Proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melewati tahapan keempat, yakni tahapan seleksi profile assessment, uji integritas pribadi atau karakter pribadi terhadap calon pimpinan KPK. Dan saat ini telah menyisakan 20 (dua puluh) kandidat yang nantinya akan dipilih 10 (sepuluh) nama diserahkan pada Presiden untuk disampaikan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan DPR menentukan 5 (lima) pimpinan terpilih.
Dari serangkaian tahapan seleksi Capim KPK tersebut tentunya bukan tanpa menyisakan persoalan mengingat timbulnya penolakan dari berbagai kalangan (akademisi, NGO, dll) terhadap kandidat pimpinan KPK yang tersisa. Sehingga tak heran melahirkan gejala ketidakpercayaan publik atas proses seleksi yang sedang berlangsung saat ini. Penolakan terhadap kandidat yang tersisa saat ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal.
Pertama, disinyalir adanya dugaan kuat conflict of interest antara salah satu Pansel dengan salah satu kandidat yang berasal dari lembaga tertentu. Adanya conflict of interest demikian tentu telah bertentangan secara moral hingga berimplikasi terhadap objektivitas proses seleksi. Di samping itu pula yang menjadi kekhawatiran dan kecemasan publik adalah tatkala ada salah satu Pansel dekat dengan salah satu lembaga tertentu karena tidak menutup kemungkinan hadirnya agenda kepentingan yang terselubung sehingga nantinya akan berpengaruh pada efektivitas proses pemberantasan korupsi.
Jika itu benar yang terjadi, maka siapa yang patut bertanggung jawab atas kinerja Pansel dalam menjaring Capim KPK tentu jawabannya ada pada Presiden. Sebab Presiden yang mempunyai kewenangan untuk membentuk Pansel sebagaimana Keppres No 54/2019. Persoalan demikian telah menunjukkan bahwa Presiden kurang cermat dan kurang bijak dalam menentukan Panitia Seleksi Capim KPK yang terbebas dari konflik kepentingan.
Dari serangkaian tahapan seleksi Capim KPK tersebut tentunya bukan tanpa menyisakan persoalan mengingat timbulnya penolakan dari berbagai kalangan (akademisi, NGO, dll) terhadap kandidat pimpinan KPK yang tersisa. Sehingga tak heran melahirkan gejala ketidakpercayaan publik atas proses seleksi yang sedang berlangsung saat ini. Penolakan terhadap kandidat yang tersisa saat ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal.
Pertama, disinyalir adanya dugaan kuat conflict of interest antara salah satu Pansel dengan salah satu kandidat yang berasal dari lembaga tertentu. Adanya conflict of interest demikian tentu telah bertentangan secara moral hingga berimplikasi terhadap objektivitas proses seleksi. Di samping itu pula yang menjadi kekhawatiran dan kecemasan publik adalah tatkala ada salah satu Pansel dekat dengan salah satu lembaga tertentu karena tidak menutup kemungkinan hadirnya agenda kepentingan yang terselubung sehingga nantinya akan berpengaruh pada efektivitas proses pemberantasan korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, berdasarkan realitas yang ada dapat dikatakan bahwa proses seleksi Capim KPK yang sedang berlangsung tidak dilaksanakan secara transparan. Beberapa masukan dan rekomendasi terkait pelaksanaan seleksi tidak diindahkan oleh Pansel KP; salah satu tanggapan publik adalah "jangan meloloskan kandidat yang bermasalah". Padahal jika merujuk Pasal 31 UU No 30/2002 secara expressis verbis telah disebutkan bahwa proses pencalonan dan pemilihan anggota KPK dilakukan secara transparan.
Selain itu masyarakat mempunyai ruang untuk menyampaikan tanggapannya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (6), bahwa Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Dan Pasal 30 ayat (7): Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
Ketiga, Pansel dengan santainya meloloskan calon komisioner KPK yang tidak melampirkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) khususnya kandidat yang merupakan Penyelenggara Negara. Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih beranggapan bahwa para peserta calon komisioner KPK tidak mempunyai kewajiban untuk melampirkan LHKPN dalam proses seleksi. LHKPN baru wajib diserahkan atau dilaporkan setelah terpilih menjadi pimpinan KPK.
Pemahaman demikian tentunya misleading jika merujuk normanya sebagaimana Pasal 29 huruf k UU No 30/2002 secara eksplisit menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan yakni mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU No 28/1999 juga disebutkan secara eksplisit bahwa setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.
Berdasarkan logika yang jernih dengan mudahnya mematahkan argumentasi dari Ketua Pansel Capim KPK, masak iya Capim KPK yang akan memimpin Lembaga antirasuah untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya malah tidak transparan mengenai laporan harta kekayaannya? Syukur-syukur harta yang diperoleh adalah harta yang resmi terbebas dari unsur melawan hukumnya. Namun jika sebaliknya harta tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, apa kata dunia? Mustahil membersihkan halaman yang kotor dengan sapu yang kotor pula.
Persoalan lain yang menurut saya sedikit menggelitik dan membuat bertanya-tanya, apakah proses seleksi Capim KPK yang dilaksanakan saat ini sehingga menghasilkan kandidat yang bermasalah merupakan modus baru atau modus yang lazim digunakan dalam melemahkan KPK dengan cara menjaring kandidat yang tidak mempunyai kualitas dan tidak berintegritas? Wajar saja apabila saya suudzon (berprasangka buruk) terhadap proses seleksi yang sedang berlangsung merupakan modus terselubung dalam melemahkan KPK mengingat upaya untuk melemahkan KPK datang bertubi-tubi silih berganti, dari upaya merevisi UU KPK, mengkriminalisasi komisioner KPK, hingga puncaknya hak angket terhadap KPK. Ironisnya ada yang mengatakan bahwa upaya melemahkan KPK merupakan kegiatan corruptor fight back.
Secara eksplisit tidak disebutkan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk memilih atau menolak Capim KPK, karena dalam hal ini kewenangan untuk memilih Capim KPK ada pada DPR. Namun, menurut saya seyogianya Presiden berani dan cekatan dalam bersikap untuk menolak beberapa calon bermasalah yang diajukan oleh Tim Pansel. Paling tidak Presiden mau untuk duduk bersama mendengarkan kecemasan dan keluhan publik atas proses seleksi yang sedang berlangsung.
Presiden mempunyai kesempatan untuk menentukan sikap terhitung 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari Pansel sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (9) UU No 30/2002. Bahkan rekomendasi saya yang lebih ekstrem yaitu Presiden seyogianya berani membubarkan Pansel atau mengganti salah satu anggota Pansel yang disinyalir ada dugaan konflik kepentingan dengan salah satu Capim KPK, guna menghindarkan stigma yang buruk dari publik.
Karena Pansel yang terindikasi ada konflik kepentingan nantinya berpengaruh pada proses seleksi yang tidak akan berjalan objektif. Dengan kata lain proses seleksi akan diulang dari awal dengan Tim Pansel atau formasi yang baru. Hal demikian rasanya merupakan keniscayaan mengingat KPK merupakan lembaga yang mendapatkan tingkat kepercayaan dan optimisme paling besar dari publik.
Selain itu KPK merupakan salah satu anak kandung Reformasi sebagaimana tuntutan pendirian lembaga ini muncul akibat kegundahan publik akan lemahnya kinerja tiga penegak hukum di Indonesia yaitu Polisi, Jaksa, dan Hakim dalam menangani dan memberantas korupsi yang makin merajalela. Oleh sebab itu KPK wajib dipimpin seorang yang mempunyai kapasitas, profesionalitas, dan berintegritas --terbebas dari kontaminasi pengaruh mana pun termasuk intervensi politik.
Adam Setiawan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
(mmu/mmu)
Selain itu masyarakat mempunyai ruang untuk menyampaikan tanggapannya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (6), bahwa Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Dan Pasal 30 ayat (7): Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
Ketiga, Pansel dengan santainya meloloskan calon komisioner KPK yang tidak melampirkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) khususnya kandidat yang merupakan Penyelenggara Negara. Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih beranggapan bahwa para peserta calon komisioner KPK tidak mempunyai kewajiban untuk melampirkan LHKPN dalam proses seleksi. LHKPN baru wajib diserahkan atau dilaporkan setelah terpilih menjadi pimpinan KPK.
Pemahaman demikian tentunya misleading jika merujuk normanya sebagaimana Pasal 29 huruf k UU No 30/2002 secara eksplisit menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan yakni mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU No 28/1999 juga disebutkan secara eksplisit bahwa setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.
Berdasarkan logika yang jernih dengan mudahnya mematahkan argumentasi dari Ketua Pansel Capim KPK, masak iya Capim KPK yang akan memimpin Lembaga antirasuah untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya malah tidak transparan mengenai laporan harta kekayaannya? Syukur-syukur harta yang diperoleh adalah harta yang resmi terbebas dari unsur melawan hukumnya. Namun jika sebaliknya harta tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, apa kata dunia? Mustahil membersihkan halaman yang kotor dengan sapu yang kotor pula.
Persoalan lain yang menurut saya sedikit menggelitik dan membuat bertanya-tanya, apakah proses seleksi Capim KPK yang dilaksanakan saat ini sehingga menghasilkan kandidat yang bermasalah merupakan modus baru atau modus yang lazim digunakan dalam melemahkan KPK dengan cara menjaring kandidat yang tidak mempunyai kualitas dan tidak berintegritas? Wajar saja apabila saya suudzon (berprasangka buruk) terhadap proses seleksi yang sedang berlangsung merupakan modus terselubung dalam melemahkan KPK mengingat upaya untuk melemahkan KPK datang bertubi-tubi silih berganti, dari upaya merevisi UU KPK, mengkriminalisasi komisioner KPK, hingga puncaknya hak angket terhadap KPK. Ironisnya ada yang mengatakan bahwa upaya melemahkan KPK merupakan kegiatan corruptor fight back.
Secara eksplisit tidak disebutkan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk memilih atau menolak Capim KPK, karena dalam hal ini kewenangan untuk memilih Capim KPK ada pada DPR. Namun, menurut saya seyogianya Presiden berani dan cekatan dalam bersikap untuk menolak beberapa calon bermasalah yang diajukan oleh Tim Pansel. Paling tidak Presiden mau untuk duduk bersama mendengarkan kecemasan dan keluhan publik atas proses seleksi yang sedang berlangsung.
Presiden mempunyai kesempatan untuk menentukan sikap terhitung 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari Pansel sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (9) UU No 30/2002. Bahkan rekomendasi saya yang lebih ekstrem yaitu Presiden seyogianya berani membubarkan Pansel atau mengganti salah satu anggota Pansel yang disinyalir ada dugaan konflik kepentingan dengan salah satu Capim KPK, guna menghindarkan stigma yang buruk dari publik.
Karena Pansel yang terindikasi ada konflik kepentingan nantinya berpengaruh pada proses seleksi yang tidak akan berjalan objektif. Dengan kata lain proses seleksi akan diulang dari awal dengan Tim Pansel atau formasi yang baru. Hal demikian rasanya merupakan keniscayaan mengingat KPK merupakan lembaga yang mendapatkan tingkat kepercayaan dan optimisme paling besar dari publik.
Selain itu KPK merupakan salah satu anak kandung Reformasi sebagaimana tuntutan pendirian lembaga ini muncul akibat kegundahan publik akan lemahnya kinerja tiga penegak hukum di Indonesia yaitu Polisi, Jaksa, dan Hakim dalam menangani dan memberantas korupsi yang makin merajalela. Oleh sebab itu KPK wajib dipimpin seorang yang mempunyai kapasitas, profesionalitas, dan berintegritas --terbebas dari kontaminasi pengaruh mana pun termasuk intervensi politik.
Adam Setiawan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini