Sabtu, 31 Agustus 2019 Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK telah menyerahkan 10 nama calon pimpinan KPK hasil kerja Pansel yang diketuai Prof. Yenti Garnasih. Seminggu sebelumnya, muncul pendapat dan desakan-desakan yang meminta Presiden supaya memilih Capim KPK yang tidak cacat etika, bermoral, berintegritas, dan independen. Sejumlah nama yang ketika itu sudah disebut-sebut bakal lolos dan diserahkan kepada Presiden Jokowi dinilai cacat etika dan diragukan integritasnya.
Beberapa tokoh masyarakat, pegiat anti-korupsi dan akademisi seperti Buya Syafii Maarif, Anita Wahid (putri ketiga Presiden ke-4 Abdulrrahman Wahid), Syamsuddin Haris, Zainal Arifin Mochtar, Busyro Muqoddas, dan Bivitri Susanti mengeluarkan imbauan yang bernada "menekan" kepada Presiden untuk sungguh-sungguh memilih calon pimpinan KPK yang benar-benar bersih dan punya komitmen dalam memerangi korupsi.
Pansel calon pimpinan KPK bersikap mendua menghadapi kritik dan kecaman publik, khususnya para pegiat anti-korupsi. Di satu sisi mereka berucap, "Kami tampung semua masukan," namun di sisi lain pimpinan Pansel menyatakan keyakinannya bahwa semua prosedur sudah dilalui dengan benar. Artinya, calon-calon yang dipilih Pansel merupakan hasil kerja yang sudah sesuai prosedural. Artinya lagi, publik tidak usah meragukan kualitas dan independensi Capim KPK hasil saringan panjang dari Pansel. Semua tudingan dan kritik publik ditangkis dengan pernyataan klarifikasi. Sikap inilah yang melahirkan kritik dan kecaman lebih keras dari para tokoh masyarakat dan pegiat anti-korupsi.
Ketika menerima Pansel di Istana, Presiden Jokowi antara lain berucap tidak akan tergesa-gesa memutuskan 10 calon pemimpin KPK 2019-2023. "Yang paling penting menurut saya apa yang nanti saya sampaikan ke DPR itu betul-betul nama-nama yang memang layak untuk dipilih DPR." Secara implisit, Presiden menyatakan masih siap mendengar masukan-masukan dari publik. Tapi anehnya, setelah keluar dari ruang tamu Presiden, Yenti Ganarsih dengan tegas mengatakan, "Tidak ada istilah koreksi, sudah selesai karena kita memang kepanjangan tangan Presiden. Ini hasilnya!" Sebuah surat kabar nasional edisi 3 September 2019 pun menurunkan headline mencolok: Presiden Setuju 10 Nama. Kok setuju? Bukankah Jokowi sendiri mengatakan dengan gamblang bahwa tidak akan tergesa-gesa mengeluarkan keputusan?
Pernyataan Prof. Yenti mengandung nuansa fait-accompli sikap Jokowi. Jika Jokowi mengatakan tidak akan tergesa-gesa mengeluarkan putusan --berarti masih ada ruang koreksi berdasarkan masukan-masukan publik, Bu Yenti dengan tegas berkilah, "Tidak ada istilah koreksi." Karena mereka memang kepanjangan tangan Presiden, maka apa yang dipilih Pansel, menurut Bu Yenti, dengan sendiri pasti akan disetujui Presiden.
Saran kita, Presiden Jokowi harus ekstra hati-hati memilih calon pimpinan KPK periode 5 tahun ke depan, meski kita meragukan keseriusan Jokowi. Tampilnya sejumlah nama Capim KPK dikaitkan masuknya pasal-pasal tindak kejahatan korupsi dalam RUU KUHP serta peringanan hukuman bagi penjahat koruptor dalam RUU KUHP yang sebentar lagi bakal disahkan DPR memberikan indikasi kuat bahwa sikap pemerintah Jokowi jilid ke-2 terhadap kejahatan korupsi bakal melunak.
Para wakil rakyat di Senayan mayoritas memang sudah lama tidak suka pada KPK, karena sekian banyak rekan mereka di pusat maupun daerah sejauh ini sudah dijebloskan dalam penjara akibat tindak korupsi yang mereka lakukan. Wajar jika DPR bernafsu melemahkan posisi KPK melalui KUHP yang baru dan pelemahan KPK.
Jika pemerintah Jokowi ikut-ikutan menceburkan dirinya dalam "arus pelemahan KPK", maka Jokowi kelak akan menanggung risiko politik yang dahsyat. Jokowi akan dituding tidak lagi punya komitmen terhadap Nawa Cita, sebab Cita pertama menandaskan, "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mari kita tunggu sikap final Presiden Jokowi!
Prof. Tjipta Lesmana mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR