Melemahkan KPK, Menyuburkan Gerakan Islam Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Melemahkan KPK, Menyuburkan Gerakan Islam Politik

Senin, 09 Sep 2019 11:54 WIB
Ang Rijal Amin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Belakangan ini, KPK mendapat dua pukulan hebat yang dilancarkan berturut-turut. Pertama, dari sepuluh nama yang diserahkan pada Presiden Jokowi untuk menjadi calon pimpinan KPK masih terdapat nama-nama bermasalah yang akan mengganjal upaya pemberantasan korupsi. Jokowi tampaknya kurang peka terhadap suara yang berasal dari masyarakat yang meminta agar tidak meloloskan nama-nama bermasalah. Sepuluh nama tersebut telah dikirimkan oleh Jokowi ke DPR tanpa perubahan satu pun.

Kedua, yang tak kalah menyedihkan yaitu revisi UU KPK yang terkesan melemahkan KPK. Draft RUU KPK yang telah dikirimkan pada presiden tersebut agaknya lebih mirip siluman yang beraktivitas dalam senyap tanpa sepengetahuan publik. Seolah tiba-tiba muncul setelah RUU tersebut disetujui di DPR lalu dikirimkan ke Presiden. Bahkan, Baleg DPR dengan enteng mengatakan bahwa RUU tersebut akan selesai pada akhir September.

Penyelesaian secara "kebut-kebutan" ini bukan tanpa alasan, patut dicurigai hal demikian berkaitan dengan masa sidang DPR yang akan berakhir pada akhir September. Sementara itu, RUU yang dicanangkan pada masa jabatan 2014-2019 tidak secara otomatis masuk ke dalam prolegnas DPR masa jabatan 2019-2024. Sehingga wajar apabila RUU tersebut harus diundangkan sebelum masa jabatan berakhir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, perlu diketahui bahwa setelah dikirimkannya draft RUU ke Presiden, sebagaimana yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu dua bulan untuk mempelajari dan membahas di tingkat pemerintah. Langkah selanjutnya yakni Presiden akan mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) sebagai gong untuk memulai pembahasan revisi UU KPK. Apabila Surpres tidak dikeluarkan, maka berakhirlah mimpi DPR untuk merevisi UU tersebut.

Selain itu, masih ada empat tahapan lagi yang perlu dilakukan setelah Presiden mengeluarkan Surpres dan mengirimkan menterinya untuk membahas bersama di DPR, yakni pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan. Tentu tahapan demikian sangat memungkinkan bahwa RUU tersebut tidak akan selesai pada masa jabatan DPR yang akan segera berakhir, kecuali Presiden juga mengebut agar revisi UU KPK segera diundangkan.

Yang jelas, penjaga gawang saat ini adalah Presiden, dan kita akan menunggu langkah apa yang akan diambil Presiden. Kepekaan Presiden untuk mendengarkan aspirasi masyarakat sangat dibutuhkan. Selain itu, sejarah akan mencatat ketika seorang Presiden tak mampu menyelamatkan KPK.

Meskipun DPR beralasan bahwa RUU tersebut bukan untuk melemahkan KPK, namun terdapat beberapa poin yang jelas-jelas "memukul" KPK, seperti pengaturan mengenai posisi KPK yang tidak lagi independen melainkan termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif, penyadapan yang harus meminta izin pada Dewan Pengawas, dan sebagainya. Maka, menjadi wajar apabila KPK dianggap sedang berada di ujung tanduk.

Dampak Sosiologis

Banyaknya penolakan dari masyarakat mengenai revisi UU KPK menunjukkan ketiadaan tuntutan yuridis dan sosiologis dari munculnya draft revisi UU KPK. Selain itu, melemahnya fungsi KPK sebagai lembaga antirasuah bukannya tidak memiliki dampak secara sosiologis.

Busuknya aroma korupsi di Indonesia selama ini, yang diperparah dengan melemahnya KPK, akan berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat akan masa depan Indonesia yang bersih dari praktik korupsi. Fakta demikian melahirkan pula kekecewaan masyarakat yang menjadi pemicu ketertarikan untuk memilih alternatif lain menuju negara yang lebih baik.

Menurut Noorhaidi Hasan dalam bukunya Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori, salah satu kelemahan dalam membaca gerakan Islam politik (eksklusivisme, radikalisme, dan sebagainya) adalah kecenderungan memahaminya sebatas pada gejala eksklusivisme keagamaan. Padahal, gejala Islam politik terkait erat dengan masalah politik.

Gerakan Islam politik bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul karena dorongan keagamaan. Lebih dari itu, gerakan tersebut merupakan gerakan yang sistematis melalui tahap mobilisasi. Pola rekrutmen tidak hanya sekadar menghidangkan ayat suci, melainkan juga dengan mengorganisasi kekecewaan masyarakat seperti kekecewaan terhadap maraknya praktik korupsi, gagalnya mewujudkan pemerintahan yang bersih, dan sebagainya.

Artinya, kekecewaan dan ketidakpercayaan pada negara dalam mewujudkan negara yang bersih dari korupsi pada akhirnya bermetamorfosis menjadi suatu gerakan yang kerap disebut sebagai radikalisme, konservatisme, dan fundamentalisme agama. Upaya pelemahan KPK tentu menjadi momentum atau kesempatan politik untuk mengolah kekecewaan publik menuju suatu alternatif yang mengatasnamakan agama.

Dari catatan di atas jelas bahwa apa yang menimpa KPK belakangan ini bertolak belakang dengan visi anti korupsi dan Islam moderat yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, Jokowi perlu mengambil langkah tegas untuk menolak revisi UU KPK.

Ang Rijal Amin alumni Hukum Tata Negara dan Politik Islam UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads