"Mikrofon memang biasanya jinak kalau dipegang wanita cantik," itu kalimat yang dikatakan si pejabat yang notabene seorang pimpinan daerah di depan banyak orang.
Ia akan bicara soal bagaimana kota yang ia pimpin menangani ekstremisme. Lalu, beginilah kalimat pembuka materinya: "Doktor Azhari yang tukang bom itu sekarang sudah tidak ada ya. Dari dulu yang ada adalah tiga Azhari bersaudara. Semua bawa bom besar-besar di dadanya."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada waktu yang lain, Anda mungkin akan bertemu seorang laki-laki penguasa yang mengatakan bahwa setelah menikah, tubuh perempuan bukan milik dirinya sendiri.
Istilah otonomi tubuh atau otoritas tubuh memang suatu hal yang masih asing untuk jadi norma sosial masyarakat kita. Otonomi tubuh adalah hak siapa saja untuk mengetahui dampak yang baik dan buruk untuk tubuhnya sendiri. Misalnya saja, saat perempuan menstruasi, perempuan sendiri yang merasakan dampak di tubuhnya. Saat perempuan masih kesakitan pasca melahirkan, tubuh perempuan yang dapat menjawab jujur kapan ia merasa telah benar-benar sehat.
Dalam kondisi semacam itu, perempuan memiliki seharusnya memiliki hak-hak reproduktif. Tetapi, tentu saja telinga kita lebih akrab dengan istilah "tanggung jawab reproduktif" perempuan, dibanding hak-hak reproduktifnya.
O ya, laki-laki penguasa itu punya jawaban lanjutan. Ia bilang, rahim perempuan memang mengalami kesakitan pasca melahirkan. Tapi, suaminyalah yang mengongkosi biaya rumah sakitnya.
Aduh, tentu saja jawaban itu sulit dibantah. Namun, apakah mentang-mentang sudah menafkahi lalu perempuan harus siap "ngangkang" kapan saja? Apakah mentang-mentang sudah menafkahi, lalu perempuan menstruasi atau perempuan yang masih kesakitan pasca melahirkan tidak boleh menolak hasrat seksual suami?
Saya jadi paham bagaimana perjuangan aktivis perempuan dalam mengawal pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sejak tahun 2012. Bagaimana menjelaskan perspektif korban kepada seorang pejabat yang masih percaya diri untuk bercanda soal dada perempuan di depan forum ilmiah?
Keputusan soal RUU PKS harusnya sudah ada sebelum tanggal 25 September, akhir bulan ini. Tapi sampai jelang pekan kedua September, judul RUU belum diputuskan, tim sinkronisasi yang akan mengawal nasib RUU juga belum ditetapkan.
Awalnya, tantangan RUU PKS tampak mencakup perbedaan pandangan beberapa komunitas seputar diskursus perbedaan epistemologi terhadap kasus kekerasan seksual. Faktanya, tantangannya melampaui hal-hal yang bersifat definitif.
Tantangan yang sebetulnya adalah cara pandang patriarkal. Itu, sudah!
Ada banyak mulut mengaku tidak setuju perempuan dilecehkan, tidak setuju perempuan ditindas, tidak setuju perempuan mendapat tindakan kekerasan. Lalu, mereka pun bersepakat soal mekanisme hukum acara yang seharusnya berpihak kepada korban, mulai dari paradigma pencegahan, perlindungan hak korban dan saksi, pendampingan korban hingga pemulihan. Hukum acara semacam ini belum jadi semangat KUHP soal kejahatan kesusilaan, yang selama ini justru memberikan hak perlindungan kepada pelaku.
Akibatnya, korban yang menderita secara psikis dan mental selalu mengalami reviktimisasi akibat siaran berita seksis yang menggambarkan situasi korban sedang berjalan sendirian di gang sepi di malam hari. Publik tidak terdidik untuk fokus kepada kekerasan yang dijalankan oleh pelaku. Publik tergiring untuk menikmati narasi penuh teka-teki, hingga kemudian memaklumi sebuah tindak kekerasan seksual sebab korban pun punya partisipasi dalam menggoda pelaku.
Ada banyak lip service yang menyatakan prihatin dengan data korban kekerasan seksual yang meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir. Kasus Yuyun, perempuan berusia 10 tahun yang diperkosa beramai-ramai, dibunuh, lalu dimasukkan ke jurang di Bengkulu. Kasus Enno, seorang buruh usia 19 tahun yang diperkosa dengan menggunakan cangkul lalu meninggal oleh tiga pemuda. Kasus Baiq Nuril, perempuan yang dilecehkan lewat ponsel oleh seorang kepala sekolah yang justru balik mengkriminalisasi dirinya dengan tuduhan pencemaran nama baik pelaku.
Namun rupanya, ada banyak yang diam-diam ketakutan karena tidak yakin bahwa dirinya benar-benar anti kekerasan. Ada yang diam-diam memelihara kabar bohong, menggiring isu kemanusiaan kepada nuansa politis agar meraup suara sebanyak-banyaknya pada pemilihan umum. Ada juga yang melupakan semangat keberpihakan kepada korban, dan berpikir seolah proses mendukung atau menolak UU adalah gengsi politik identitas sebuah komunitas.
Waktu perjalanan untuk pembahasan RUU tinggal 10 hari lagi. Apa pun hasilnya, Forum Pengada Layanan yang mendampingi korban sudah meninggalkan cerita baik tentang pergerakan. Sebuah inisiatif untuk mengedukasi publik bahwa akar tindakan kekerasan seksual adalah sebuah dominasi dan sebuah kuasa yang memandang rendah kualitas kemanusiaan seseorang. Kuasa itu bersarang di mana saja, pada jabatan, pada akumulasi modal, dan label-label identitas sosial yang ternyata cukup kelimpungan menghadapi suara-suara perlawanan yang bersahutan.
Kalis Mardiasih penulis konten dan fasilitator Gusdurian National Networks of Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini