Fakta itu saya sadari saat saya manggut-manggut menyimak Aim, sahabat saya, yang sedang menggambarkan sekilas penampilan hantu di gedung tua itu. Aim tampil sempurna tanpa cela sebagai rezim kebenaran di hadapan saya, sedangkan saya pasrah mengobjekkan diri sebagai audiens penerima informasi, tanpa syarat apa pun juga.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti biasa, kami terlambat. Di detik saat kami tiba di lokasi, muncul keganjilan. Anak saya yang belum genap berumur dua tahun itu mendadak balik kanan, berlari sebisanya dengan kaki-kaki mungil yang masih rapuh, menjauhi lorong yang akan kami masuki.
Mulanya kami mengira dia melihat orang lain di sana. Anak kami itu memang pemalu, dan selalu menghindar tiap kali berjumpa orang yang belum dia kenal. Masalahnya, di lorong itu tidak tampak ada siapa-siapa. Dari bangsa manusia, maksud saya.
Kami pun masuk ke ruang acara. Tentu setelah menggendong anak saya dulu, yang terus tampak cemas itu. Nah, di ruangan sudah ada banyak orang. Salah satunya ya Si Aim.
Ketika saya mendekati Aim untuk menanyakan perihal lorong gelap tadi, tentu saya tidak sedang menguji kualifikasinya sebagai doktor baru yang fresh from the oven produk Melbourne. Itu semata karena saya tahu dia pemuda NU, dan secara statistik mayoritas warga nahdiyin tak terlalu berjarak dengan entitas-entitas gaib.
Lho, jangan tertawa. Memang begitu, kan? Beda jauh dengan kawan-kawan saya warga Muhammadiyah, yang sejak kecil sudah diberi pagar tebal terkait takhayul, lantas dengan semena-mena mereka memandang jagat perhantuan sebagai semata-mata takhayul.
Ah, lupakan dulu tentang NU dan Muhammadiyah. Kita kembali ke Aim.
"Iya, memang, ada tuh di sudut," kata Aim tenang, sambil sedikit mengangkat dagunya untuk menunjuk satu posisi di pojok lorong.
Saya tertegun. Menatap sisi gelap itu. Memicing-micingkan mata, meski tak kunjung melihat apa-apa.
"Oh, di situ ya, Im? Di ujung situ? Hmmm...."
Entah kenapa, saya spontan membayangkan ada sosok tinggi besar di sana. Hitam, berambut gimbal, dengan wajah yang kurang ramah. Berbekal imajinasi sekejap seperti itu, mendadak segalanya jadi masuk akal: anak saya melangkah masuk, mendongak, memandang raut kusam dari makhluk setengah raksasa itu, dan keruan saja dia balik kanan bubar jalan.
Masalahnya, apa yang saya bayangkan itu ya tak lebih dari bayangan. Informasi sekilas dari Aim dengan serta merta saya terjemahkan secara konkret, visual, dan penuh improvisasi. Tapi, bagaimana dengan mekanisme verifikasinya?
Tidak ada. Memang tidak ada verifikasi-verifikasian. Hubungan antara saya dan Aim dalam soal ini murni taklid buta. Meski demikian, saya percaya saja. Ada dua alasannya. Pertama, sudah saya bilang tadi, dia NU. Kedua, dia sahabat baik saya, yang tidak mungkin sengaja mengibuli saya.
Apakah hantu di lorong itu ada? Ada, dalam pengalaman Aim. Apakah hantu di lorong itu ada? Tidak ada, dalam pengalaman saya.
Kami mengalami dua hal yang berbeda. Tidak ada wasit, tidak ada pendapat penengah yang bisa memutuskan pengalaman siapa yang benar. Namun, karena ada unsur lain dalam peristiwa itu, yakni lari terbiritnya anak saya, saya sendiri pun pasrah di-hegemoni oleh Aim. Dan yang lebih penting, saya puas karena telah menemukan jawaban atas keheranan saya terkait peristiwa larinya anak saya.
***
Kalau boleh membandingkan, hubungan saya dan Aim ibarat pasien dan dokter zaman dulu, pada masa ketika hak-hak pasien belum cukup ditegakkan. Ketika dokter memberikan resep ini-itu, pasien pasrah bongkokan saja. Tidak ada pertanyaan, tidak ada penjelasan, bahkan relasi itu tidak melibatkan unsur keingintahuan.
Satu-satunya bekal kepasrahan seorang pasien kepada dokternya adalah kompetensi formal. Dia dokter, jadi dia pasti paham, dia pasti berniat membantu pasien agar lekas sembuh, dan obat yang diresepkan sudah pasti obat terbaik dan termurah yang diketahui si dokter.
Adapun jika diam-diam si dokter cuma mencampur aduk antibiotik dalam resepnya, atau memberikan resep obat paten termahal, itu lain soal. Yang jelas pasien seutuhnya percaya, tanpa mekanisme cek dan ricek, karena memang waktu itu kita belum bisa googling untuk memeriksa nama obat berikut fungsi-fungsinya. Tapi, hasilnya tetap saja pasien bergembira karena sudah dibantu oleh si dokter yang baik hatinya.
Maka, di masa-masa itu, berlangsunglah apa yang disebut dengan "kolonialisme medis", kalau dalam istilah Dokter Jack Rubiyoso yang pernah saya jumpai di Malang.
Proses kolonialisme itu juga yang terjadi dalam cerita-cerita hantu. Masih mending dalam kasus bersama Aim tidak muncul "resep". Dalam peristiwa lain, saya dengan mantap menjalankan resep itu.
***
Ceritanya, saya punya saung di belakang rumah. Tempat itu jadi smoking area saya, dan anak-anak saya larang mendekat tiap kali saya sedang bertapa. Kadang saya juga menulis sampai larut malam di sana, bahkan tak jarang sampai subuh tiba.
Hingga suatu hari, seorang "dokter hantu" datang berkunjung. Yu Cenil, namanya.
"Dik Iqbal, itu di atas itu ada lho. Perempuan. Kadang main di bawah, tapi lebih sering bergelantungan." Begitu kata Yu Cenil sambil menunjuk sebelah barat-atas mepet saung, dekat pohon jati.
Entah kenapa, dengan mudahnya saya memunculkan visualisasi mbak-mbak yang berayun-ayun dengan riang. Wajahnya abu-abu, dengan kostum yang juga abu-abu.
Setelah itu, saya selalu memilih masuk ke rumah tiap kali tengah malam tiba, dan melanjutkan menulis di kamar saya. Saya sudah menyiapkan alasan kalau ditanya istri: saya tak mau berdua-duaan dengan perempuan lain di tengah malam, takut menimbulkan fitnah.
Padahal, apa yang saya lihat di samping saung? Tidak ada apa-apa. Cuma pohon jati yang daunnya bergoyang-goyang.
Apakah Yu Cenil bohong? Saya yakin tidak. Dia bukan tipe begituan. Maka, saya percaya saja, sekali lagi tanpa proses verifikasi apa-apa.
Yang kemudian datang beberapa waktu setelah itu pun bukan verifikasi, melainkan second opinion dari kawan saya yang lain. Pak Kukuh, namanya. Dia seorang pakar hukum cyber.
"Iya, memang bener ada di situ, Bal. Tapi dia di lapis ruang yang beda dengan kita. Jadi lebih jauh ketimbang yang biasanya. Nggak usah khawatir," kata Pak Kukuh.
Saya manggut-manggut takzim. Soal konsep "lapis ruang yang beda" dan "lebih jauh ketimbang yang biasanya", saya coba mengira-ngira saja maknanya. Yang jelas saya percaya. Pak Kukuh bukan pembual, apalagi dia sering jadi saksi ahli yang disumpah di bawah kitab suci.
Rasa percaya itu saya manifestasikan ketika menjalankan resep konkret dari Pak Kukuh, yaitu menyalakan lampu di pepohonan jati di samping saung.
"Tapi lampunya jangan nyorot ke atas ya, Bal. Itu namanya nantang," Pak Kukuh mewanti-wanti. Sungguh mirip seorang dokter yang berpesan agar obat diminum dua jam sehabis makan, dua kali sehari.
***
Apakah saya menyesali semua rasa percaya saya kepada Aim, Yu Cenil, dan Pak Kukuh? Tidak sama sekali. Saya bergembira, merasa mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan saya, bahkan saya menikmatinya.
Kadang ada juga sekian persen rasa tidak percaya, karena toh saya tidak sungguh-sungguh bisa membuktikan segala kesaksian mereka. Tapi ruang antara, yang remang-remang, yang terus menimbulkan tanda tanya, semua itulah yang justru menyenangkan. Lebih jauh lagi, ruang misteri itu membuat saya ikhlas dijadikan "koloni" para rezim kebenaran perhantuan yang telah saya sebutkan nama-namanya tadi.
Dan bukan cuma saya. Anda juga. Hasilnya, kisah semacam "KKN di Desa Penari" meledak hebat. Orang heboh membicarakan cerita hantu dengan misteri berlapis-lapis. Misteri lapis pertama adalah realitas hantu-hantu itu sendiri, misteri lapis berikutnya adalah nama-nama kota dan desa yang disebut dengan inisial-inisial sehingga meninggalkan setumpuk pertanyaan.
Misteri yang berlapis-lapis itulah yang membuat kita mustahil melakukan verifikasi, pasrah dengan sabda-sabda Simpleman sang penulis cerita, dan justru di situlah kita merasa gembira.
Maka, ketika muncul netizen penguasa Kota B bernama Cak Eko Bambang yang menguliti habis-habisan setiap lapis cerita Bima dan Ayu, kemudian membongkar segenap kejanggalannya, sungguh dialah perusak sejati kegembiraan rakyat jelata. Kita menggemari misteri, kita ingin yang misteri tetap menjadi misteri, sebab kita merasa nyaman mengeram dalam imajinasi yang biasanya kita ciptakan sendiri.
Sialnya, kalimat terakhir itu seringkali kita terapkan bukan cuma di urusan hantu-hantuan.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini