah remaja Jepang, Naomi Osaka melakukannya setahun lalu, bocah Kanada itu merealisasikan mimpinya tahun ini di turnamen tenis Amerika Terbuka, menghancurkan tembok yang sama, ratu tenis pemegang 23 gelar Grand Slam, Serena Williams. Bedanya, tidak ada konflik seperti tahun lalu, saat Serena melabrak wasit Carlos Ramos dan sedikit merusak pesta podium Grand Slam pemain Asia pertama.
"Aku suka Bianca," kata Williams sesaat setelah pertandingan. "Aku pikir dia gadis yang hebat. Tapi aku juga berpikir ini adalah pertandingan terburuk yang pernah kumainkan." Pujian sekaligus kesaksian bahwa dia belum menyerah mengejar rekor gelar milik Margaret Court.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teknik Visualisasi
Selalu ada cerita di balik sang juara. Begitu juga Bianca, ia tidak lahir begitu saja untuk jadi pemenang Grand Slam. Dia mengakui bahwa ada hal khusus yang membantunya meraih podium di Amerika Terbuka. Meditasi dan visualisasi. Sejak bertahun-tahun lamanya, dia, dibantu ibunya menjaga konsentrasi dengan meditasi dan visualisasi. "Untuk menjadi kenyataan itu sangat gila," katanya sambil menangis dalam konferensi pers pasca-pertandingan. "Saya kira visualisasi ini sungguh sangat berhasil."
Psikologi olahraga menyebut teknik visualisasi sangat baik untuk membantu atlet meningkatkan akurasi persiapan psikologisnya. Alexander Bain (1818-1903) merupakan ilmuwan pertama yang mengenalkan konsep tentang bagaimana otak membangun pola untuk mengarahkan dan mengendalikan gerakan fisik berulang. Teknik yang juga dikenal dengan sebutan mental imagery tersebut biasa digunakan terutama sebagai alat pelatihan untuk meningkatkan kualitas gerakan atletik, meningkatkan kekuatan konsentrasi, dan juga mengurangi tekanan kompetisi pada atlet sambil membangun kepercayaan diri atletik.
Kisah Bianca memberikan hadiah kepada dirinya sendiri setelah kemenangannya di Orange Bowl pada 2015 menaikkan kembali teknik visualisasi pada khalayak. Hadiahnya berupa replika cek seperti hadiah kejuaraan Grand Slam. Setiap tahun dia akan memperbaharui cek sesuai kenaikan hadiah kejuaraan aslinya, untuk menyegarkan motivasinya. Selain itu, Bianca juga sering terlihat menutup mata saat break, mencoba mencetak biru gerakan yang akan dilakukannya setelah jeda dengan membentuk citra dalam pikirannya. Dan dia berhasil. Bukan hanya menjuarai turnamen Amerika Terbuka, tapi juga memecahkan rekor dengan hanya membutuhkan empat kejuaraan untuk meraih juara.
Bianca bukanlah atlet pertama dalam tenis yang berhasil menggunakan visualisasi. Sebelumnya, Novak Jokovic dan Andy Murray juga mengakui efektivitas teknik tersebut. Banyak atlet lain di cabang olahraga lainnya juga menikmati hasil latihan psikologis ini.
Hasil "Eksploitasi"
Publik Kanada sedang bersuka cita menyambut Bianca. Setelah Toronto Raptors meraih kejayaan basket pertama di NBA, sekarang giliran Bianca mengharumkan negeri tersebut. Jika negeri yang dipimpin Justin Trudeau itu meramaikan jagad Twitter dengan tagar "SheTheNorth" (plesetan dari julukan Raptors, We The North), kita bangsa Indonesia sedang berada pada arah sebaliknya. Menyaksikan dengan mata kepala bahwa satu-satunya harapan emas Olimpiade, bulutangkis, sedang dikebiri oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Lembaga Yayasan Lentera Anak. Alasannya sangat mulia, menyelamatkan anak dari eksploitasi.
Masyarakat Kanada sedang berpesta lewat tagar, dan kita hanya bisa menggunakan tagar untuk menyumpahi keadaan: "BubarkanKPAI", "BubarkanLenteraAnak".
Sama seperti atlet profesional lainnya, Bianca memulai latihan intensif sejak usia sangat muda, 7 tahun. Bianca kecil terus "dieksploitasi" mengayunkan raketnya, padahal seharusnya dia ceria di bangku sekolah. Memang, kita tidak akan menemukan bukti bahwa gadis peranakan Rumania itu didanai oleh perusahaan rokok. Bahkan, orangtuanya, Nicu dan Maria, sanggup merogoh kocek untuk membiayai putri tercinta di Ontario Racquet Club (ORC), salah satu klub olahraga terbesar di Kanada.
Berdiri sejak tahun 1975, ORC memiliki fasilitas mewah untuk pembibitan atlet. Coba tengok website ORC, dan bayangkan berapa biaya yang harus dibayar jika anak-anak kita mengasah bakatnya di sana.
Kebanyakan dari keluarga Indonesia memang tidak seberuntung Nicu dan Maria. Mampu melihat potensi anak dan memberikan fasilitas terbaik untuk mereka. Mufid, salah satu saudara saya, bahkan hanya selesai pada jagoan bulutangkis kejuaraan desa, karena sulitnya mendapatkan akses menuju kejuaraan profesional. Sejak kecil dia sering membelalakkan mata penonton kejuaraan desa, karena mampu mengalahkan banyak pemain yang jauh lebih senior.
Mungkin masih banyak Mufid-Mufid lainnya di berbagai desa. Tapi apalah daya orang desa, Mufid dan banyak talenta lainnya tidak mendapatkan akses fasilitas, pelatih, apalagi kurikulum. Bakatnya tidak pernah menemukan tempat yang semestinya untuk berkembang.
Persatuan Bulutangkis (PB) Djarum sepertinya mencium hal tersebut. Sejak beberapa tahun lalu mereka mulai menyasar ke berbagai kota untuk menjaring bakat. Mungkin mereka beranggapan semakin luas jaring, maka akan semakin banyak talenta ditemukan. Sayangnya, Djarum bukanlah jarum. Dia tidak memiliki benang sebagai pasangan setianya untuk menyulam sesuatu yang indah. Dia hanya memiliki satu citra: rokok. Apapun, rokok membunuhmu! Beruntung bagi KPAI dan Yayasan Lentera Anak. Mereka menemukan formula untuk menjauhkan anak-anak kita dari jahatnya sang pembunuh. Senjata itu bernama PP No. 109 Tahun 2012 yang lahir dari UU Kesehatan No. 39 Tahun 2009.
Sekarang, bocah Kanada itu mungkin terus membangun visualisasi pertandingan-pertandingan final Grand Slam selanjutnya. Sedangkan kita, apa yang anak-anak kita visualisasikan?