Kawasan Blok M, Jakarta Selatan akrab disambangi para pencari buku-buku langka maupun bekas. Berbagai lapak buku dibuka berbarengan dengan toko-toko obat, makanan, dan juga pakaian. Di tengah hiruk-piruk para penjual dan pembeli itu, terdengar alunan musik yang menenangkan. Musik itu berasal dari lapak toko kaset musik yang menyempil di antara puluhan kios buku.
"You will remember, when this is blown over, and everything's all by the way."
Nyanyian sepenggal lirik lagu Love of My Life dari Queen menarik perhatian saya untuk berhenti di salah satu toko kaset. Lirik itu terdengar familiar di telinga karena ayah sering mendengar lagu itu. Berada di sekitaran toko-toko buku, alunan musik ini seakan memang disuguhkan bagi para pemburu buku layaknya di toko buku besar. Ratusan kaset dan CD berjejer dalam rak-rak dengan rapi. Puluhan piringan hitam ditempatkan pada sebuah rak yang berada tepat di depan toko. Musik-musik khususnya yang berasal dari tahun 2000 ke bawah, seperti Koes Plus, The Beatles, Nirvana, dan lainnya sebagian besar mengisi toko.
Sebuah pemutar kaset ditempatkan pada rak tengah dan membiarkannya menguntai pita kaset menghasilkan musik berkualitas. Seorang lelaki menghampiri saya dan bertanya musik apa yang sedang saya cari. Saya meminta dirinya untuk merekomendasikan musik. Ia memberikan sebuah kaset yang berisi lagu-lagu terbaik dari Queen seperti Bohemian Rhapsody, Crazy Little Thing Called Love, dan Don't Stop Me Now. Ia menuturkan bahwa grup musik ini merupakan salah satu grup favoritnya. Ia juga menyarankan untuk mendengar lagu-lagu sepanjang masa untuk memulai menyukai musik.
Namanya Perri, berusia 45 tahun dan berdarah Sunda. Seorang pemilik toko kaset dan CD di pusat perbelanjaan Blok M. Memiliki kurang lebih 15 ribu kaset dan CD yang telah ia kumpulkan hingga saat ini, tetapi kini memutuskan untuk menjualnya. "Saya sekarang lebih mengedepankan ekonomi," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perri bercerita telah lama berjualan kaset dan CD. Ia mulai berjualan dari 1994 di emperan jalan Kota Bogor dan menyewa sebuah toko pada 1997 sampai 2005 di kota yang sama. Ia sempat berhenti menjual kaset dan CD hingga 2013 dikarenakan memiliki peluang yang lebih besar di tempat lain. Hingga pada tahun itu, Perri menetap di Jakarta dan mulai membuka lagi usaha lamanya di kawasan Blok M.
Berawal dengan membeli satu toko pada 2018 ia akhirnya bertekad untuk membeli satu toko lagi tepat di sebelah toko pertamanya. Melihat peluang yang menjanjikan, ia sanggup mengeluarkan uang sekitar Rp 560 juta. Semua itu ia dapatkan dari berjualan kaset dan CD selama ia membuka toko di Blok M, katanya. Ia tak membayangkan akan mendapat keuntungan hingga dapat membeli dua toko hanya dengan berjualan kaset dan CD.
Perubahan Industri Musik
Saat ditanyakan mayoritas pembeli yang datang dari kalangan mana, ia menjawab beragam. Berbeda dengan di kota sebelumnya, di Jakarta bukan hanya dari kalangan orang tua tetapi yang muda pun tak mau mengalah.
Anak-anak SMP bahkan kerap mampir dan membeli kaset di tokonya. Biasanya mereka mencari musik-musik Indonesia dan Barat dekade 90-an seperti Iwan Fals dan Westlife, ujar Perri. Ia juga menuturkan bahwa ia merasa senang dengan anak-anak milenial yang masih membeli kaset dan CD dibanding dengan mendengar musik lewat platform musik yang lebih praktis diakses. "Teknologi mengubah segalanya," tambahnya.
Zaman dahulu masih dapat ditemukan tumpukan-tumpukan kaset dan CD di setiap rumah. Namun, sekarang dengan membeli kuota atau memasang Wi-Fi di rumah segala situs musik dapat diakses dengan mudah. Perri mengaku bahwasanya tak memiliki latar belakang yang berhubungan dengan musik sama sekali. Ia sejak kecil hanya sering mendengarkan musik yang disetel oleh orangtuanya. Setiap pagi ataupun malam, sang ayah akan memutar kaset atau mendengarkan musik lewat radio tape saat satu keluarga berkumpul di ruang tengah. Hal ini menjadi satu kebiasaan yang ia lakukan hingga saat ini.
Sejak duduk di SMP, Perri mengumpulkan kaset dan CD dengan genre yang ia sukai. Mengunjungi dari satu toko ke toko yang lain untuk berburu benda persegi dengan pita tersebut. Ia menuturkan bahwa ia sebenarnya mendengarkan semua jenis musik termasuk instrumental seperti Mozart, tetapi ia kurang tertarik dengan musik-musik ballad. Musik itu dinikmati untuk bersenang-senang, bukan untuk bersedih, katanya. Ia biasanya menikmati musik bersama dengan kopi di ruang tengah keluarganya.
"Semacam relaksasi rumahan," ujarnya.
Politik adalah Panglima
Di tengah perbincangan kami, salah satu pengunjungβyang sepertinya telah lama mendengarkan kamiβikut terjun ke dalam perbincangan. Ia seorang pria berumur 50 tahunan berdarah dan berkebangsaan Amerika Serikat.
"Berjualan kaset dan CD bagus untuk dikembangkan," kata Max, nama pria itu.
Max mengaku telah bertahun-tahun menetap di Jakarta. "Benar tadi di awal, kita harus membayar berkali-kali untuk streaming musik di internet dibanding dengan membeli CD seperti ini dan mendengarkannya kapan pun dan di mana pun," ujar Max, memegang empat buah CD musik-musik Indonesia, salah satunya grup musik Sodara Sodari.
Max bercerita bahwa dirinya dengan mudahnya menjumpai toko-toko pinggir jalan yang menjual kaset dan CD di Amerika Serikat. "Banyak yang menganggap kaset itu kuno padahal kitalah yang telah dicuci otaknya dengan teknologi," ungkap Max.
Ia juga mengatakan bahwa politik pun ternyata ikut andil dalam aliran musik ataupun film dalam negerinya. Layaknya di Eropa dulu, para politikus tidak suka liberalisme, maka film koboi di sana dilarang. Ditambah di situs-situs internet sekarang ini banyak musik yang tidak jelas hak ciptanya.
Mendengar cerita Max, Perri ikut menyumbangkan bumbu cerita dalam perbincangan. Apa yang terjadi dalam suatu negara tergantung pemimpinnya. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Pada masa Sukarno menjabat, musik-musik beraliran Barat dilarang keras. Seperti narkoba saat ini saja, Perri mengibaratkan. Salah satu grup musik legendaris Indonesia, Koes Plus, ditangkap karena lagunya yang dianggap "ngak ngik ngok" beraliran musik seperti The Beatles.
Perri mengatakan bahwa ada hal lucu yang terjadi saat aturan anti-Barat Sukarno ditetapkan. Berdasarkan ceritanya, Presiden Sukarno tertangkap melalui lubang pintu kamar oleh penjaganya sedang menikmati musik The Beatles. Tak ada salahnya memang, karena peraturan berbunyi, "Untuk seluruh rakyat, bukan untuk seluruh rakyat dan pemimpinnya," tambah Perri seraya tertawa.
Pada akhir perbincangan, Perri mengatakan bahwa tidak ada yang bisa mengubah atau membuat anak-anak muda khususnya untuk kembali menyukai kaset. Karena hal itu hanya tergantung pada bagaimana cara mereka menikmati musik. Para orangtua datang mengunjungi dan membeli di toko kaset untuk mengenang masa lampau mereka dahulu. Ini berbeda dengan para anak muda yang lahir pada saat teknologi sudah mendominasi kehidupan. Apa mereka sekadar mengoleksi kaset dan CD? Atau juga sebagai penikmat? Bisa jadi keduanya.
(mmu/mmu)