Bak hantu di film horor, rencana revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK muncul tiba-tiba dan bikin kaget. Tak ada di Prolegnas 2019, namun di ujung masa jabatan anggota DPR tiba-tiba membahas rencana revisi UU KPK untuk maju sebagai RUU inisiatif DPR. Terlihat janggal memang.
Rencana DPR untuk merevisi UU KPK itu kemudian disepakati oleh semua fraksi dalam rapat paripurna Kamis, 5 September yang cuma dihadiri 70 anggota alias jauh dari setengahnya total anggota DPR yang berjumlah 560 orang.
Draft rencana revisi UU KPK itu kemudian beredar. Isinya? Kebanyakan pasal membuat KPK melemah. Pasal-pasal ini menunjukkan "niat jahat" agar lembaga antirasuah itu dipersempit ruang geraknya. Mari kita bahas satu demi satu.
Dalam draft revisi UU KPK Pasal 3, KPK disebut sebagai lembaga pemerintah pusat. Bunyinya: Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen.
Padahal dalam UU KPK saat ini, KPK disebut sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Bunyinya: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Jika revisi jadi disahkan nantinya, KPK bakal berada di bawah pengaruh pemerintah pusat. Bahayakah? Tentu saja. KPK harus mengikuti maunya pemerintah pusat. Kalau pimpinan tertinggi pemerintah pusat tak mau korupsi diberantas dengan cara menangkap koruptor, maka bisa jadi KPK hanya melakukan sosialisasi antikorupsi ke sekolah-sekolah atau kantor-kantor dengan alasan pencegahan. Hal itu juga terlihat dalam draf revisi UU KPK tentang tugas pencegahan KPK yang diatur dalam Pasal 7 (e): Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat.
Masalah berikutnya adalah soal keberadaan Dewan Pengawas. Dalam konsep demokrasi, memang benar ada istilah checks and balances, namun jika istilah itu digunakan sebagai dasar melakukan pengawasan terhadap KPK, maka itu merupakan alasan atau kerangka berpikir yang aneh. Kenapa?
Coba lihat lagi soal KPK sebagai lembaga pemerintah pusat. Nah, katakanlah revisi UU KPK ini sah, maka KPK merupakan bagian dari eksekutif. Artinya sudah ada legislatif yang punya fungsi mengawasi KPK sebagai bagian dari eksekutif. Keberadaan Dewan Pengawas ini menunjukkan kerangka berpikir para pembuat undang-undang kita kacau. Apalagi orang-orang yang menjadi Dewan Pengawas KPK juga dipilih DPR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bisa jadi Dewan Pengawas itu nantinya bertugas untuk "membatalkan" penyadapan ke para pemilihnya, yakni Anggota DPR itu sendiri. Keharusan izin Dewan Pengawas untuk menyadap juga mempersulit kerja penyidik KPK. Izin untuk menyadap juga berpotensi membuat rencana penyadapan bocor hingga gagalnya sebuah operasi. Dewan Pengawas ini juga punya wewenang luar biasa seperti yang diatur dalam pasal 37 B. Tak sekadar soal penyadapan, penggeledahan dan penyitaan juga harus seizin Dewan Pengawas.
KPK dalam draft revisi UU ini juga diberi kewenangan menghentikan penyidikan atau mengeluarkan SP3 jika penyidikan dan penuntutan suatu kasus tak tuntas dalam waktu 1 tahun. Hal ini seolah tidak memikirkan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa yang membutuhkan upaya luar biasa untuk mengungkapnya. Saya pernah dengar cerita soal sulitnya KPK mendapat bukti dari suatu kasus korupsi. Seperti kasus e-KTP misalnya, yang aliran duitnya beredar entah dari mana ke mana dan disimpan entah di mana oleh siapa. Belum lagi kasus dengan dugaan kerugian negara luar biasa yang butuh audit BPK. Audit ini juga memerlukan waktu panjang.
Ada lagi kasus dugaan pencucian uang hasil korupsi yang sulit dilacak seluruh aset yang sudah disamarkan oleh si pelaku. Atau kasus yang harus mengumpulkan bukti hingga lintas negara seperti kasusnya Emirsyah Satar ataupun RJ Lino. Waktu 1 tahun rasanya sangat singkat mengingat terbatasnya jumlah pegawai KPK, sifat rahasia suatu proses penyidikan, hingga ribetnya konstruksi perkara. Wewenang mengeluarkan SP3 ini juta berpotensi membuat KPK sebagai alat politik. Asal-asalan menetapkan lawan politik penguasa, lalu jika sudah patuh dan memberi dukungan ke penguasa status tersangkanya digugurkan.
Masih banyak lagi pasal-pasal yang membuat KPK melemah. Seperti pembatasan soal rekrutmen penyelidik dan penyidik yang harus dari institusi tertentu, pembatasan kewenangan soal LHKPN, hingga KPK harus berkoordinasi dengan Kejagung soal penuntutan seorang yang diproses di KPK.
Meski demikian, draft revisi UU KPK ini juga ada sisi positifnya. Salah satunya tentang pelelangan hasil penyitaan dari penggeledahan di tahap penyidikan. Hal ini memang kerap disinggung KPK karena besarnya biaya penyimpangan barang sitaan kalau harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap baru bisa dilelang.
Menolak dan Mendukung
Selain kejanggalan tentang banyaknya pasal yang berpotensi melemahkan KPK, aksi-aksi yang menolak dan mendukung revisi UU KPK juga janggal. Aksi penolakan misalnya, datangnya banyak dari yang itu-itu saja. Saya bisa memahami isu revisi UU KPK ini berat. Tak semua orang paham. Namun rasanya mahasiswa masih bisa memahaminya.
Harusnya orang-orang yang sering aksi bela KPK atau tolak revisi UU KPK ini, sebut saja para aktivis di ICW dan koalisi sipil antikorupsi hingga pegawai KPK yang tergabung di Wadah Pegawai KPK, memberi pemahaman ke mahasiswa atau elemen publik lainnya lewat turun langsung dan membentuk grup diskusi untuk manajemen aksi yang terstruktur, sistematis dan masif. Tujuannya agar mahasiswa dan elemen publik di luar mereka-mereka yang sering berkomunikasi dengan internal KPK turut paham tentang apa yang terjadi dan mau ikut beraksi menolak atau bahkan mungkin malah mendukung revisi.
Namun, hal-hal seperti itu tak terlihat dilakukan oleh mereka. Elemen-elemen yang kerap turun aksi menolak revisi UU KPK ya tetap itu-itu saja. Hal ini juga menimbulkan kejanggalan. Aksi yang dilakukan juga terkesan berlebihan, misalnya menyebut 'KPK harus mati' hingga menutup logo KPK dengan kain hitam padahal itu adalah simbol dari lembaga negara. Mereka kurang memberi penyadaran secara langsung kepada masyarakat. Orang-orang yang turun aksi ini sama seperti kebanyakan orang yang mengandalkan media sosial, yang isinya tak jelas keberadaannya di dunia nyata.
Aksi yang dilakukan oleh orang yang itu-itu saja juga dengan mudah di-counter oleh pihak yang berkepentingan. Misalnya, WP dianggap sebagai alat politik oknum pegawai KPK, ICW dianggap didanai oleh KPK, atau bahkan bisa ada narasi balasan seperti oknum yang menolak itu takut kehilangan pekerjaan jika revisi UU KPK jadi dilaksanakan. Hal-hal begini harusnya dipikirkan. Bayangkan jika yang melakukan aksi bergantian dan tidak terpusat di Jakarta saja, mungkin tekanannya bisa lebih kuat.
Sekarang, publik masih menunggu sikap Presiden Jokowi soal rencana revisi ini, apakah menyetujui atau menolak. Jika Presiden menyetujui, maka kejanggalannya semakin besar. Apakah ini untuk melindungi orang tertentu atau bagaimana? Rasa-rasanya Presiden Jokowi tak perlu takut untuk menyampaikan sikapnya menolak revisi UU KPK karena dia tak mungkin juga maju lagi jadi Capres 2024. Namun, kalau Presiden Jokowi mendukung, biarlah sejarah mencatat.Huda Albima masyarakat antikorupsi dan alumni USU
ICW Nilai DPR Punya Kepentingan di Balik Upaya Dugaan Pelemahan KPK:
(mmu/mmu)